TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Buletin Mahasiswa Dibredel Sebelum Dibaca...

Tantangan pers mahasiswa hidup di rumah sendiri

www.Pixabay.com

Yogyakarta IDN TIMES -- Pers mahasiswa (persma) dibikin gusar. Kasus pembungkaman persma kembali terjadi tahun ini. Lagi-lagi pelakunya pihak kampus sendiri. Kampus sebagai rumah menjadi tak nyaman bagi persma. Gara-garanya hanya satu, konsistensi persma menerbitkan karya-karya jurnalistik yang tetap kritis.

Di pertengahan bulan Agustus 2019, Badan Penerbitan Pers Mahasiswa (BPPM) Balairung Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta menghangat. Sejumlah tulisan dalam majalah edisi 55/TH. XXXIV/2019 dengan judul cover “Melawan Perampasan, Merebut Hak atas Tanah” diduga dipersoalkan. Majalah itu mengangkat kasus penggusuran lahan di pesisir selatan Kulon Progo untuk pembangunan bandar udara baru, Yogyakarta International Airport (YIA). Cover itu bergambar bejana jam pasir berwarna biru. Bagian atas berisi lahan pertanian yang ditanami petani yang tanahnya kian menyusut ke bawah menjadi timbunan emas dan uang. Sebuah mahkota raja berwarna hitam tertelungkup di atasnya.

Sayang pada saat kami mencoba untuk meminta tanggapan pihak Balairung, Pemimpin Umum Balairung, Citra Maudy tidak bersedia bertemu. 

“Kami masih berorganisasi seperti biasa. Tetapi untuk masalah itu, kami belum bisa diwawancarai. Mohon pengertiannya ya," kata Pimpinan Umum BBPM Balairung, Citra Maudy melalui pesan pendek saat dikonfirmasi IDN Times, 28 Agustus 2019.

Mengenai masalah yang terjadi di Balairung, Sekjen Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) Cabang Yogyakarta, Akbar Farhatani mengatakan terdapat tulisan yang diminta diganti dan dicetak ulang. Namun Akbar belum mendapatkan konfirmasi perkembangan kasus tersebut.

 

Baca Juga: 5 Manfaat Bergabung di Lembaga Pers Kampus Bagi Mahasiswa Baru

1. LPM Pendapa: dibekukan karena menolak Pakta Integritas

IDN Times/Pito Agustin Rudiana

Pintu Sekretariat LPM Pendapa tertutup rapat, Jumat, 30 Agustus 2019 siang lalu. Sejumlah stiker bertempelan di pintu sisi atas yang terbuat dari kaca. Sepenggal tulisan dicetak di atas kertas putih berkop surat LPM Pendapa dan ditempel di sisi tengah pintu. "Hanya ada dua cahaya: Matahari di langit dan Pers di bumi", demikian bunyinya.

Suasana sangat sepi di bangunan yang menyendiri di ruang bawah Kampus Fakultas Teknik UST  Tamansiswa yang bersebelahan dengan tempat parkir motor dan mobil. Bau cat, tumpukan meja dan kursi di sisi luar sekretariat menandakan bangunan masih baru.

“Ya, sekretariat baru saja pindah. Sebelumnya di dekat gedung perpustakaan UST,” kata mantan Pengurus LPM Pendapa Lucya Friska Astutiningsih.

Sejumlah unit kegiatan mahasiswa (UKM) di sana dipindahkan ke lokasi kampus yang berbeda menyusul perluasan bangunan perpustakaan. Bekas sekretariat Pendapa dijadikan musala. Di sana, kepengurusan periode 2016-2017 pernah dibekukan.

Pembekuan kepengurusan dilakukan pihak rektorat menyusul penolakan Pengurus LPM Pendapa yang baru dilantik Mei 2016 itu. Mereka menolak konsep pakta integritas atau komitmen dari rektorat. Ada 12 poin pakta integritas yang dibuat sepihak itu. Pengurus Pendapa keberatan dengan poin 5 dan 8. Isinya adalah berkonsultasi kepada Wakil Rektor III selaku penasehat dalam penerbitan buletin Majalah Pendapa dan menaati kebijakan yang ditetapkan pimpinan universitas.

“Isinya bertentangan dengan kebebasan pers dan berekspresi. Kami menolak mendatangani,” kata Lucya yang menjadi sekretaris umum saat itu.

Anehnya, keharusan menandatangani pakta integritas itu baru diberlakukan terhadap LPM Pendapa periode itu. UKM lain pun tidak dibebani dengan peraturan yang sama. Ternyata konsep pakta integritas muncul akibat dari buletin yang diterbitkan persma periode sebelumnya yang mengritisi kebijakan kampus. Terbitannya membuat rektorat tak suka.

