Perjalanan Penghayat Kepercayaan Diakui Setara oleh Negara dan Sesama

Mari mengintip realitas kehidupan penghayat di Indonesia

Yogyakarta, IDN Times - Aliran kepercayaan di Nusantara yang dahulu dikenal sebagai agama lokal telah ada jauh sebelum terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia. Namun, pengakuan atas keberadaannya terus mengalami dinamika.

Terbentuknya Pengawas Aliran Kepercayaan Masyarakat (PAKEM) pada 1953 hingga peristiwa G30S/PKI pada 1965, menimbulkan diskriminasi luar biasa bagi penghayat kepercayaan, sampai mereka terpaksa memilih salah satu agama yang diakui pemerintah. Barulah pada era reformasi, keberadaan aliran kepercayaan mulai diakui dengan adanya pasal 28E ayat 2 pada amandemen UUD 1945.

Kemudian, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan (Adminduk) diatur tentang pengosongan kolom agama pada Kartu Tanda Penduduk (KTP) milik penghayat kepercayaan lewat Pasal 61 ayat (2) dan Pasal 64 ayat (2). Hal ini kembali menimbulkan diskriminasi bagi para penghayat sehingga sejumlah penghayat mengajukan permohonan uji materi terhadap UU tersebut ke Mahkamah Konstitusional (MK) pada 2016.

Pada 2017, MK akhirnya mengabulkan permohonan uji materi terhadap aturan pengosongan kolom agama bagi penganut kepercayaan pada KK dan KTP
elektronik dalam UU Adminduk. Hal ini menjadi satu langkah maju bagi pengakuan terhadap hak-hak penganut aliran kepercayaan di Indonesia. 

Berdasarkan data Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) RI per Juli 2018, terdapat 188 organisasi penghayat kepercayaan terhadap Tuhan YME yang tersebar di 14 provinsi di Indonesia. Jumlah penghayat kepercayaan di Indonesia sendiri diperkirakan mencapai 12 juta jiwa. Namun, menurut data Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) per Juni 2020, baru 102.508 penduduk Indonesia yang tercatat secara resmi sebagai penghayat.

Lantas, seperti apakah gambaran realitas kehidupan masyarakat penghayat kepercayaan di Indonesia dewasa ini? Bagaimana lika-liku yang mereka alami dalam memperoleh hak-haknya dan agar dipandang setara?

Pengurusan administrasi kependudukan lebih mudah meski sosialisasi belum merata

Perjalanan Penghayat Kepercayaan Diakui Setara oleh Negara dan SesamaWarga Suku Baduy melakukan perekaman sidik jari untuk KTP Elektronik di Kampung Cijahe, Lebak, Banten. (ANTARA FOTO/Muhammad Bagus Khoirunas)

Baskoro Waskitho Husodo adalah salah satu penghayat kepercayaan Kerokhanian Sapta Darma (KSD) di Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Berdasarkan pengalamannya, ia mengaku perhatian pemerintah terhadap penghayat kepercayaan kini lebih baik. 

“Contohnya, kami sudah berhubungan dengan Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil, terus-terusan. Jadi seperti membuat KTP bisa kolektif gitu. Maksudnya beberapa warga Sapta Darma, yang belum ganti, bisa secara kolektif, lebih mudah,” ucap Baskoro pada 10 September 2022.

Menurut dia, anggota penghayat kepercayaan dapat diprioritaskan untuk mengurus administrasi. Ia membandingkan dengan masa lalu yang masih sulit membuat administrasi kependudukan.

“Mungkin dulu, karena penyampaian dari atas sampai bawah belum baik. Saat ini sudah baik, yang saya lihat seperti itu. Sebelum datang bisa menghubungi dahulu. Nanti sudah dipersiapkan, jika ingin mengurus,” ucapnya.

Carolina Simanjuntak, Staf Advokasi dan Program Aliansi Sumut Bersatu (ASB) mengatakan bahwa pihaknya turut melakukan pendampingan dalam proses memperjuangkan hak administrasi kependudukan Ugamo Parmalim di Sumatra Utara sejak 2015. Setelah putusan JR UU Adminduk No: 97/PUU-XIV/2016 dikeluarkan oleh MK, ASB juga memfasilitasi penganut Ugamo Parmalim untuk proses pergantian administrasi kependudukan pada 2017.

"ASB terlibat mendampingi warga penghayat kepercayaan Parmalim dalam mendapatkan hak-hak identitas. Beberapa warga sudah melakukan pergantian identitas di KTP ataupun di Kartu Keluarga (KK)-nya," kata Carolina kepada IDN Times.

