Mengintip Tandu yang Mengangkut HB I dari Keraton Menuju Masjid Gedhe

Sebagian naskah kuno disimpan di ANRI

Yogyakarta, IDN Times – Manusia hidup tak pernah merasa puas. Selalu ingin lebih dan lebih lagi. Demikianlah acap kali manusia digambarkan. Nah, mau tahu dari mana istilah itu muncul?

Adalah Sultan Hamengku Buwono I, Raja Kasultanan Ngayogyakarta yang pertama. Ada sejumlah piwulang atau pengajaran yang disampaikannya dalam Bahasa Jawa semasa memerintah dari 1755-1792 dan ternyata tetap ditemukan dalam kehidupan sehari-hari masa kini.

Salokaning wong urip puniki kedhik cukup sinung akeh kurang, tuhu tan ana warege”. Jika di-Indonesia-kan, berarti perumpamaannya orang hidup itu sedikit cukup, diberi banyak kurang. Sungguh tidak ada puasnya.

Di area Sitihinggil Keraton Yogyakarta yang menjadi bangunan tempat upacara penobatan raja dan tempat raja bertahta, sejumlah benda kuno peninggalan masa HB I dipamerkan dalam Pameran Sekaten 2019 yang akan berakhir 9 November 2019 mendatang. Mulai ketika bergelar Pangeran Mangkubumi hingga bertahta menjadi Sultan Hamengku Buwono I. Lantaran tak boleh difoto, IDN Times mencoba mendeskripsikannya lewat reportase, Senin (4/11).

1. Naskah kuno tentang Geger Pacinan hingga Perjanjian Giyanti

Mengintip Tandu yang Mengangkut HB I dari Keraton Menuju Masjid GedhePamflet pameran Sekaten 2019 yang memperlihatkan manuskrip Perjanjian Giyanti. IDN Times/Pito Agustin Rudiana

Buat penyuka sejarah, membaca manuskrip kuno menjadi keasyikan sendiri. Apalagi jika manuskrip tersebut mengisahkan tentang perjalanan sejarah seseorang yang mempunyai peran besar. Namun bagi yang tak bisa membacanya, ada pemandu yang akan menjelaskan.

Seperti kisah Geger Pacinan hingga Perang Mangkubumen yang dialami Pangeran Mangkubumi dituliskan dengan rapi menggunakan aksara Jawa dalam manuskrip Babad Mataram. Kemudian Naskah Perjanjian Giyanti yang dipenuhi dengan tanda tangan dan stempel. Tulisannya nyaris tak terbaca. Kertas yang digunakan pun tampak kusam saking lawasnya.

“Dan naskah berjumlah 24 halaman itu disimpan Arsip Nasional RI di Jakarta,” kata Bekel Widyo Wiranto, abdi dalem Tepas Widyobudoyo yang menjaga ruang pamer.

Pengunjung dapat menikmati naskah-naskah kuno tersebut di ruang pertama pameran digelar.

Baca Juga: Mengenal Raja Pertama Peletak Cikal Bakal Kota Yogyakarta di Sekaten

2. Kereta Kanjeng Nyai Jimat yang dijamas dengan air perasan jeruk nipis

Mengintip Tandu yang Mengangkut HB I dari Keraton Menuju Masjid GedhePamflet pameran Sekaten 2019 yang memperlihatkan kereta pusaka milik Keraton. IDN Times/Pito Agustin Rudiana

Ada ruang gelap, demikian sebutan Endang Supriyanto, abdi dalem berpangkat Jajar yang menjaga ruang pamer. Dan memang gelap karena dindingnya berlapiskan kain hitam dengan tirai hitam pula. Di dalamnya didudukkan kereta pusaka Kanjeng Nyai Jimat.

Melihat model kereta bergaya Renaissance, kereta tertua di Keraton Yogyakarta itu dibuat di Belanda pada 1740-1750. Kereta tersebut adalah hadiah dari Gubernur Jenderal VOC Jacob Mussel (1750-1761) kepada HB I usai penandatanganan Perjanjian Giyanti pada 1755.

Lantaran sudah uzur, kereta itu tak lagi dipergunakan saat ini. Bahkan penggunaannya hanya berlangsung masa HB I (1755-1792) hingga HB III (1812-1814). Selebihnya kereta itu disimpan di Museum Kereta. Namun publik bisa melihatnya kembali ketika dijamasi pada bulan Sura dengan menggunakan perasan air jeruk nipis dan air kembang setaman.

3. HB I pernah ditandu ketika masa tua

Mengintip Tandu yang Mengangkut HB I dari Keraton Menuju Masjid GedheTandu Sri Sultan Hamengku Buwono I. IDN Times/Pito Agustin Rudiana

Di ruang gelap yang lain juga dipamerkan Kanjeng Kyai Tandhu Lawak. Benda berujud tandu itu terbuat dari kayu. Bagian sisi tengah digantung sebuah kursi bersandaran. Sedangkan di kedua ujungnya masing-masing ada dua batang kayu memanjang untuk pikulan.

“Tandu itu dipikul delapan abdi dalem. Depan belakang empat orang,” kata Endang.

Selain empat abdi dalem pemikul tanda, juga diiringi dua abdi dalem lainnya. Satu orang bertugas memegang payung, satu lagi memegang sapu lidi untuk menyapu jalan yang akan dilalui tandu HB I.

Tandu itu digunakan menandu HB I pada masa tuanya dari keraton menuju Masjid Gedhe untuk melaksanakan salat Jumat.

4. Bahasa Bagongan membuat komunikasi abdi dalem dan bangsawan lebih asik

Mengintip Tandu yang Mengangkut HB I dari Keraton Menuju Masjid GedheIDN Times/Pito Agustin Rudiana

Ada pula bahasa Bagongan yang merupakan bahasa yang digunakan antara bangsawan dengan abdi dalemnya. Bahasa itu untuk memangkas sekat komunikasi keduanya. Bahkan usai HB I, bahasa itu masih digunakan hingga kini oleh Sultan terhadap abdi dalemnya.

Ada 11 kata khusus dalam bahasa bagongan yang berpijak dari bahasa Jawa itu. Meliputi punapa berarti apa, wenten artinya ada, nedha artinya mari, engguh artinya ya, puniku artinya itu, seyos artinya buka, besayos artinya saja, danira artinya saya, mboya artinya tidak, puniki artinya ini, serta pekenira berarti anda.

Pengunjung bisa belajar bahasa bagongan di area pameran. Di sana disedikan 11 kartu yang masing-masing bertuliskan kata dalam bahasa Bagongan. Dan di sebalik kartu disebutkan artinya dalam bahasa Indonesia. Mau mencoba?

Topik:

  • Paulus Risang

Berita Terkini Lainnya