Keluarga-Sekolah Mendesak Berikan Pendidikan Seksual dan Reproduksi 

Dengarkan anak bercerita, jangan hakimi anak!

Yogyakarta, IDN Times - Tindakan kekerasan seksual terhadap anak semestinya bisa dicegah lebih dini. Anak-anak yang punya banyak mimpi dan harapan itu tak perlu menjadi korban.

Pendidikan seksual dan reproduksi kian mendesak diberikan di ranah keluarga hingga sekolah. Lantas apa yang mesti dilakukan?

Baca Juga: Kekerasan Seksual pada Anak Tak Selalu Tinggalkan Luka, Tapi Trauma

1. Berikan pemahaman pada anak tentang bagian tubuh yang tak boleh disentuh

Keluarga-Sekolah Mendesak Berikan Pendidikan Seksual dan Reproduksi Ilustrasi kekerasan pada perempuan (IDN Times/Arief Rahmat)

Anak perlu dibekali pendidikan seks dan reproduksi sejak dini oleh keluarganya. Misalnya, terhadap anak-anak usia di bawah 12 tahun diberi pemahaman tentang beberapa bagian tubuh yang tak boleh disentuh orang lain. Meliputi bibir, dada, payudara, kemaluan, dubur. Kemudian diberi penjelasan, bahwa bagian tubuh tersebut merupakan bagian privat yang tak boleh disentuh orang lain.

“Kecuali ibunya ketika memandikan atau dokter ketika mengobati,” kata konselor psikologi Women Crisis Center Rifka Annisa, Amalia Rizkyarini, saat dihubungi IDN Times, Jumat (29/10/2021).

Apabila ada yang menyentuh, anak diminta lapor kepada orang tuanya. Kalau pelaku adalah orang tuanya, anak bisa memberitahukan kepada neneknya.

2. Beri pemahaman remaja tentang konsen dalam pacaran

Keluarga-Sekolah Mendesak Berikan Pendidikan Seksual dan Reproduksi Ilustrasi Berpacaran (IDN Times/Mardya Shakti)

Sementara bagi anak-anak usia remaja juga diberi pemahaman soal pendidikan seks dan reproduksi yang derajatnya lebih tinggi.

Semisal, remaja diberi pemahaman tentang persetujuan tentang bagian tubuh bagian mana yang tak boleh disentuh orang lain. Atau remaja diberi pemahaman, bahwa yang tidak dibolehkan adalah melakukan hubungan seksual.

“Karena remaja sudah bisa diajak berpikir ya untuk memahamkan konsen,” kata Amalia.

3. Memasukkan pendidikan seksual dan reproduksi dalam kurikulum TK-SMA

Keluarga-Sekolah Mendesak Berikan Pendidikan Seksual dan Reproduksi Ilustrasi siswa mengikuti pembelajaran tatap muka (ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan)

Memasukkan pendidikan seksual dan reproduksi sebagai sistem pendidikan di sekolah, semisal dalam kurikulum pendidikan. Mengingat tidak semua taman kanak-kanak mengajarkan bagaimana mencegah perilaku kekerasan seksual pada anak serta mencegah anak menjadi korban dan pelaku. Begitu pun sekolah dasar hingga SMA.

Meskipun sudah ada yang masuk kurikulum sekolah, acap kali timbul salah paham antara pihak sekolah dan orang tua. Semisal, ketika anak mendapat pendidikan seksual dan reproduksi di sekolah, ketika pulang dan sampai di rumah malah membuat orang tuanya marah. Gara-garanya si anak menyebut istilah-istilah alat kelamin secara gamblang di hadapan orang tuanya, seperti penis, vagina. 

“Orang tua marah karena menganggap anak ngomong kotor,” kata Amalia.

Sebaliknya, ketika orang tua telah membekali pendidikan seksual dan reproduksi terhadap anak-anaknya di rumah, pihak sekolah yang marah. Lantaran si anak dinilai memberikan pengaruh buruk kepada teman-temannya karena berbagi pengetahuan tentang seks dan reproduksi tersebut.

“Jadi perlu ada koordinasi antara orang tua dan sekolah. Karena pendidikan seksual dan reproduksi selama ini hanya dilakukan dari satu pihak saja. Orang tua saja atau sekolah saja,” kata Amalia.

4. Respons pertama: jadilah pendengar yang baik

Keluarga-Sekolah Mendesak Berikan Pendidikan Seksual dan Reproduksi Ilustrasi Keluarga (IDN Times/Mardya Shakti)

Dan ketika orang tua atau orang yang dipercaya anak menjadi tempat curhat atas peristiwa kekerasan seksual yang dialami, respons pertama yang diberikan adalah dengarkanlah.

Mendengarkan adalah salah satu respons yang membuat anak merasa aman dan nyaman. Biarkan anak bercerita dari A sampai Z. Jangan sampai anak ditanya berkali-kali karena membuat anak ngambek, sehingga tak mau bercerita lagi.

Dan jangan menertawakan anak karena menganggap cerita anak tidak valid atau menghakimi anak dengan menilainya berbohong. Sikap itu akan membuat anak malas bercerita.

“Apalagi anak usia balita, biasanya ceritanya konsisten. Anak seusia itu belum bisa bohong. Karena konsisten, biasanya peristiwa itu memang terjadi,” papar Amalia. 

Baca Juga: Fun Cards, Cara Asyik Ajarkan Anak Pendidikan Seks di Usia Dini

Topik:

  • Febriana Sintasari
  • Paulus Risang

Berita Terkini Lainnya