Orientasi Kampus pada Pembangunan Gedung, Bikin Biaya Kuliah Mahal

Perlu perumusan standar biaya kuliah di Jogja

Yogyakarta, IDN Times - Orientasi kampus di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) pada peningkatan infrastruktur kampus, dinilai menjadi biang tingginya biaya kuliah di 'Kota Pelajar' ini. Sistem biaya kuliah dinilai perlu diubah, agar pendidikan bisa diakses semua orang.

Pendiri Social Movement Institute (SMI) sekaligus pengamat pendidikan, Eko Prasetyo melihat terdapat masalah pada kampus yang ada di DIY saat ini. Hal tersebut tidak lepas dari orientasi kampus pada aspek pembangunan infrastruktur, yang membutuhkan biaya tinggi.

Mengacu survei yang dilakukan Badan Pusat Statistik (BPS) pada Juli 2020 - Juni 2021 menempatkan biaya pendidikan pada tingkat Perguruan Tinggi di DIY paling tinggi dibanding provinsi lain. Berdasar survei tersebut rata-rata biaya pendidikan Perguruan Tinggi di DIY mencapai Rp21,10 juta per tahun.

1. Persaingan kampus pada kualitas bangunan

Orientasi Kampus pada Pembangunan Gedung, Bikin Biaya Kuliah Mahalilustrasi uang (IDN Times/Aditya Pratama)

Persaingan kampus di Jogja menurut Eko saat ini bukan kualitas pengajaran, tapi kualitas bangunan. Banyak kampus yang mulai berkompetisi pada bangunan fisik. "Lihat UGM begitu megah, belum kampus swasta yang lain. Menurut saya kompetisi infrastruktur itu yang membuat kampus di DIY, menjadi kampus yang sangat mahal," ungkap Eko, Kamis (10/8/2023).

Selain itu, Eko melihat ada kompetisi antar kampus untuk menjaring mahasiswa menengah atas. Sehingga ada banyak kampus yang membuka entah itu jalur internasional, jalur orang yang punya biaya lebih tinggi.

"Mereka berasumsi bahwa kelas menengah atas, elite, harus ditampung di kampus yang memberikan fasilitas dan layanan lebih buat mereka. Jadi ya segmennya sangat segmented. Misalnya ada kampus di DIY yang KKN sampai ke Mekkah, Jeddah gitu. Itu artinya mereka memang mencoba mengembangkan kurikulum yang berbiaya tinggi, dan itu membuat biaya kampus menjadi sangat meledak," ungkap Eko.

2. Pemerintah tidak mengatur secara khusus biaya penerimaan mahasiswa

Orientasi Kampus pada Pembangunan Gedung, Bikin Biaya Kuliah MahalIlustrasi Uang. (IDN Times/Aditya Pratama)

Faktor yang paling krusial adalah pemerintah tidak mengatur masalah pembayaran biaya perkuliahan dengan ketat. "Gak ada intervensi, jadi tidak ada peraturan sama sekali tentang ini," ujar penulis buku Orang Miskin Dilarang Sekolah itu.

Eko menyebut kampus, bisa sesukanya menentukan biaya pendidikan. Ia memberi contoh ada kampus yang memberlakukan biaya yang berbeda sesuai jadwal masuk kuliah. "Ada kampus di DIY yang masuk pagi, siang, sore, beda-beda jadwalnya, beda uangnya. Kan gak masuk akal," ujarnya.

Pemerintah juga tidak mengatur standar atau tata cara penerimaan mahasiswa. Ujungnya hal tersebut berdampak pada biaya pendidikan di kampus tersebut. "Kampus dibebaskan untuk mencari dana dengan mudah, dengan leluasa. Ini membuat biaya kampus sangat tinggi. Ada yang skema cicilan, ada skema uang gedung. Ada banyak macam skema, yang gak ada standarisasi, dan itu membuat mahal," ungkap Eko.

Sistem Uang Kuliah Tunggal (UKT) yang berlaku di Perguruan Tinggi Negari (PTN) juga terasa tidak efektif. Menurut Eko, UKT tidak ada validasi yang menyeluruh, sehingga setiap mahasiswa bisa sesuakanya dikenai sistem ini.

"Tidak tervalidasi benar, itu golongan mampu atau tidak. Apalagi sistem keberatannya harus melalui proses administrasi yang rumit, sehingga banyak orang enggan untuk mengurus. Kalau udah kena UKT tinggi males-malesan juga ngurus, karena sistem keberatan tidak mudah," kata Eko.

Baca Juga: Penulis Kuliah Kok Mahal, Minta Negara Pikirkan Pendidikan Murah      

3. Perlu standar jelas pengaturan biaya kuliah

Orientasi Kampus pada Pembangunan Gedung, Bikin Biaya Kuliah Mahalilustrasi uang (IDN Times/Aditya Pratama)

Eko juga melihat dengan biaya tinggi kuliah di DIY, tidak sejalan dengan Upah Minimum Regional (UMR) yang rendah. Dapat dilihat justru yang banyak mengenyam pendidikan di PTN di DIY, justru orang yang berasal dari luar daerah. Saat ini UMR 2023 di DIY, adalah terendah kedua di Indonesia, yaitu Rp1.981.782.

"Kita lihat saja PTN di Jogja itu, makin sedikit anak Jogja bisa kuliah di kampus negeri. Kebanyakan anak ibu kota, anak-anak yang berasal dari daerah tambang batu bara, daerah (perkebunan) kelapa sawit," ujar Eko.

Menurutnya di DIY ini sudah ada pola khsusus, dimana siswa yang berasal dari sekolah yang ada di pinggiran, akan kesulitan mendapat akses di perguruan tinggi favorit. Penting menurut Eko, ada alokasi khusus untuk daerah tertinggal, sekolah pinggiran, bisa masuk di kampus favorit.

"Saat ini yang berjasa bukan PTN, tapi kampus kecil swasta yang menampung anak-anak gak mampu. Di Jogja kelihatan sekali, kesenjangan kampus itu. Ada kampus yang isinya (orang) daerah tertinggal semua, ada kampus yang dihuni orang mapan," ujar Eko.

Hal yang penting, menurut Eko harus ada standar yang jelas untuk tarif maksimal biaya pendidikan di kampus, yang disepakati kampus yang ada di DIY. Kesepakatan tersebut harus ditaati, jika ada yang melenceng dari aturan yang ada, diturunkan akreditasinya.

"Akreditas kampus saat ini tidak ada kaitannya dengan biaya pendidikan, dan kalau kampus akreditasi A, bisa sesukanya. Kampus swasta sudah akreditasi A dengan gampang menerapkan biaya dengan cara apapun, apalagi kampus negeri dengan mudah," ungkapnya.

Pemerintah menurutnya harus hadir dalam masalah ini. Pemerintah harus ada ketegasan soal tarif yang bisa dijangkau. "Harus ada intervensi pemerintah untuk pembatasan tarif biaya maksimal, dan tidak boleh keluar dari tarif itu, atau harus ada alokasi yang luas untuk beasiswa bagi golongan yang tidak mampu dari daerah tertinggal," ucap Eko.

Baca Juga: Biaya Kuliah Terus Naik, Jogja sedang Tidak Baik-baik Saja 

Topik:

  • Febriana Sintasari

Berita Terkini Lainnya