"Sebelumnya KTP mereka agamanya garis, hingga akhirnya mereka punya KTP sendiri yaitu kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa," imbuhnya.

Carolina menyebutkan cara melakukan pergantian administrasi kependudukan terbilang mudah. Katanya, di Kota Medan dan Kabupaten Deliserdang, prosesnya sudah tersampaikan ke dinas terkait. Namun, ada beberapa kendala yang dialami di luar daerah tersebut.

"Di tingkat Kabupaten, mereka belum tersosialisasi dalam proses pertukaran adminduk ini," ucap dia.

Baca Juga: Penghayat Kepercayaan di Jogja Minta Dukungan Bangun Rumah Ibadah  

Baca Juga: Jalan Panjang Ugamo Malim Perjuangkan Kepercayaan Lokal Batak

Belum banyak penghayat yang mengubah data kolom agama di KTP

Perjalanan Penghayat Kepercayaan Diakui Setara oleh Negara dan SesamaIlustrasi KTP Elektronik (IDN Times/Feny Maulia Agustin)

Selain belum meratanya sosialiasi, masih banyak penghayat yang ragu dengan komitmen pemerintah untuk menjalankan mandat negara melihat semua warga negara setara. Ada trauma masa lalu yang membuat mereka memilih tidak mengganti kolom agama di KTP. 

Hal tersebut diungkapkan Direktur Center for Religious and Cross-cultural Studies (CRCS) Universitas Gadjah Mada (UGM), Samsul Maarif, atau yang akrab disapa Anchu.

“Dulu dibayangkan estimasinya yang mengubah KTP berganti menjadi penghayat sekitar 2 juta, setelah putusan MK. Namun, sampai sekarang baru 2.300. Dari situ kita pelajari, karena KTP tidak berdampak otomatis membantu kemudahan layanan lainnya,” ucap Anchu.

Di Kabupaten Bantul, DIY, tercatat ada 17 paguyuban penghayat kepercayaan dengan jumlah anggota 630 orang. Namun, menurut Kepala Disdukcapil Bantul, Bambang Purwadi Nugroho, yang sudah mengurus administrasi kependudukan baru 78 orang.

"Pada tahun 2021 ada 40 anggota penghayat yang mengurus administrasi kependudukan. Tahun 2022 semester pertama terdapat 38 anggota penghayat yang mengurus administrasi kependudukan," ungkap Bambang.

Bambang mengatakan, pihaknya terus berkoordinasi dengan Dinas Kebudayaan Bantul terkait dengan anggota penghayat kepercayaan yang akan melakukan perubahan administrasi kependudukan. 

"Kami justru menunggu agar para penghayat kebudayaan mendapatkan haknya dalam hal administrasi kependudukan. Kita ndak membeda-bedakan," ujarnya.

Sementara di Kota Bandar Lampung, Provinsi Lampung, baru tercatat 9 warganya yang mengubah kolom agama pada KTP menjadi penghayat kepercayaan. Plt Kepala Disdukcapil Kota Bandar Lampung, Febriana, mengatakan setiap pengajuan perubahan pengisian kolom agama di KTP tercatat di pangkalan data atau database Disdukcapil Kota Bandar Lampung.

"Untuk jenis kepercayaannya apa saja ada di database pusat, sekarang Dukcapil sudah menerapkan SIAK (Sistem Administrasi Kependudukan) secara terpusat," katanya.

"Dalam hal ini, kami juga sudah mensosialisasikan kebijakan dan mendata penghayat kepercayaan, hingga menertibkan KK bagi para penghayat melalui aplikasi SIAK," sambung dia.

Lantas, bagaimana cara mengganti kolom agama di KTP menjadi penghayat kepercayaan?

Febriana menjelaskan, bagi warga yang hendak menerbitkan KK penghayat kepercayaan yang datanya sudah terdapat dalam database kependudukan, petugas Dukcapil mencetak KK berdasarkan data sudah ada setelah penduduk mengisi formulir F-1.68, yaitu Surat Permohonan Percetakan KK dan e-KTP.

Sementara penduduk ingin mengubah data dari agama menjadi kepercayaan, maka terlebih dahulu mengisi formulir F-1.69, yaitu Surat Pernyataan Tanggung Jawab Mutlak Sebagai Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa.

