Berbagi Tugas Pengubur Jenazah: Dekontaminasi hingga Bikin Kopi (2)

Kacamata berembun hingga susah bernapas

Gunungkidul, IDN Times – Dari 25 relawan PMI Gunungkidul, hanya 8 orang yang bersedia menjadi tim khusus pemakaman. Ada Andi, Nunung, Danang, Wardoyo, Ipul, Aris, Hahan. Mereka para pemuda setempat kelahiran 1980-1990an. Tim khusus ini di bawah komando Triyono, 42 tahun.

Tak ada shift kerja, mesti standby 24 jam. Delapan orang itu berbagi peran di pekuburan. Ada yang menggotong jenazah, ada yang menyemprot disinfektan, ada yang menguruk tanah.

Di luar tim, bergantian standby di markas. Selain melakukan tugas penyemprotan disinfeksi di tempat-tempat umum, ada juga yang melakukan dekontaminasi terhadap tim pemakaman usai bertugas.

“Ada juga yang menyiapkan kopi,” kata Triyono sambil terkekeh saat dihubungi IDN Times, Senin (27/4). Tim pun berbagi peran secara guyub.

Baca Juga: Kisah Relawan Pengubur Jenazah: Cegah Warga Gaduh Selama Pandemi (1)

1. Awalnya tak berani

Berbagi Tugas Pengubur Jenazah: Dekontaminasi hingga Bikin Kopi (2)Tim relawan PMI Gunungkidul memakamkan jenazah pada masa pandemi. Dokumentasi PMI Gunungkidul

Diakui Triyono, semula tak banyak yang berani mengemban tugas penguburan jenazah masa pandemi. Lantaran alat pelindung diri yang dimiliki PMI Gunungkidul semula tak lengkap. Padahal permintaan bantuan pemakaman jenazah rutin berdatangan. Tak melulu terkait pandemi. PMI Gunungkidul pun mengajukan permintaan bantuan APD kepada PMI DIY.

“Saya sendiri jadi berani ya agak dipaksa sedikit. Gak boleh pegang ini, tapi itu. Tapi di lapangan kan gak boleh nolak,” kata Triyono yang menjadi relawan PMI Gunungkidul sejak 1997 dan diangkat menjadi staf di sana pada 2006. 

Kondisi pandemi kian mendesak. Banyak warga takut memakamkan jenazah warga yang meninggal. Jumlah relawan pun bertambah yang berani. Dari semula lima orang menjadi delapan orang.

“Saya bisa berani memaksa. Hanya saya tawarkan, berani tidak?” kata Triyono.

Apalagi awal melakukan pemakaman jenazah adalah atas permintaan warga, bukan rumah sakit. Artinya, warga meninggal di rumah. Kondisi ini justru membuat tim lebih berhati-hati karena tak ada surat keterangan kematian.

2. Sempat pakai jas hujan ketika menguburkan jenazah

Berbagi Tugas Pengubur Jenazah: Dekontaminasi hingga Bikin Kopi (2)Tim relawan PMI Gunungkidul memakamkan jenazah pada masa pandemi. Dokumentasi PMI Gunungkidul

Sejak pandemi, tak sedikit pihak puskesmas atau pun kepala desa yang menghubungi pihak PMI Gunungkidul. Mereka minta bantuan pemakaman jenazah pasien atau pun warganya. Tak ada warga yang berani mengurus penguburan. Sekedar mendekat di pekuburan pun, takut. Sebatas membantu menggali liang lahat. Ketika jenazah tiba, mereka lari menjauh, melihat prosesi dari jarak jauh.

“Kendala kami waktu itu tak punya APD lengkap. Biasanya kami arahkan ke Satgas COVID-19 Gunungkidul,” kata Triyono.

Bahkan pernah mereka memakai mantel hujan yang biasa dipakai pengendara motor. Dan sejak saat itu, pihak PMI Gunungkidul meminta bantuan APD kepada PMI DIY. APD datang bersamaan dengan bantuan cairan disinfektan dan alat penyemprotnya. Hanya saja, menurut Triyono, APD yang diberikan sebatas baju hazmat saja. Sepatu boot, masker, dan sarung tangan beli sendiri.

“Pelindung muka, kami bikin sendiri. Relawan PMI kan kreatif,” kata Triyono menghibur diri.

Mereka kesulitan mencari masker N95 yang biasa dipakai tim medis. Kebetulan relawan PMI juga ada yang bergabung dengan tim disinfektan lain di posko gabungan. Mereka mendapat bantuan APD dua set, termasuk masker N95. Masker jatah dari posko gabungan itu dipakai untuk menguburan jenazah. Khususnya yang bertugas paling dekat posisinya dengan jenazah.

“Yang lainnya pakai masker kain dobel lima lapis. Napasnya susah juga,” kata Triyono.

Jika APD kurang, pihaknya akan mendorong pemda memberi bantuan. Bahkan awal bertugas, timnya pernah pakai mantel hujan. Usai itu, sempat resah juga. 

“Aman tidak? Jangan-jangan mau nolong, malah kami yang menularkan penyakit kepada orang lain,” kata Triyono.

Selain membantu penguburan, tim juga mengedukasi warga tentang penguburan jenazah pada masa pandemi.

 “Kalau kami handle semua, kewalahan juga,” kata Triyono.