“Menurut rektorat, Pendapa suka memberitakan yang jelek-jelek. Yang bagus-bagus tidak (diberitakan),” kata Lucya.

Dan lantaran menolak menandatangani pakta integritas, pengajuan permohonan surat keputusan pelantikan pengurus dan proposal pengajuan dana pengurus periode baru ditolak. Upaya Pendapa untuk bertemu dan berkomunikasi dengan rektorat terus dilakukan. Mulai dari audiensi hingga membuat pernyataan sikap. Rektor menolak bertemu dan meminta Pendapa untuk merampungkan persoalan lewat Wakil Rektor III.

Meski demikian, Pendapa tetap melakukan kegiatan jurnalistik. Lewat iuran sukarela dari tiap pengurus yang terkumpul sekitar Rp600 ribuan, mereka bisa menerbitkan buletin sekitar yang berjumlah 482 eksemplar. Buletin terbit dengan lay out sangat sederhana dan jumlah halaman yang tipis.

Judul laporan utamanya tetap menggigit yaitu tentang kasus yang menimpa Pendapa saat itu. "Awas! Ada Pembungkaman", demikian judulnya dengan cover bergambar sepatu raksasa yang menginjak beberapa manusia.

Untuk bisa berkarya dengan keuangan yang menipis, Pendapa bermain lewat media online. Mereka mengekspos karya-karya jurnalistiknya melalui online www.lpmpendapa.com.

Pendapa pun mendapat kabar dari pengurus UKM lain kalau lembaga persma itu telah dibekukan. Tak ada hitam di atas putih dari rektorat yang menyebut pembekuan itu. Namun dengan adanya penolakan pemberian SK Kepengurusan Periode 2016-2017 dan pencairan dana Pendapa Rp23,850 juta dari total dana kegiatan semua UKM Rp300 juta, Pendapa percaya pembekuan tengah berlangsung.

“Dalam surat edaran jam malam untuk UKM di kampus, nama Pendapa gak ada,” kata Lucya yang semakin menguatkan kabar itu.

Kabar soal pembekuan Pendapa pun ditulis di media massa. Pendapa juga menyebarkan kuesioner di lingkungan kampus untuk jajak pendapat, isinya apakah Pendapa masih dibutuhkan atau tidak?

“Mayoritas menyatakan Pendapa masih dibutuhkan,” kata Lucya.

Tiba-tiba di suatu pagi di bulan November 2016, rektor memanggil pengurus untuk melakukan audiensi. Selain Lucya, pengurus lain yang hadir adalah pimpinan umum, wakil PU, pemimpin redaksi, juga divisi penelitian dan pengembangan. Hasilnya, pakta integritas tak jadi dikeluarkan dan dana operasional organisasi akan diturunkan.

“Dengan catatan, pihak rektorat masih memantau,” kata Lucya.

2. LPM Ekspresi: buletin dibredel sebelum dibaca

www.ekspresionline.com

Tanggal 24 Agustus 2014 pagi, buletin edisi khusus Expedisi tentang pra-ospek yang diterbitkan LPM Ekspresi Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) terbit. Pemimpin Proyek Buletin Expedisi Wina Wijayanti mantap membawa segepok buletin yang masih hangat itu ke Gedung Olah Raga (GOR) UNY. Di sana, tengah ada pertemuan rektorat dengan orang tua atau wali mahasiswa baru yang akan mengikuti ospek. Wina meletakkan 150 eksemplar buletin itu di atas meja di pintu keluar GOR. Rencananya, buletin itu akan dibagikan kepada wali mahasiswa usai acara.

Rombongan rektorat keluar pertama kali. Ketika melihat tumpukan Expedisi, tiba-tiba rektor menginstruksikan wakil rektor III mengambil semua buletin itu. Wina bergegas ke sekretariat untuk mengabarkan insiden itu.

“Ini bredel. Kami langsung rapat dan ambil keputusan untuk audiensi dengan rektorat. Tapi gagal terus,” kata mantan Pemimpin Pengembangan Sumber Daya Mahasiswa (PSDM) LPM Ekspresi Periode 2014-2015, Awal Hasan saat dihubungi IDN Times, Sabtu, 31 Agustus 2019.

Ekspresi meminta rektorat menjelaskan alasan penyitaan buletin yang biasa terbit dua pekan sekali dan pada acara tertentu itu. Sekaligus meminta buletin dikembalikan. Namun penjelasan yang diharapkan tak kunjung disampaikan.

“Padahal rektor belum baca isi buletin itu. Kan baru akan diedarkan,” kata Awal yang kini menjadi jurnalis media mainstream di Jakarta.

