Enam Bulan Pandemik, Temuan Kasus dan Penanganan Masih Timpang
Makin banyak klaster, masyarakat justru kian abai
Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Yogyakarta, IDN Times - Tercatat per 13 September 2020, jumlah pasien positif COVID-19 di Yogyakarta mencapai 1.836 orang. Hampir menembus angka 2 ribu. jumlah tersebut turut menyumbang penambahan pasien positif tingkat nasional yang mencapai 218.382 orang. Sementara pasien yang meninggal berjumlah 52 orang di DIY dan 8.723 orang secara nasional. Angka-angka tersebut kumulatif selama enam bulan pandemi COVID-19 di Indonesia dari Maret-September 2020.
“Selisih angka kematian 2,5 kali lipat lebih besar dari yang tercatat,” kata salah satu inisiator Koalisi Warga Lapor COVID-19, Irma Hidayana dalam diskusi daring Enam Bulan Mencatat Kematian, Mereka Bukan Hanya Angka yang digelar Lapor COVID-19 pada 5 September 2020.
Mengingat banyak daerah yang belum sepenuhnya menghitung jumlah kematian pasien COVID-19 sesuai dengan rekomendasi World Health Organization (WHO/Organisasi Kesehatan Dunia). Hanya mendasarkan pasien meninggal yang terkonfirmasi positif berdasarkan tes polymerase chain reaction (PCR).
Sementara WHO merekomendasikan, penting untuk menghitung angka kematian atau dampak kematian akibat COVID-19. Artinya, meskipun hasil tes swab belum keluar atau belum melakukan swab dan meninggal, tetapi secara klinis mempunyai gejala mengarah COVID-19, maka ikut dihitung dalam pelaporan kematian pasien COVID-19.
Koalisi Warga Lapor COVID-19 yang merupakan sekelompok individu yang punya perhatian terhadap kesehatan masyarakat terus mengumpulkan data-data statistik sejak April 2020. Data-data tersebut berasal dari laporan masyarakat melalui aplikasi Whatsapp bot ataupun Telegram bot serta dari 250-an relawan. Kemudian data-data itu diverifikasi, divalidasi, dianalisis, dan diadvokasi bersama.
Pelaporan dibagi menjadi tiga periode, yaitu awal pandemi, pemberlakuan new normal, serta penerapan protokol kesehatan 3M, yaitu memakai masker, mencuci tangan dengan sabun dan air mengalir, serta menjaga jarak. Sejak April-September 2020, pelaporan disampaikan dari relawan di 21 provinsi di Indonesia.
Pada awal April, ada 4 ribuan kasus dilaporkan. Periode ini ada penerapan kebijakan pembatasan sosial berskala besar (PSBB). Kemudian awal Agustus-September 2020 ada 300-an laporan kasus masuk. Masa itu berlangsung perubahan kebijakan, seperti PSBB transisi, new normal, juga perubahan istilah OTG, ODP, PDP, menjadi kasus suspek, probable, terkonfirmasi. Dan masa ini, semakin bertambah pelanggaran protokol kesehatan.
“Tak pakai masker, menggelar hajatan, mal dibuka. Mencapai 56,8 persen kasus,” kata Tim Lapor Warga dari Lapor COVID-19, Yoesep Budianto dalam konferensi pers tentang Catatan Warga dan Transparansi Data di Tengah Pandemi, 11 September 2020.
Sementara 31,4 persen laporan berupa warga yang kesulitan mengakses layanan kesehatan. Seperti ditolak melakukan rapid test atau pun tes swab dengan alasan ketiadaan alat tes.
Baca Juga: Enam Bulan Pandemik, Ratusan Nakes Berpulang Tak Bikin Publik Gentar
1. Penetapan zonasi tak akurat, tapi sekolah dan kampus mulai tatap muka
Di Yogyakarta, per 14 September 2020, Rektor Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Gunawan Budiyanto melalui siaran pers menyatakan mulai membuka kuliah tatap muka. Ia mengklaim akan menerapkan protokol kesehatan, seperti keharusan mengenakan masker, menyiapkan hand sanitizer di setiap lorong kampus, serta menghindari kerumunan. Supaya tidak terjadi kerumunan di kampus, maka hanya ada satu angkatan tiap bulan yang masuk untuk mengikuti kuliah tatap muka.
“Yang masuk kuliah mahasiswa semester VII dulu. Bulan depan semester V, lalu semester III,” kata Gunawan.
Sementara melalui selembar surat tertanggal 13 September 2020, Dekan Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta, Inayah Rohmaniyah mengabarkan. Kampusnya akan menjalani karantina mandiri selama tiga hari, terhitung sejak tanggal 14-16 September 2020. Lantaran ada mahasiswa Program Studi Ilmu Al-qur’an dan Tafsir yang terkonfirmasi positif COVID-19.
Penutupan kampus selama tiga hari juga pernah terjadi di Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta pada awal Agustus 2020 lalu. Usai seorang alumnus asal Kamboja yang sempat mengambil ijazah di kampus diketahui positif COVID-19.
Potensi penularan di lembaga-lembaga pendidikan akibat kegiatan belajar mengajar tatap muka juga menjadi catatan Lapor COVID-19 dalam enam bulan pandemi ini, terutama di sekolah. Sementara pemerintah menetapkan zonasi berdasarkan indikator-indikator yang tidak diikuti dengan keterbukaan jumlah uji PCR yang dilakukan di tiap kabupaten dan kota.
“Jumlah tes PCR di tiap daerah masih timpang. Zonasi hijau tak menjamin tidak ditemukan sama sekali kasus positif. Jadi belum tentu benar-benar aman,” kata Irma.
Mereka menerima laporan dari guru maupun orang tua siswa yang waswas, jika anak-anaknya tetap masuk sekolah. Lapor COVID-19 melakukan kajian di DKI Jakarta dan Surabaya yang menunjukkan tingkat kewaspadaan warga terhadap COVID-19 sangat rendah.
“Kami mendesak pemerintah menutup kembali sekolah agar para siswa terlindungi keselamatan dan kesehatannya,” kata Irma.
Baca Juga: Jelang PSBB, Pemda DIY Perketat Pengawasan Pemudik dari Jakarta