Cerita di Balik After Movie Biak Elok 2024 KKN UGM, 1 Tahun Pengerjaan

- Film After Movie Biak Elok 2024 menghadirkan terobosan visual dan musik Papua yang belum pernah ada sebelumnya dalam dokumenter KKN di Indonesia.
- Proses pengerjaan film memakan waktu total satu tahun pasca-KKN, dengan tantangan teknis terbesar pada animasi 3D dan produksi musik original.
- Melalui film ini, tim KKN-PPM UGM Biak Elok 2024 ingin menyampaikan pesan tentang kehidupan otentik dan nilai-nilai kearifan lokal di Papua serta mendorong kesadaran kolektif untuk mengambil peran pengabdian di kampung halaman masing-masing.
Yogyakarta, IDN Times - Film After Movie Biak Elok 2024 karya mahasiswa KKN-PPM UGM dari Unit Biak Elok berhasil menyedot perhatian publik setelah tayang secara eksklusif di Empire Cinema XXI Yogyakarta dan Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta. Film dokumenter ini tak hanya merekam perjalanan pengabdian di Pulau Nusi, Biak Numfor, tetapi juga menawarkan pendekatan visual dan naratif yang belum pernah dilakukan dalam dokumenter KKN manapun di Indonesia.
Sutradara After Movie Biak Elok 2024, Fauzy Ash Siddiqiy, mengatakan ide awal film ini lahir dari keinginan untuk menghadirkan perspektif berbeda dari dokumentasi KKN sebelumnya. AfterMovie KKN sebelumnya banyak menyorot keindahan alam Biak Numfor.
“Kami ingin menawarkan sesuatu yang berbeda yakni menelusuri misteri di balik lautan Aimando Padaido, lokasi pengabdian kami. Ternyata, tempat tersebut merupakan 'kuburan' pesawat tempur sisa Perang Dunia II. Dari situ, kami memutuskan untuk menggabungkan narasi sejarah perang dengan pendekatan visual etnografis yang mendalam, sehingga menghasilkan sebuah cerita yang segar dan multi-perspektif,” kata Fauzy, Rabu (19/11/2025).
1. Beberapa terobosan dihadirkan

Fauzy mengatakan ada beberapa terobosan yang diyakini belum pernah ada di film dokumenter KKN manapun di Indonesia, dan dihadirkan di After Movie Biak Elok 2024. “Pertama, kami menghadirkan rekonstruksi visual jatuhnya Pesawat Catalina di lautan Biak Numfor menggunakan format animasi 3D,” kata Fauzy.
Hal lain yang dihadirkan dalam film ini yaitu produksi 9 Lagu Original Soundtrack (OST) secara mandiri, memadukan unsur musik asli daerah Papua dengan sentuhan orkestra dan elektronik. “Ketiga, secara cerita, film ini menggali sisi emosional kehidupan masyarakat Pulau Nusi yang sangat menyentuh hati,” ungkapnya.
2. Proses pengerjaan dan tantangan

Fauzy menyebut proses pengerjaan film ini sangat panjang dan intens, memakan waktu total satu tahun pasca-KKN. Dimulai dari menyortir footage sebesar 3,4 Terabytes dan perombakan naskah hingga tiga kali untuk mendapatkan alur terbaik.
Tantangan teknis terbesar ada di dua sektor, pengerjaan animasi 3D (menggunakan Blender & compositing di After Effects) yang memakan waktu 5 bulan, serta produksi musik original dari nol yang butuh waktu 7 bulan. Terakhir, proses editing offline hingga color grading memakan waktu sekitar 4 bulan.
“Kendala utama tentu pada pendanaan. Memproduksi film dengan standar bioskop, animasi 3D, dan scoring musik original membutuhkan riset serta perangkat post-production yang mumpuni,” ucap Fauzy.
Untuk mengatasinya, timnya bergerak secara swadaya (kolektif). Mereka melakukan likuidasi beberapa aset pribadi tim untuk diinvestasikan kembali ke perangkat pendukung editing. “Selain itu, dukungan finansial dari keluarga, terutama orang tua dan saudara, sangat membantu kami menutup biaya produksi yang besar, demi memastikan film ini bisa dinikmati secara maksimal oleh audiens dari segala kalangan,” cerita Fauzy.
3. Pesan yang ingin disampaikan

Koordinator Mahasiswa Unit KKN-PPM UGM Biak Elok 2024, Anugrah Wejai, menambahkan melalui film ini, ingin membawa pesan bahwa Papua memiliki sudut pandang kehidupan yang otentik dan penuh rasa kemanusiaan dan solidaritas. Selama 50 hari pengabdian KKN UGM di Pulau Nusi, mereka belajar tentang sistem kehidupan dan tatanan sosial orang Papua yang jauh berbeda dari arus pemberitaan mainstream selama ini.
“Bukan hanya soal pesona alam, tetapi juga nilai-nilai kearifan lokal yang eksis hingga mendewasakan kami. Sehingga kami mengerti bahwa pengalaman ini harus disampaikan lebih luas dengan dipadukan pada visual dan audio yang otentik, agar audiens dapat merasakan apa yang harus dirasakan ketika berbicara soal ‘Papua’,” ucap Wejai.
Wejai juga menyebut penayangan film ini di Bioskop Empire Cinema XXI Yogyakarta karena antusiasme dan dukungan dari Universitas Gadjah Mada, KAGAMA, dan Kementerian Kebudayaan. Tim KKN-PPM UGM Biak Elok 2024 merasa bersyukur dan sukacita atas penayangan ini. Selain penayangan di Yogyakarta, adapun anggota tim yang sudah berada di Jakarta pun menayangkannya di Taman Ismail Marzuki (TIM) pada hari yang bersamaan.
“Tetapi, tidak hanya tim saja, melainkan seluruh tamu undangan yang menyaksikan baik itu mahasiswa Papua se-DIY dan tamu-tamu lainnya pun merasakan perasaan haru dan semangat kembali mengabdi di Papua,” ungkapnya.
Wejai mengatakan mereka berharap karya ini dapat menjadi penyampai pesan perdamaian dan solidaritas tentang keanekaragaman suku nusantara, secara khusus Biak Numfor, Papua. “Tidak hanya itu, melalui film ini kami berharap munculnya kesadaran kolektif di antara masyarakat Indonesia untuk mengambil peran pengabdian di kampung halamannya masing-masing, sebab mungkin masih banyak lagi pengalaman dan sistem kehidupan masyarakat pelosok yang jarang terdokumentasikan dengan baik,” tutup Wejai.

















