Saran UGM Cegah Antraks: Kremator Berjalan-Beli Tanah Penguburan

Penanganan bangkai ternak tak boleh sembarangan

Yogyakarta, IDN Times - Universitas Gadjah Mada (UGM) menyarankan sejumlah langkah kepada pemerintah untuk mencegah penyakit antraks yang bisa menular ke ternak dan manusia melalui hewan mati terinfeksi. Untuk diketahui, antraks merupakan penyakit bersifat zoonosis yang dipicu oleh bakteri Bacillus anthracis. Manusia dan hewan bisa terpapar spora dari bakteri tersebut.

1. Penanganan bangkai tak sembarangan

Saran UGM Cegah Antraks: Kremator Berjalan-Beli Tanah PenguburanIlustrasi ternak sapi. (ANTARA FOTO/Mohamad Hamzah)

Dokter hewan dari Fakultas Kedokteran Hewan UGM, Agnesia Endang Tri Hastuti Wahyuni, mengatakan penanganan bangkai hewan ternak tak bisa sembarangan. Secara prinsip, bakteri jangan sampai tercecer agar tak menjadi spora ketika terkena udara.

"Hewan tidak boleh dibuka, tidak boleh disembelih. Jangan sampai darahnya keluar karena bakterinya itu ada di darahnya," kata Agnesia di UGM, Sleman, Jumat (7/7/2023).

Saat bakteri menghasilkan spora, potensi penularannya bisa melalui makanan dan minuman ternak atau terhirup langsung oleh manusia. Maka dari itu, bangkai ternak sebaiknya tak disembelih apalagi sampai dikonsumsi.

"(Bangkai) dibakar dan dikubur itu yang harus dilakukan, tapi dikuburnya pun tidak boleh sembarangan. Harus ditutup rapat dengan tanah dan disemen," ungkapnya.

2. Beli tanah bekas penguburan

Saran UGM Cegah Antraks: Kremator Berjalan-Beli Tanah PenguburanIlustrasi Bacillus anthracis penyebab antraks (phil.cdc.gov)

Dosen Fakultas Peternakan UGM Nanung Danar Dono sementara itu meminta perilaku menyembelih dan mengonsumsi hewan ternak mati karena sakit agar dihentikan. Tradisi mbrandu yang memperjualbelikan daging hewan ternak mati karena sakit atas asas gotong royong untuk warga yang kehilangan justru jadi sarana penyebaran antraks.

Menurut Nanung, pemerintah dapat hadir dengan memberikan insentif kepada peternak yang sapinya mati karena penyakit, atau membuat skema asuransi.

Usul lain Nanung buat pemerintah adalah membeli tanah bekas penguburan hewan terinfeksi antraks. Kata dia, sebuah studi di Afrika Selatan membuktikan jika spora yang dihasilkan oleh bakteri pemicu antraks mampu awet hingga 250 tahun lamanya.

"Pemerintah mungkin harus membeli untung tanah itu. Kemudian dibuat pagar tinggi, diberi pengumuman yang jelas bahwa ini daerah berbahaya bekas antraks dan tidak boleh tanahnya diolah, dan sebagainya," kata Nanung.

Baca Juga: Mbrandu, Tradisi Pemicu Penyebaran Antraks di Gunungkidul

3. Krematorium berjalan

Saran UGM Cegah Antraks: Kremator Berjalan-Beli Tanah Penguburanilustrasi api (pexels.com/Jens Mahnke)

Saran Nanung selanjutnya, pemerintah menyediakan fasilitas mobile incinerator atau semacam krematorium berjalan khusus untuk hewan dengan suhu 800 derajat ke atas. Alat ini dioperasikan ke seluruh wilayah yang melaporkan temuan adanya kasus antraks.

"Ketika alat kremasi tidak ada, maka bisa dibakar, ada yang mengatakan pakai kayu bakar dua ton, ya memang harus begitu. Ditambahi minyak tanah sampai kemudian betul-betul menjadi abu," terang Nanung.

Tak kalah penting, pemerintah harus lebih menggencarkan edukasi dan pendampingan kepada masyarakat. Memastikan warga menguburkan hewan ternak mati milik mereka sedalam 2-3 meter sebelum dilapisi dengan semen.

Kasus penyebaran antraks di Gunungkidul mencuat setelah dilaporkan sebanyak 87 warga Dusun Jati, Candirejo, Semanu, dinyatakan positif terjangkit berdasarkan tes serologi.

Ada pula satu warga lainnya yang meninggal 4 Juni 2023 lalu usai terjangkit antraks. Pemicu penyebaran penyakit ini disinyalir adalah tradisi mbrandu.

Adapun 12 ekor ternak mati karena antraks sejak April hingga akhir Juni 2023. Mereka terdiri dari 6 sapi dan 6 kambing.

Baca Juga: 3 Penyebab Penularan Antraks, Tak Menular Antar Manusia   

Topik:

  • Paulus Risang

Berita Terkini Lainnya