3. Pemakaman malam hari yang sepi dan pandangan berembun

Berbagi Tugas Pengubur Jenazah: Dekontaminasi hingga Bikin Kopi (2)Tim relawan PMI Gunungkidul memakamkan jenazah pada masa pandemi. Dokumentasi PMI Gunungkidul

Sebelum pandemi, relawan PMI ini juga biasa membantu prosesi penguburan jenazah warga. Bedanya, sebelum masa pandemi, proses pemakaman tak harus pakai baju astronot lengkap. Warga pun turut membantu. Namun selama pandemi, tak hanya APD yang bikin susah napas dan susah gerak. Warga tak ada yang berani membantu. Hanya melihat dari jauh.

Seperti pengalaman Triyono dan teman-temannya ketika menguburkan jenazah pada malam hari dan kondisi hujan. Atau pun ketika bertugas pada dini hari. Udara yang lembap bikin kacamata goggles dan alat pelindung wajah berembun. Mereka jadi susah melihat.

“Ada lampu penerang yang dipasang. Itu pun yang kami lihat putih semua karena berembun,” kenang Triyono.

Sembari menggotong peti jenazah, beberapa kali kaki-kaki mereka terantuk batu nisan. Mereka kesulitan mencari liang kubur yang telah digali warga. Tak ada satu pun warga yang membantu menjadi penunjuk jalan karena takut mendekat.

“Blas enggak ada warga satu pun. Warga bubar ketika jenazah akan datang,” kata Triyono.

Setiba di mako, tim biasanya melakukan evaluasi atas tugas penguburan yang usai dilakukan. Salah satu persoalan mereka adalah penggunaan APD ketika hari hujan cukup menghambat gerak mereka. Masker yang lembap sehingga kian bikin sulit bernapas, alat pelindung muka yang berembun.

Untuk masker, solusinya adalah menggunakan jenis N95. Namun barang itu sulit didapat. Sedangkan untuk mengatasi kacamata goggles dan pelindung wajah agar tak berembun adalah mengolesi permukaan kaca dengan baby oil.

“Kami coba semalam sudah enakan buat melihat,” kata Triyono.

4. Makan, minum, ke toilet sebelum ke pemakaman

Berbagi Tugas Pengubur Jenazah: Dekontaminasi hingga Bikin Kopi (2)Tim relawan PMI Gunungkidul memakamkan jenazah pada masa pandemi. Dokumentasi PMI Gunungkidul

Tahapan persiapan tim, proses penguburan, hingga usai diupayakan diperhatikan benar oleh tim. Mereka tak ingin ada kesalahan prosedur yang justru bisa membahayakan kesehatannya.

Tahap pertama adalah persiapan. Mulai dari persiapan diri hingga peralatan yang dibawa. Persiapan diri seperti pemakaian APD secara lengkap. Anggota tim dipersilakan makan, minum, juga ke kamar mandi terlebih dulu sebelum mengenakan APD.

“Kalau pakai APD kan, merokok pun enggak boleh,” kata Triyono.

Peralatan yang dibawa seperti tali tambang untuk menurunkan peti jenazah dan tangki berisi disinfektan.

Tahap kedua adalah penguburan. Sebelum jenazah dikuburkan, mobil pembawa jenazah terlebih dulu disemprot dengan cairan disinfektan.

“Sebelum peti jenazah disentuh, disemprot juga,” kata Triyono.

Termasuk ketika liang kubur masih kosong, setelah peti diturunkan, hingga tanah diurug juga disemprot disinfektan saban tahapannya. Sebelum meninggalkan kuburan, tak boleh ada sampah yang ditinggalkan. Semua dikumpulkan dan dibawa ke mako.

“Pokoknya jangan pegang muka. Dan tak boleh buka APD sebelum sampai mako,” kata Triyono.

Di mako, ada ruang khusus untuk melepas APD dan memusnahkannya karena termasuk limbah infeksius. Sebagai orang yang diberi tanggung jawab, Triyono memperhatikan betul bagaimana tiap-tiap anggotanya melepas APD dengan urutan dan cara yang benar.

“Kalau enggak diawasi, takutnya salah. Jangan-jangan ada virus yang nularin temannya. Kan repot,” kata Triyono.

Kemudian satu per satu anggota mandi bersih. Usai itu, mereka masih menjaga jarak dari teman-teman lain di luar tim pemakaman. Lantaran halaman mako yang sempit, tim pun memilih berkumpul di jalan depan mako.

“Ya nongkrong, ngopi. Satu jam kemudian baru berinteraksi dengan teman lainnya,” kata Triyono.

Sampai di rumah, mereka mandi lagi sebelum berkumpul bersama keluarga. Antisipasi penularan lainnya, baju yang dikenakan dari rumah berbeda dengan baju yang dikenakan ketika di mako. Triyono misalnya, berangkat ke mako dengan bercelana pendek. Sampai di kantor berganti baju dinas yang tak dibawa pulang.

“Baju yang dipakai di kantor ya dicuci di kantor,” kata Triyono.

Mereka juga rutin minum vitamin, olah raga lari pagi, dan menjalani pemeriksaan medis.

Baca Juga: Gadis Pramurukti Jenazah COVID-19, Sehari Tangani Tiga Korban Pandemi

Topik:

  • Paulus Risang

Berita Terkini Lainnya