Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

[OPINI] Hari Kopi Sedunia: Saatnya Serikat Kopi Bersatu

Dongeng Kopi1611700569579278_905170525323465585_n_1080.jpg
Dok. SCAI

Sleman, IDN Times - Setiap 1 Oktober dunia merayakan Hari Kopi Sedunia. Di Yogyakarta, perayaan itu kerap meriah: kedai kopi berlomba memberi diskon, menggelar acara musik, hingga meluncurkan menu spesial. Kota ini, yang lama dikenal sebagai kota pendidikan, kota wisata, sekaligus kota perjuangan, kini menjelma pula sebagai “kota kopi”. Aroma arabika dan robusta menyeruak dari ribuan kedai yang tersebar hingga ke gang sempit kampung mahasiswa.

Data IDN Times mencatat, di Kecamatan Depok saja terdapat rata-rata 14 kedai kopi dalam setiap satu kilometer persegi. Wikikopi, gerakan koperasi yang menaruh perhatian pada riset dan pengembangan SDM komoditas kopi, menyebut jumlah kedai di Yogyakarta sudah lebih dari 3.500—termasuk yang ada di hotel-hotel. Potensi perputaran uangnya ditaksir mencapai ratusan miliar rupiah per tahun.

Fenomena ini sejalan dengan tren nasional. Badan Pusat Statistik (BPS) dan Asosiasi Eksportir Kopi Indonesia (AEKI) melaporkan, konsumsi kopi domestik naik dari 1 kilogram per kapita per tahun (2013) menjadi 1,8 kilogram pada 2023. Kopi bukan lagi sekadar komoditas ekspor, melainkan bagian dari gaya hidup kelas menengah urban.

Namun di balik gemerlap kedai modern, industri kopi Indonesia menyimpan ironi.

Ketidakadilan dari Hulu ke Hilir

Petani Kopi Gunung Wangun Dua Babakan Madang, Entib, berhasil menempati posisi lima besar festival kopi di Prancis. (IDN Times/Satria Permana)
Petani Kopi Gunung Wangun Dua Babakan Madang, Entib, berhasil menempati posisi lima besar festival kopi di Prancis. (IDN Times/Satria Permana)

Petani kopi di lereng Merapi, Menoreh, hingga Gunung Gambar masih bergulat dengan harga jual yang jatuh setiap panen. Tanpa lembaga penyangga seperti Bulog pada beras, mereka terpaksa menjual murah ke tengkulak. Data BPS DIY 2023 mencatat, rata-rata pendapatan petani kopi rakyat di Kulon Progo masih di bawah Rp2 juta per bulan—jauh dari standar hidup layak.

Ketidakadilan di hulu menjalar ke hilir. Kedai bermodal besar memicu perang harga dengan strategi bakar uang, membuat kedai kecil megap-megap. Barista, wajah paling terlihat dari industri kopi, sering diperlakukan hanya sebagai pekerja lepas: upah minim, kontrak tidak pasti. Roaster kopi—pengolah biji menjadi produk bernilai—pun kerap ditekan pemilik modal yang membeli dalam jumlah besar dengan harga rendah.

Saatnya Serikat Kopi

Petani Kopi Sipirok studi banding ke KBQ Baburrayyan (IDN Times/Arifin Al Alamudi)
Petani Kopi Sipirok studi banding ke KBQ Baburrayyan (IDN Times/Arifin Al Alamudi)

Hari Kopi Sedunia seharusnya tak berhenti pada romantisme “ngopi bersama”. Ia mestinya menjadi momentum lahirnya kesadaran baru: keadilan dalam industri kopi hanya mungkin bila para pelakunya berserikat.

Di hulu, petani kopi membutuhkan serikat yang sungguh-sungguh kuat, bukan sekadar koperasi formalitas. Vietnam memberi contoh. Asosiasi Kopi Vietnam (VICOFA) mampu mengatur harga ekspor dan melindungi petani dari permainan tengkulak. Brasil, lewat Instituto Brasileiro do Café (IBC), bahkan pernah menetapkan harga minimal bagi petani kecil. Indonesia, produsen kopi terbesar keempat dunia, ironisnya belum memiliki instrumen kolektif semacam itu.

Di hilir, barista mulai sadar pentingnya serikat. Di kota-kota besar, komunitas barista tumbuh, menggelar pelatihan mandiri hingga forum advokasi. Dengan berserikat, barista bisa menegosiasikan standar upah, jam kerja manusiawi, dan ikut mengampanyekan kopi berkeadilan.

