Masih Marak, Hoaks dan Stigmatisasi bagi Pasien COVID-19 Bisa Fatal 

Masih banyak tetangga yang mengucilkan pasien COVID-19

Sleman, IDN Times - Hoaks dan stigmatisasi COVID-19 hingga saat ini masih kerap ditemui di lapangan. Inisiator gerakan Sambatan Jogja (Sonjo), Rimawan Pradiptyo, menjelaskan hoaks yang ada tersebut berpengaruh besar terhadap penanganan COVID-19 di lapangan. Baik yang erat kaitannya dengan pasien COVID-19 sendiri, maupun bagi relawan.

Begitu pun untuk stigmatisasi, masih banyak pasien COVID-19 yang dikucilkan ketika dirinya diketahui terkena COVID-19.

Baca Juga: SONJO, Wujud Masyarakat Bergerak Atasi Pandemik lewat Gotong Royong

1. Hoaks COVID-19 bisa berakibat fatal bagi keselamatan seseorang

Masih Marak, Hoaks dan Stigmatisasi bagi Pasien COVID-19 Bisa Fatal Tim Gugus Tugas Pencegahan dan Pengendalian COVID-19 memakamkan jenazah pasien positif COVID-19 (ANTARA FOTO/Yusuf Nugroho)

Rimawan menjelaskan, hal terberat yang harus dilalui oleh relawan di lapangan adalah melawan hoaks yang tidak terkendali. Hoaks yang ada tersebut seperti halnya hoaks seseorang dicovidkan jika ke fasilitas kesehatan, seseorang akan meninggal jika divaksinasi, ambulans yang lalu lalang dikatakan hanya untuk menakut-nakuti, isolasi di selter tidak nyaman dan lain sebagainya.

Hoaks yang berkaitan dengan vaksin misalnya, hal tersebut sebenarnya bisa berakibat fatal. Di mana jika seseorang termakan hoaks tersebut, lalu tidak mau divaksinasi dan pada akhirnya terkena COVID-19, maka kondisinya dimungkinkan akan lebih parah dibandingkan dengan orang yang bersedia untuk divaksinasi.

Begitu pula dengan hoaks seseorang dicovidkan jika ke fasilitas kesehatan maupun tidak nyaman jika ke selter, hal tersebut akan berpengaruh besar terhadap keselamatan pasien yang bersangkutan karena tidak bisa mendapatkan perawatan yang optimal.

"Problemnya kalau tidak masuk selter, maka dia isoman (isolasi mandiri). Kalau isoman, banyak orang tidak punya oksimeter. Ketika itu terjadi, lalu kemudian drop, apa yang terjadi? Besar kemungkinan wafat. Jadi ada pasien kemudian melaporkan, ini sudah saturasi 60 saat isoman, ya mohon maaf, kalau yang bersangkutan besar kemungkinan (sekalipun) masuknya langsung ke ICU, itu besar kemungkinan tidak tertolong tinggi," ungkapnya pada Minggu (29/8/2021).

Bukan hanya itu, Rimawan menjelaskan jika hoaks yang muncul tersebut juga bisa berdampak pada relawan yang ada di lapangan. Di mana beberapa kali juga ambulans para relawan dihadang pemotor lantaran para penghadangnya termakan hoaks.

2. Stigmatisasi terhadap pasien COVID-19 juga masih terjadi

Masih Marak, Hoaks dan Stigmatisasi bagi Pasien COVID-19 Bisa Fatal Ilustrasi stigma negatif pasien COVID-19 (Pexels/Cottonbro)

Selain menghadapi hoaks, stigmatisasi juga masih banyak ditemui di lapangan. Terutama di daerah yang bukan perkotaan. Banyak tetangga yang mengucilkan jika seseorang terkena COVID-19.

Akibatnya, yang bersangkutan enggan untuk melapor, memeriksakan diri, maupun dibawa ke selter. Sehingga, ketika kondisinya memburuk, maka akibat yang paling fatal, pasien yang bersangkutan bisa saja meninggal dunia.

"Banyak yang terjadi di lapangan, orang dikucilkan kalau mengatakan terkena COVID-19. Sama tetangga dikucilkan. Di Jogja mungkin hal seperti itu tidak banyak terjadi. Tapi di daerah lain, terjadi," jelasnya.

3. Menggerakan PKK dan optimalisasikan peran puskesmas

Masih Marak, Hoaks dan Stigmatisasi bagi Pasien COVID-19 Bisa Fatal Tim Penggerak PKK Provinsi Sulawesi Barat saat membagikan masker dan vitamin kepada masyarakat di Kota Mamuju, Kabupaten Mamuju, Sulawesi Barat, pada 14 Agustus 2020. (Dok. Humas Pemprov Sulawesi Barat)

Rimawan mengatakan, untuk bisa menerangi hoaks yang ada tersebut, salah satunya bisa dilakukan dengan cara menggerakkan para Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga (PKK). Hal ini karena PKK sendiri merupakan gerakan yang bisa sampai ke level paling bawah, dengan perempuan sebagai motor penggeraknya.

"Kalau program seperti itu melibatkan PKK, itu banyak berhasilnya. Karena PKK sampai ke level dasawisma. Dan saya lihat, pemerintah kurang menggalakkan PKK," katanya.

Selanjutnya adalah optimalisasikan peran dari puskesmas untuk penanganan COVID-19. Menurutnya, selama ini pemerintah masih kurang mengoptimalkan puskesmas, dan peran puskesmas banyak digantikan oleh rumah sakit. Padahal, jika puskesmas dioptimalkan, maka banyak hal bisa diselesaikan cukup di puskesmas.

Berkenaan dengan hoaks vaksin, hal yang bisa dilakukan yakni dengan bekerja sama dengan pondok pesantren. Di mana nantinya, banyak masyarakat sekitar pondok pesantren yang bisa percaya dan mau divaksinasi ketika melihat secara langsung orang-orang yang ada di pondok pesantren tetap sehat ketika sudah divaksinasi.

"Kalau sudah ada pesantren sudah divaksin, untuk menunjukkan kalau sudah divaksin itu tidak kemudian mati. Di Indonesia tidak cukup hanya membaca, tapi harus melihat dengan mata kepala sendiri, baru percaya," paparnya.

Baca Juga: Alissa Wahid: Kehilangan Orangtua saat Pandemi, Stressor Terbesar Anak

Topik:

  • Paulus Risang

Berita Terkini Lainnya