"Untuk warga mau mengubah kepercayaan menjadi agama, maka formulir perlu diisi adalah F-1.70, yaitu Surat Pernyataan Perubahan Kepercayaan Menjadi Agama. Tentunya, perlu melampirkan fotokopi SK dari pemuka agama, sebagai syarat perubahan elemen data agama. Semua pelayanan berlangsung dengan cepat dan ramah," terang dia.

Baca Juga: Baru 78 Anggota Penghayat Kepercayaan di Bantul yang Mengurus Adminduk

Baca Juga: 9 Warga Bandar Lampung Ubah Kolom Agama KTP Jadi Penganut Kepercayaan

Akses pendidikan kepercayaan bagi siswa penghayat masih jauh panggang dari api

Perjalanan Penghayat Kepercayaan Diakui Setara oleh Negara dan SesamaUgamo Malim merupakan aliran kepercayaan yang berasal dari Tanah Batak. (Istimewa/IDN Times)

Pendidikan kepercayaan bagi siswa penghayat juga merupakan salah satu hak yang perlu dipenuhi. Namun, hal ini masih membutuhkan keseriusan semua pihak terkait. Menurut Anchu, pendidikan bagi penghayat kepercayaan di sekolah masih ditemukan kesulitan. Kebijakan yang telah dikeluarkan Kemdikbudristek untuk pelayanan pendidikan penghayat kepercayaan tidak secara otomatis berjalan di lapangan. 
 
“Banyak negosiasi, perjuangan yang harus dilakukan. Ada yang berhasil, tidak sedikit yang gagal juga. Banyak penolakan dari sekolah, dengan banyak macam alasan. Jika ada penyuluh untuk penghayat kepercayaan itu, sifatnya memang kerja volunter, tidak ada anggaran khusus. Penyuluh itu terkadang harus mengajar lintas kecamatan, bahkan kabupaten. Itu menunjukkan bagi penghayat ketidakseriusan negara,” kata Anchu.

Pemaparan Anchu tersebut seolah diamini oleh Indra Anggara, seorang penyuluh aliran kepercayaan Budi Daya di Lembang, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat. Di wilayahnya, terdapat 63 siswa yang tersebar di berbagai sekolah tingkat SD hingga SMA. Sementara jumlah penyuluh penghayat hanya 10 orang. Jumlah penyuluh menjadi kendala sulitnya belajar siswa aliran kepercayaan ketika berada di sekolah. Terlebih dalam satu sekolah biasanya hanya ada beberapa siswa saja.

"Ini juga memang yang jadi persoalan. Kita siswa ada yang tersebar di Lembang maupun di sekitar Cimenyan (Kabupaten Bandung). Sedangkan penyuluhnya tidak banyak jadi tidak bisa setiap minggu datang ke sekolah," kata Indra kepada IDN Times, 8 September 2022.

Kondisi serupa dialami siswa-siswa di Aliran Kebatinan Perjalanan (AKP) di Kota Bandung, Jawa Barat. Salah satu penyuluh AKP, Deni, mengatakan siswa penghayat jarang menerima pendidikan kepercayaan di sekolah. Mereka lebih mengandalkan orangtua maupun teman-teman komunitas. 

Selain itu, kata Deni, perundungan kepada siswa penghayat masih sering terjadi di lembaga pendidikan. Bukan hanya dari sesama siswa, tetapi juga dari tenaga pengajar yang membuat siswa sakit hati.

"Mungkin mereka usil atau bercanda, tapi itu membuat siswa penghayat merasa terpinggirkan. Dengan diskriminasi sistem pendidikan dan kondisi sekolah yang seperti itu membuat mereka tidak nyaman saat belajar," papar Deni.

Karena dianggap berbeda dari mayoritas siswa, anak-anak penghayat kepercayaan AKP kerap mencurahkan isi hati mereka kepada orangtua dan penyuluh. Alhasil, penyuluh cukup sering mendatangi sekolah dan memberikan penjelasan mengenai apa itu aliran kepercayaan yang mereka anut.

Baca Juga: Pendidikan Penghayat Kepercayaan Kurang Terakomodiasi Pihak Sekolah

Penghayat kepercayaan berharap bisa dipandang setara dengan pemeluk agama tanpa stigma

Perjalanan Penghayat Kepercayaan Diakui Setara oleh Negara dan SesamaPenghayat kepercayaan Kerokhanian Sapta Darma (KSD). Instagram/remajaksddiy

Meski penghayat kini sudah lebih membuka diri, tetapi mereka masih mengalami tantangan dalam hal penerimaan di tengah masyarakat. Salah satunya adalah terkait tempat ibadah.

