Musim Kemarau Molor, Hujan Buatan Mustahil Dilakukan 

Bantuan air hanya solusi sementara, apa yang harus dilakukan

Bantul, IDN Times – Teknik Modifikasi Cuaca (TMC) atau yang lebih populer disebut dengan istilah hujan buatan menjadi salah satu upaya mitigasi bencana kekeringan. Disebut mitigasi karena diupayakan untuk mengatasi penyebab kekeringan.

Upaya TMC dilakukan berdasarkan koordinasi tiga lembaga, yaitu Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) sebagai lembaga pelaksana teknis TMC. Kemudian Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) yang memberikan suplai informasi kondisi atmosfir. Serta Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) sebagai lembaga yang berperan dalam pengurangan risiko bencana.    

“Posisinya saat ini kami standby untuk melakukan TMC. Artinya memantau terus perkembangan cuaca DIY dan sekitarnya,” kata Kepala Stasiun Klimatologi BMKG DIY Reni Kraningtyas dalam acara konferensi pers bertajuk Kekeringan Mematikan yang digelar lembaga kemanusiaan Aksi Cepat Tanggap (ACT) Yogyakarta di Goeboeg Resto Bantul, Rabu, (21/8).

 

1. Antisipasi gagal panen dan kekeringan

Musim Kemarau Molor, Hujan Buatan Mustahil Dilakukan IDN Times/Candra Irawan

Selain mitigasi, upaya adaptasi untuk mengatasi dampak bencana kekeringan juga perlu dilakukan. Mengingat salah satu dampak yang dirasakan masyarakat adalah kesulitan mendapatkan air bersih dan gagal panen di sejumlah daerah.

Berdasarkan data ACT, puncak kemarau telah mengakibatkan 14 dari 18 kecamatan di Gunungkidul mengalami kekeringan. Dari 14 kecamatan tersebut, jumlah warga yang terdampak kekeringan terbanyak di Kecamatan Girisubo yang mencapai 21.592 jiwa dan terendah Nglipar 5.100 jiwa.

Sementara tanaman padi di atas lahan pertanian 2.770 hektare mengalami puso atau gagal panen. Kondisi itu menyebar di sembilan kecamatan dengan lokasi puso terluas di Kecamatan Gedangsari seluas 860 hektare.

“Kami lakukan droping air bersih 4-6 tangki per hari. Dan membuat sumur bor dengan targetan dua titik sumur bor tiap bulannya,” kata Kepala ACT Cabang Yogyakarta Bagus Suryanto.

Namun sejumlah langkah mitigasi dan adaptasi bencana kekeringan tak serta merta berjalan mulus. Sejumlah kendala menjadi tantangannya.

Baca Juga: Musim Kemarau di DIY Tambah Lama, Hujan Baru Terjadi November

2. Hujan buatan tak bisa diterapkan pada puncak musim kemarau

Musim Kemarau Molor, Hujan Buatan Mustahil Dilakukan youtube.com

Kondisi terparah bencana kekeringan di wilayah DIY pada 2019 adalah pada puncak musim kemarau yang jatuh pada Agustus ini. Hanya saja, upaya mitigasi berupa penerapan hujan buatan ternyata tak serta merta bisa dilakukan saat ini.

“Puncak kemarau saat ini kering sekali. Gak ada bibit awan. Jadi mustahil dilakukan hujan buatan,” kata Reni.

Kecuali ada pola cuaca lain yang mempengaruhi pertumbuhan bibit awan. Semisal pergerakan angin yang bersifat basah, seperti angin barat.

“Paling tidak saat pancaroba nanti. Karena sudah tumbuh bibit awan,” kata Reni.

Musim pancaroba diprediksi terjadi pada September-Oktober mendatang. Pemantauan kondisi cuaca pun terus dilakukan untuk menentukan saat tepat menembakkan hujan buatan. Kru pesawat TMC akan menyemprotkan urea ke arah awan konvektif yang berpotensi menimbulkan hujan pada siang-sore hari, lantaran proses penguapan air laut yang kemudian berubah menjadi awan terjadi pada pagi-siang hari.

“Semprotan urea tadi memicu kondensasi, yaitu titik-titik hujan,” kata Reni.

Potensi hujan pun mencapai setengah hari lebih. Sedangkan durasi hujan yang terjadi adalah 30 menit untuk hujan lebat dan lebih dari 30 menit untuk hujan rintik-rintik.

Hal lain yang perlu diperhatikan sebelum dilakukan TMC adalah mengetahui arah dan kecepatan angin. Semisal ingin membuat hujan buatan di wilayah Gunungkidul yang berada di sisi timur harus mengetahui potensi angin yang akan membawa bibit-bibit awan ke sana.

“Kalau angin terlalu kencang bisa terbawa hingga Surakarta. Hujannya jatuh di Surakarta,” kata Reni.

Setidaknya membutuhkan anggaran hingga Rp1 miliar untuk satu periode hujan buatan. biaya anggaran tersebut digunakan untuk membiayai proses koordinasi tiga lembaga, penentuan posko pemantauan unsur cuaca, hingga proses penembakan hujan buatan.

3. Tangki air terbatas hingga medan distribusi air yang sulit

Musim Kemarau Molor, Hujan Buatan Mustahil Dilakukan Dok.IDN Times/Istimewa

Dropping air atau penyaluran air bersih menjadi langkah rutin ke lokasi-lokasi rawan kekeringan yang dilakukan tiap musim kemarau di wilayah DIY. Kabupaten Gunungkidul, Bantul, dan Kulon Progo menjadi langganan tetap. Persoalannya, menurut Bagus, jumlah armada tangki air terbatas. ACT sendiri baru memiliki satu armada tangki. Sementara pergerakan distribusi air bersih tersebut baru sebatas 4-6 tangki per hari yang total mengusung air sekitar 20-30 liter per hari.

“Inginnya sampai 10 tangki per hari,” kata Bagus.

Truk tangki bermuatan air yang mencapai 5.000 liter air sering kali menemui kendala ketika harus mendistribusikan ke daerah yang sulit, seperti di Gunungkidul. Jalanan yang menanjak, terjal menjadi tantangannya. Pernah terjadi kasus tangki terguling karena tak kuat menahan beban dan tanjakan.

“Ada juga yang sebagian air bersih dalam tangki dikuras agar truk bisa jalan menanjak hingga tujuan,” kata Bagus.

Sementara pembuatan sumur bor juga terkendala kedalaman sumur yang mencapai 50-100 meter. satu sumur membutuhkan biaya hingga Rp 50 juta yang diperoleh dari sejumlah donasi.

“Karena dropping air sebatas respon jangka pendek. Jangka panjangnya melalui pembuatan sumur,” kata Bagus yang melalui lembaganya menargetkan secara nasional ada distribusi air bersih 2,1 juta liter per hari untuk 500 ribu orang penerima manfaat

Baca Juga: Sumur Mengalir Alami di Lahan Tandus, Hebohkan Warga Gunungkidul

Topik:

  • Febriana Sintasari

Berita Terkini Lainnya