TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Daya Saing Industri Manufaktur Rendah, BI DIY Ungkap Penyebabnya 

Upah tenaga kerja Indonesia lebih mahal dari Thailand

Ilustrasi pabrik. ANTARA FOTO/Aloysius Jarot Nugroho

Yogyakarta, IDN Times-Industri manufaktur menjadi sektor yang perlu digenjot untuk menguatkan neraca perdagangan Indonesia. Berdasarkan analisis Bank Indonesia ada 3 masalah utama penyebab rendahnya daya saing industri manufaktur.

Kepala KPw BI DIY, Hilman Tisnawan mengungkapkan salah satu strategi yang diangkat yakni pengembangan industri manufaktur untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi secara berkelanjutan dan inklusif.

"Industri manufaktur yang menjadi prioritas antara lain industri otomotif, industri tekstil dan produk tekstil (TPT), dan alas kaki," ujar Hilman, Jumat (25/10).

Kendati demikian, sumber daya manusia masih menjadi kendala yang dihadapi. Daya saing industri manufaktur dalam negeri masih relatif sulit terakselerasi karena terhambat oleh faktor SDM yang kurang produktif, sehingga daya saing industri manufaktur menjadi rendah dan banyaknya pengangguran terdidik.

Berikut 3 masalah utama akibat hal tersebut.

Baca Juga: Pembuat Rempeyek di Bantul Keluhkan Harga Bahan Baku yang Tidak Stabil

1. Biaya tenaga kerja di Indonesia tinggi

IDN Times/Galih Persiana

Hilman memaparkan apabila dibandingkan dengan negara peer group, biaya tenaga kerja di Indonesia cenderung lebih mahal dengan tingkat produktivitas yang lebih rendah. Dibandingkan dengan Vietnam, tingkat upah di Indonesia secara umum lebih tinggi 40 persen.

"Selain itu, ketentuan lembur dan pemutusan hubungan kerja juga lebih mahal," ungkap Hilman.

Diandingkan Thailand, kenaikan tingkat upah Indonesia per tahunnya 2 kali lebih tinggi. Namun jumlah jam kerja di Indonesia (40 jam per minggu) justru lebih rendah dibandingkan negara Vietnam dan Thailand yang mencapai 48 jam per minggu.

"Untuk mengatasi permasalahan tersebut memang tidak bisa dilakukan secara instan. Perlu penguatan sinergi antara pemerintah, pelaku usaha, dan lembaga pendidikan untuk meningkatkan produktivitas dari sumber daya manusia industri manufaktur," jelas Hilman.

2. Keterampilan tenaga kerja kurang mumpuni

Istimewa/Bank Indonesia DIY

Tiga industri manufaktur utama tersebut, kata Hilman, menjadi fokus utama, karena memiliki nilai tambah yang tinggi dan masuk dalam Global  Value Chain. Selain itu, industri manufaktur dapat menjadi quick win yang dapat mendorong ekspor, sehingga diharapkan dapat berdampak pada penurunan current account deficit (CAD).

"Namun, pada industri padat karya seperti alas kaki dan TPT masih kesulitan mencari tenaga kerja terampil, sehingga banyak pekerja yang under qualified," jelas Hilman.

Sementara itu, pada industri high tech seperti otomotif memerlukan tenaga kerja dengan keterampilan atau skill yang tinggi. Maka dari itu, investasi pendidikan yang diperlukan juga semakin tinggi.

Baca Juga: Dinas Pariwisata Genjot Jumlah Belanja Wisatawan di Yogyakarta

Berita Terkini Lainnya