Baskoro mengatakan, meski sudah mendapat izin untuk mendirikan bangunan, tetapi terkadang masih ada kendala di sisi masyarakat di lapangan.

“Kadang ada provokator, walaupun semua sudah izin tanda tangan lengkap, jadi hilang tidak diwujudkan. Kalau di Yogyakarta memang lebih baik masyarakatnya, penerimaan warganya, karena sudah lama juga kan,” kata Baskoro.

Tak hanya itu, kolom kepercayaan yang tertulis di KTP juga masih mengganjal bagi sebagian penghayat, mengingat kolom tersebut hanya tertulis 'Kepercayaan kepada Tuhan yang Maha Esa', dan dianggap kurang mencerminkan agama leluhur yang mereka anut.

Sekretaris Majelis Agama Kaharingan Indonesia, Nesiwati, berharap agar status agama Kaharingan bisa memperoleh penegasan dari negara. Menurutnya, penganut Kaharingan pun punya hak seperti halnya agama-agama lain.

Ia mengatakan, aliran Kaharingan merupakan agama yang diwariskan para leluhur asli di Nusantara hingga sekarang. Ini yang menjadi kepercayaan warga Suku Dayak di Kalimantan yang menganggapnya sebagai agama leluhur.

Pihaknya memperjuangkan agar regulasi itu bisa diperjelas dan bahwa agama Kaharingan bisa langsung masuk dalam KTP dan masuk dalam naungan Kementerian Agama. Bukan lagi di bawah naungan Lembaga Kepercayaan Kepada Tuhan yang Maha Esa.

"Kami harap kepercayaan kami bisa langsung di bawah Kementerian Agama. Hingga sekarang ini masih kami perjuangkan semoga dikabulkan," ucap Nesiwati.

Sementara, Anchu mengatakan sudah ada banyak dukungan terhadap penghayat dari berbagai elemen masyarakat.

“Ada banyak teman aktivis, peneliti menunjukkan dukungan terhadap penghayat. Namun, sering juga kelompok besar seakan tidak menunjukkan penerimaan yang tulus,” ungkap Anchu.
 
Hal ini akan membuat penghayat merasa kurang aman dan nyaman. “Jadi penerimaan masyarakat yang tidak tulus, suasana psikologis penghayat yang belum matang, masih ada trauma, membuatnya kurang berani. Memang untuk di masyarakat sulit diharapkan, karena dari sesama agama atau antaragama masih terkadang belum ada penerimaan,” ucapnya.

Pengamat budaya Universitas Negeri Semarang (Unnes), Dhoni Zustiyantoro, mengatakan secara umum kelompok penghayat di Jawa Tengah dapat hidup berdampingan dengan masyarakat lain tanpa gesekan.

Kendati, hal ini juga bisa dimaknai bahwa warga penghayat kepercayaan cenderung terisolasi dari warga beragama kebanyakan karena keyakinan yang dianut. Orang awam akan melihat penghayat sebagai “Kejawen”, yang bisa berarti mereka memeluk agama tapi tidak secara ketat menjalankan kewajiban agama dan di saat bersamaan mereka menjalankan ritual atau tradisi tertentu.

‘’Untuk merekatkan kohesi sosial, saya kira penting kehadiran negara di level paling bawah kehidupan masyarakat yang majemuk ini. Cara yang dilakukan misalnya dengan menyelenggarakan kegiatan rutin dalam bingkai keberagaman dan kebangsaan. Selain itu, kesadaran akan keberagaman bisa dibangun melalui dialog rutin yang melibatkan tokoh beragam latar belakang, termasuk penghayat kepercayaan,’’ jelas Dhoni, 10 September 2022.

Upaya itu agar kelompok penghayat kepercayaan mendapat tempat yang sama di masyarakat dan menghapus stigma negatif selama ini. Sebab, jika mengingat pada rezim Orde Baru, kelompok penghayat sering kali diasosiasikan dengan “kelompok komunis.”

Baca Juga: Penghayat Kepercayaan Jauh dari Setara, Lekat dengan Stigma Negatif

Baca Juga: Agama atau Keyakinan, Polemik Aliran  Kaharingan 

Merenungkan spiritualitas dari kacamata penghayat kepercayaan

Perjalanan Penghayat Kepercayaan Diakui Setara oleh Negara dan SesamaSalah satu penganut Sapta Darma sedang beribadah, Rabu (7/9/2022). IDN Times Khusnul Hasana.