Pengurus pun menyimpulkan tindakan rektor itu dilakukan karena reputasi Ekspresi yang dikenal sebagai UKM yang suka mengkritik kebijakan kampus. Kesimpulan itu diperkuat pernyataan wakil rektor III yang meminta setiap produk jurnalistik yang akan diterbitkan ekspresi terlebih dahulu disampaikan kepada rektor.

“Rektorat malah jadi semacam lembaga sensor,” kata Awal.

Upaya menghubungi rektor untuk melakukan audiensi terus dilakukan. Tapi tak juga direspon. Ekspresi pun mengeluarkan surat terbuka kepada rektor yang didukung PPMI dan alumni-alumni Ekspresi. Mereka juga menggelar aksi di depan GOR yang tengah dilangsungkan upacara wisuda yang dihadiri rektor. Namun aksi mereka dicegah. Upaya menemui rektor pun gagal lagi.

Kasus breidel itu pun diadvokasi AJI Yogyakarta. Rektor membuka diri untuk beraudiensi dengan mengundang pengurus Ekspresi. Dan tak ada penjelasan soal alasan rektor menyita buletin Expedisi.

“Hanya disebut (buletin) diamankan. Rektor lalu meminta maaf dan kasus diminta ditutup,” kata Awal.

Buletin Expedisi yang tak lagi utuh 150 eksemplar juga dikembalikan. Sepekan lamanya buletin itu disita. Awal sendiri tak habis pikir mengingat isi buletin saat itu menyoroti kepanitian ospek dan kebijakannya. Bukan pada kebijakan kampus. Di pertengahan ospek, Expedisi terbit kembali dengan isinya yang mengritisi tentang pelaksanaan ospek.

“Dan tak disita lagi. Breidel justru membuat kami semakin bersemangat menerbitkan buletin lagi,” kata Awal memungkasi.

3. LPM Fenomena: anggaran dipotong biar tak kritis

IDN Times/Pito Agustin Rudiana

Buntut dari terbitan LPM Fenomena Fakultas Teknik Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) periode sebelumnya yang mengritisi kebijakan kampus berimbas pada kepengurusan periode sesudahnya. Terjadi pemotongan dana anggaran Fenomena secara bertahap tiap periodenya.

Staf Divisi Pengembangan Sumber Daya Mahasiswa (PSDM) LPM Fenomena, Akbar Farhatani yang menjadi pengurus sejak 2016 melihat dari semula dana anggaran sekitar Rp7 jutaan pada tahun itu hingga menjadi tinggal Rp2 jutaan pada 2019.

Dampaknya, jumlah eksemplar terbitan, baik majalah atau pun buletin berkurang mengikuti duit yang ada. Juga mengurangi dana kegiatan lain, seperti menggelar pelatihan, diskusi. Sementara agar Fenomena tetap eksis membuat karya-karya jurnalistik, mereka beralih ke media online. Sekaligus untuk memangkas pengeluaran dari pemasukan yang kian mencekik. 

Akbar mencontohkan, harga cetak majalah pada 2018 yang terdiri 53 halaman sekitar Rp11 ribuan. Mereka mengurangi jumlah eksemplar dari 500 eksemplar sekali terbit menjadi 200 eksemplar. Dana yang dikeluarkan pun tak sampai Rp3 juta untuk ongkos cetak. Sedangkan biaya domain online maksimal Rp1 juta dalam setahun.

“Tapi ya otomatis mengubah sistem kaderisasi. Dari semula liputan, nulis, edit, belajar layouting, sekarang liputan, nulis, edit terus upload. Selesai,” kata Akbar.

Tak hanya menyunat anggaran dana, ada saja cara birokrat kampus membuat persma terpojok. Antara lain membangun perspektif kepada mahasiswa baru untuk tidak memilih aktif di UKM yang suka berkegiatan demonstrasi seperti persma atau pun mendorong mahasiswa lekas lulus sehingga tak sempat beraktivitas di UKM.

“Kami tak bisa mengandalkan mahasiswa baru untuk mau bergabung,” kata Akbar.

Tak mau berlarut-larut dalam kebijakan kampus yang kurang menguntungkan, Fenomena pun membuat gebrakan baru. Karya-karya jurnalistiknya mulai mengangkat isu-isu prestasi dan kebijakan-kebijakan yang positif di kampus. Selain juga untuk menarik simpati mahasiswa karena selama ini persma dicap suka melawan arus.

“Ya, kami melakukan branding. Kampus mulai terbuka memberi data. Bahkan sekarang banyak yang ingin diwawancarai sebagai narasumber,” kata Akbar.

Baca Juga: 12 Hal Suka Duka Ini Cuma Dirasakan Mahasiswa Pers Kampus, Kamu?

Berita Terkini Lainnya