Wali Kota Yogyakarta: Jogja adalah Melting Pot bagi Toleransi

Pandemik mengubah kebiasaan warga Kota Yogyakarta

Yogyakarta, IDN Times - Pandemik COVID-19 yang berlangsung setahun belakangan telah berdampak sangat besar bagi seluruh wilayah Indonesia, tak terkecuali Kota Yogyakarta.

Pandemik ini pula yang membuat Yogyakarta menerapkan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) berbasis mikro, maupun larangan mudik selama Ramadan 1442 Hijriah, sesuai instruksi dari Pemerintah Pusat.

Lantas, bagaimana suasana Ramadan di Yogyakarta? Pada kesempatan kali ini, IDN Times berbincang dengan Wali Kota Yogyakarta, Haryadi Suyuti, dalam program spesial Salam Ramadan, Cerita Indonesia by IDN Times. Berikut ulasannya.

Baca Juga: Tahun Ini, Lagi-Lagi Tak Ada Takbir Keliling di Yogyakarta

1. PPKM dan larangan mudik harus disikapi sebagai bentuk perlindungan

Wali Kota Yogyakarta: Jogja adalah Melting Pot bagi ToleransiIlustrasi larangan mudik. IDN Times/Tunggul Damarjati

Bagi Haryadi, adanya kebijakan pembatasan tersebut memberi pengaruh terhadap warganya, baik secara fisik maupun batin Menurut dia, pengaruh secara fisik memang dapat diobati dengan bantuan teknologi digital. Namun, tidak demikian dengan batin. 

"Banyak orangtua, sanak saudara, pasti punya kenangan yang tidak bisa secara streaming diselesaikan," ujarnya dalam live Instagram Salam Ramadan bersama IDN Times, Kamis (22/4/2021).

Haryadi menganalogikan hal ini dengan konser musik. Penggemar band Scorpion, misalnya, bisa menonton siaran live mereka di Berlin dari rumah. Namun, ketika mereka manggung di Kridosono, penggemar tentu ingin hadir secara langsung demi menuntaskan kerinduan mereka.

Oleh karena itu, menurutnya larangan mudik ini perlu dipahami secara batin dan disikapi dengan kesadaran penuh, bahwa hal ini adalah kewajiban warga negara demi kebaikan bersama, bukan hanya sekadar untuk disiasati. Salah satu cara pemkot menyikapinya adalah dengan tidak melakukan perjalanan dinas. 

"Kalau larangan ini kita maknai sebagai sesuatu yang harus disiasati, nanti jadinya ngumpet-ngumpet (untuk mudik)," papar Haryadi.

2. Ramaikan Ramadan tanpa berkerumun

Wali Kota Yogyakarta: Jogja adalah Melting Pot bagi ToleransiMasjid Jogokariyan, Yogyakarta. IDN Times/Tunggul Damarjati

Tahun ini menjadi Ramadan kedua yang berlangsung di masa pandemik. Hal ini tentu membuat suasana Ramadan yang biasanya semarak menjadi berbeda.

Haryadi mengungkapkan, pandemik membuat setiap insan harus membatasi diri untuk tidak berkerumun. Namun, hal ini tidak lantas membuat Ramadan ikut menjadi sepi.

"Kita ramaikan tanpa harus menghadirkan (banyak) orang. Gak usah pawai, tapi cobalah pasang umbul-umbul selamat Ramadan, jadi kotanya semarak. Masjid, musala, surau, dibikin bersih, diberi lampu. Semaraknya tidak harus kedatangan orang,"

Pembagian takjil juga dipersilakan, selama tidak menimbulkan antrean. Bisa dengan mendatangi dan membagikan langsung ke kelompok masyarakat. Ia pun mengaku sedih jika orang justru membanggakan antrean yang ramai demi menerima takjil, karena hal tersebut sama sekali tidak perlu dibanggakan.

"Di era begini, silence is gold. Ibadah Ramadan ini, Allah sendiri menjamin bahwa ini urusannya manusia dengan Allah. Apakah dengan antrean semacam ini memerlukan tepuk tangan orang lain? Kan tidak," terangnya.

3. Jogja adalah melting pot

Wali Kota Yogyakarta: Jogja adalah Melting Pot bagi ToleransiIlustrasi Toleransi Agama (IDN Times/Mardya Shakti)

Berbicara soal toleransi di Yogyakarta, Haryadi mengungkapkan ada kebiasaan warga yang unik di sejumlah kampung.

Saat Hari Raya Idulfitri, sebagian masyarakat nonmuslim menyiapkan berbagai hidangan khas Lebaran, seperti ketupat, opor, dan sambal goreng ati. Ketika warga muslim selesai salat Id, mereka lalu berkumpul untuk makan bersama.

Sebaliknya, di malam Natal dan Tahun Baru, warga muslim menyediakan kue-kue. Kemudian, mereka berkumpul bersama saudara nonmuslim tanpa ada sekat. Menurut Haryadi, hal semacam itu adalah bentuk toleransi yang konkret dibandingkan sekadar jargon.

"Nilai-nilai seperti itu yang dipegang oleh masyarakat Yogyakarta. Kita gak pernah ditanya, 'Kamu dari mana, agamamu apa, sukumu apa.' Jogja adalah melting pot, dan nilai-nilai itu sudah diajarkan sejak kecil," tuturnya. 

Baca Juga: 5 Tempat Wisata Ziarah di Yogyakarta, Syahdu Dikunjungi saat Ramadan

Topik:

  • Paulus Risang

Berita Terkini Lainnya