Madiro (60) adalah seorang penganut aliran kepercayaan Sapta Darma di Surabaya, Jawa Timur. Pria yang akrab disapa Ki Diro ini tengah menunggu jam sembilan malam untuk melakukan ibadah yang disebutnya sebagai sujud saat ditemui IDN Times di Sanggar Candi Busana, yang letaknya tak jauh dari gedung-gedung bertingkat di jalan Darmo Permai Selatan, Surabaya, 7 September 2022 lalu.

Orang-orang Sapta Darma, kata dia, hidup untuk mencari kebahagiaan dan kedamaian dalam dirinya. Masalah akhirat adalah nomor dua.

“Kita memang untuk sampurnane urip (kesempuraan hidup). Tuhan itu nomor dua, kita bekerja dulu baru ibadah. Menurut saya Sapta Darma ini untuk menyongsong di era jaman maju,” ungkapnya.

Ki Diro menyebut, pedoman hidup yang di jalankan Sapta Darma adalah Wewarah Sapta Darmo yang terdiri dari Tujuh pedoman. dengan mengamalkan tujuh perintah itu, Ki Diro tak malu mengakui dirinya sebagai seorang penganut Sapta Darma. Ia mengaku, dirinya dapat diterima tanpa ada diskriminasi. Menurutnya, ini jadi gambaran bahwa kaum urban ternyata bisa menerima pilihan berkeyakinan seseorang.

Sementara, Guno Asmoro (71) di Banyuwangi, Jawa Timur, memiliki cerita yang berbeda. Mendiang ayah Guno adalah orang Kasunanan Surakarta, Jawa Tengah. Dari ayahnya itulah, Guno mempelajari Kejawen. Sejak kecil, Guno diajarkan oleh ayahnya tentang konsep ketuhanan bagi orang-orang Jawa.

Selama puluhan tahun, Guno kenyang dengan berbagai diskriminasi dari lingkungan sekitarnya. Padahal, Kejawen juga mengakui adanya satu dzat yang maha gaib yang tidak dapat digambarkan dengan nalar apapun. Mereka menyebutnya Allah (dibaca "alah", bukan "aloh").

“Tuhan, itu sebutan orang Indonesia. God itu sebutan orang barat. Gusti Pengeran, itu untuk orang Jawa umumnya. Allah itu sebutan untuk orang Islam. Ada lagi Sang Hyang Widi, Yang Maha Kuasa dan lainnya. Jika itu mengacu kepada dzat yang menciptakan semesta, maka harus disepakati dulu bahwa kita menyembah sesuatu yang sama. Hanya saja namanya beda,” ungkap Guno, 8 September 2022.

Menurut yang ia yakini, ibadah seharusnya dilakukan atas dasar cinta kepada Tuhan. 

“Apa tujuan orang melakukan sembahyang? Jika itu adalah surga maka tujuan orang tersebut begitu dangkal dan menyebabkan seseorang akan menjadi seorang kapitalis pahala. Apa karena takut neraka? Maka itu akan menyebabkan seorang umat menjadi terlalu fanatik dan malah tersesat karena ketakutannya. Maka sembahyang yang benar adalah dengan dasar cinta kepada Tuhan,” kata Guno.

Diro dan Guno sendiri masih mencantumkan Islam pada kolom agama di KTP. 

“Saya bisa baca quran, hafal juga beberapa ayatnya. Orang-orang di sini menyebut kalau saya ini islam, tapi islam yang kejawen. Bagi saya tidak masalah mau disebut apa, intinya kita semua kan mahluk ciptaan dari dzat yang tunggal,” ungkap Guno.

Sementara, Diro berniat mengubahnya menjadi penghayat kepercayaan. "Mau nanti mengurus (KTP Kepercayaan), saya juga dimintai bantuan untuk mengurus anggota yang lain," tandasnya .

Baca Juga: Ki Madiro, Potret Penghayat Sapta Darma di Tengah Kota Metropolitan

Baca Juga: Mbah Guno, Penghayat Kejawen yang Menolak Menjadi Kapitalis Pahala

Liputan ini adalah laporan kolaborasi IDN Times. Pewarta: Herlambang Jati (DIY), Daruwaskita (DIY), Masdalena Napitupulu (Sumatra Utara), Tama Wiguna (Lampung), Debbie Sutrisno (Jawa Barat), Sri Wibisono (Kalimantan Timur), Anggun Puspitoningrum (Jawa Tengah), Khusnul Hasana (Jawa Timur), Agung Sedana (Jawa Timur).

Topik:

  • Paulus Risang

Berita Terkini Lainnya