Mobil tangki sedang mengisi BBM di Terminal BBM. (dok. Pertamina Patra Niaga)
Anggota peneliti PSE UGM lainnya, Yudistira Hendra Permana mengatakan anggaran subsidi BBM sebenarnya sudah mulai berkurang sejak tahun 2015. Pada tahun 2017 pertalite diperkenalkan dan premium mulai dihilangkan. Sayangnya, harga pertalite tidak banyak berubah. Setelah premium dihapuskan, masyarakat beralih ke pertalite karena harga yang lebih murah dibandingkan dengan BBM non subsidi lainnya.
“Dari kebutuhan sebelumnya hanya satu juta kiloliter per bulan dan saat ini mencapai 2,5 juta kiloliter per bulan. Tampaknya kuota nasional BBM bersubsidi harus dinaikkan dan ditambah agar bisa diakses hingga akhir tahun,” katanya
Hal senada juga disampaikan anggota peneliti PSE, Saiqa Ilham Akbar. Ia menyampaikan kuota BBM yang terbatas sekarang ini hanya pada pasokan kuota BBM bersubsidi yang akan habis pada pertengahan Oktober, namun bukan berarti produk BBM lainnya tidak ada. “Jika tidak ada pertalite maka masyarakat akan mengakses BBM non bersubsidi. Karena kilang minyak kita tetap berjalan memproduksi BBM,” katanya.
Peneliti di Pusat Studi Perdagangan Dunia, Raras Cahyafitri menuturkan kenaikan harga BBM bersubsidi berdampak bagi masyarakat kecil dengan kenaikan harga kebutuhan pokok. Karena itu pemerintah telah memberikan bantuan kompensasi dari kenaikan harga BBM. Soal kebijakan subsidi BBM menurutnya sudah ada sejak era Orde Baru.
“Tapi sebagai negara net importir minyak maka kebijakan subsidi perlu dievaluasi kembali apakah perlu dipertahankan atau tidak di tengah masih adanya ketergantungan pada energi fosil dan pengembangan energi baru dan terbarukan yang masih belum optimal,” ujar Raras.