Belajar di Rumah, Siswa Mengeluh Tugas Sekolah Menumpuk

#belajardirumah Siswa mengerjakan hingga tiga tugas

Yogyakarta, IDN Times – Lebih dari 15 pengaduan diterima Forum Pemantau Independen (Forpi) Kota Yogyakarta, dari orang tua yang anak-anaknya menjalani kegiatan #belajardirumah melalui metode daring selama masa pandemik COVID-19. Pengaduan itu beragam mulai dari orang tua siswa sekolah TK, sekolah dasar, hingga SMP.

“Ada beban penumpukan pekerjaan rumah yang mereka tanggung tiap hari,” kata anggota Forpi Yogyakarta, Baharuddin Kamba saat dihubungi IDN Times, Rabu (1/4). 

“Pemerintah harus melakukan evaluasi untuk mendapatkan solusi yang tepat,” kata Baharuddin.

Saat ini siswa melakukan belajar daring sejak 16–31 Maret 2020, akhirnya diperpanjang hingga 14 April 2020.

1. Pekerjaan rumah dikirim secara online dari guru kepada orang tua wali siswa

Belajar di Rumah, Siswa Mengeluh Tugas Sekolah MenumpukSiswi belajar di rumah (Dok.Ranoto Foundation)

Bahan tugas atau pekerjaan rumah (PR), setiap harinya dikirim guru kepada siswa melalui orang tua atau wali siswa secara online. dikerjakan dan dikirim secara online.

PR Ada yang dikirimkan dalam bentuk video atau tulisan dalam bentuk pdf, dikirimkan melalui WhatsApp. “Rata-rata ada 2 hingga 3 mata pelajaran per hari. Kecuali hari libur,” kata Baharuddin.

Ada pula penugasan yang dikerjakan secara tertulis di dalam buku atau kertas. Kemudian dikumpulkan ketika masuk sekolah nanti.

Baca Juga: Kasus COVID-19 DIY, 2 Orang Sembuh Positif Bertambah 4    

2. PR via online saban hari menghabiskan banyak kuota internet

Belajar di Rumah, Siswa Mengeluh Tugas Sekolah Menumpukbelajar online dari rumah versi mahasiswi. (DN Times/ Wira Sanjiwani)

Forpi Yogyakarta memetakan sejumlah persoalan penyebab penumpukan PR para siswa. Pertama, jumlah PR yang banyak setiap hari. Kedua, PR dikerjakan melalui format video membutuhkan kuota internet yang banyak.

“Padahal kemampuan ekonomi tiap-tiap orang tua siswa berbeda. Ada yang mampu menyediakan paket data besar, berlangganan tv kabel tanpa membeli paket data, dan ada pula yang tak mampu membeli paket data karena uang yang ada digunakan untuk pemenuhan kebutuhan lain.,” kata Baharuddin.

Yang tak mampu membeli kuota internet akan membuat pengerjaan PR terganggu.

Ketiga, kondisi fisik dan psikis siswa menurun sehingga membuat stamina anak drop dan sakit. Akibatnya tak bisa mengerjakan PR dengan cepat.

“Kalau sakit tetap harus mengerjakan dan mengumpulkan setelah sembuh. Kan menumpuk,” kata Baharuddin.

Keempat, tak semua siswa menggunakan waktu belajar di rumah untuk mengerjakan PR, melainkan untuk bermain.

3. Perlu evaluasi dari pihak sekolah untuk membuat penugasan yang ramah anak

Belajar di Rumah, Siswa Mengeluh Tugas Sekolah Menumpukstudentreasures.com

Forpi Yogyakarta meminta pihak sekolah maupun Dinas Pendidikan Kota Yogyakarta, melakukan evaluasi dan pengawasan terhadap sekolah yang memberikan banyak PR kepada anak.

“Ini bisa mengganggu fisik dan psikis anak. Berilah penugasan tugas yang ramah anak,” kata Baharuddin.

Mestinya diberikan keringanan bagi siswa yang sakit untuk dibebaskan dari tugas PR sebelumnya. “Caranya bisa ditunjukkan dengan menyertakan surat sakit dari dokter,” kata Baharuddin.

Baca Juga: Pakar UGM Prediksi Penyebaran COVID-19  Berakhir Akhir Mei 2020

Topik:

  • Febriana Sintasari

Berita Terkini Lainnya