Pemilik kedai kecil pun perlu bersatu. Saat ini banyak kedai independen tersingkir oleh gempuran modal besar. Serikat pemilik kedai bisa menciptakan standar harga jual yang sehat, berbagi jaringan pemasok, dan melawan praktik predatory pricing. Di Yogyakarta, embrio kerja sama ini sudah muncul lewat forum-forum kopi yang mempertemukan pemilik kedai kecil.

Tak kalah penting, roaster—jantung kreatif industri kopi—juga butuh wadah kolektif. Keahlian mereka dalam menentukan cita rasa tak boleh ditekan pemilik modal. Serikat roaster dapat memperkuat posisi tawar, mengampanyekan produk lokal, dan memastikan nilai tambah tidak diambil sepihak.

Belajar dari Gerakan Global

Ilustrasi Sebelum Apply Jadi Barista, Baca Dulu Fakta Ini! (pexels.com/Wendy Wei)
Ilustrasi Sebelum Apply Jadi Barista, Baca Dulu Fakta Ini! (pexels.com/Wendy Wei)

Dunia sudah memberi teladan. Pada 2021, barista Starbucks di Buffalo, Amerika Serikat, mendirikan serikat pekerja pertama dalam sejarah perusahaan itu: Starbucks Workers United. Gerakan ini menjalar ke ratusan gerai lain, menuntut upah layak, jam kerja pasti, dan perlindungan kesehatan.

Di Inggris, Unite the Union mengorganisir pekerja kafe untuk menuntut upah minimum sektoral dan kontrak adil. Di Australia, United Workers Union bahkan mendorong regulasi rantai pasok agar harga yang adil sampai ke petani di negara produsen.

Ada pula Fairtrade International, yang bekerja bersama koperasi petani di Amerika Latin dan Afrika. Dengan standar harga minimum internasional, Fairtrade memberi jaring pengaman agar petani tak sepenuhnya tergantung fluktuasi pasar.

Indonesia punya modal sosial untuk membangun gerakan serupa. Dari petani di hulu, barista di kedai, pemilik usaha kecil, hingga roaster—semuanya bisa terhubung dalam gerakan bersama. Tantangannya: kesadaran kolektif dan keberanian politik negara untuk memberi ruang.

Peran Negara

Sanger espresso menjadi andalan El Sierra. Mereka menggunakan biji kopi andalan asal Karo. (IDN Times/Prayugo Utomo)
Sanger espresso menjadi andalan El Sierra. Mereka menggunakan biji kopi andalan asal Karo. (IDN Times/Prayugo Utomo)

Serikat saja tak cukup jika negara absen. Pemerintah mesti hadir sebagai moderator yang menjembatani kepentingan tiap mata rantai. Instrumen kebijakan harga dasar, floor price, hingga buffer stock layak dipertimbangkan. Jika beras bisa dijaga Bulog, mengapa kopi—komoditas dengan nilai ekspor USD 1,1 miliar pada 2023—tak mendapat perlakuan serupa?

Pemerintah daerah juga bisa mengambil inisiatif. Forum lintas rantai pasok—dari petani, roaster, barista, hingga pemilik kedai—perlu digelar rutin untuk merumuskan standar harga, mutu, dan strategi promosi kopi lokal. Negara hanya perlu menjadi moderator, bukan pengendali, agar ekosistem kopi tumbuh seimbang.

Kopi, kata orang bijak, adalah bahasa universal persahabatan. Namun di negeri ini, kopi juga berbicara dengan bahasa ketidakadilan. Aroma harum di cangkir kita sering lahir dari getir di kebun.

Karena itu, jawaban bagi persoalan kopi Indonesia bukan sekadar mengutuk mafia harga atau meratapi modal besar. Jawabannya adalah solidaritas. Serikat petani, barista, pemilik kedai, dan roaster harus menjadi pilar penyangga industri kopi nasional. Dengan begitu, pemerintah tak lagi berhadapan dengan individu lemah, melainkan komunitas kuat yang siap berunding.

Hari Kopi Sedunia mestinya mengingatkan kita: kopi bukan sekadar gaya hidup urban. Ia adalah soal keberpihakan. Dan keberpihakan hanya akan lahir bila republik kopi ini berdiri di atas fondasi perserikatan yang kokoh—dengan negara hadir sebagai penengah yang adil.

Hanya dengan itu, harum kopi di cangkir tak lagi menyisakan getir di kebun.

*) Renggo Darsono, Juru Cerita Dongeng Kopi, kedai kecil di pinggiran candi-candi di Kalasan, Yogyakarta.

Opini penulis tidak mewakili pendirian redaksi IDN Times.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Yogie Fadila
EditorYogie Fadila
Follow Us

Latest Food Jogja

See More

[OPINI] Hari Kopi Sedunia: Saatnya Serikat Kopi Bersatu

01 Okt 2025, 15:59 WIBFood