Biennale Jogja Rayakan 10 Tahun Seri Khatulistiwa lewat Buku

Refleksi karya-karya selama 10 tahun Biennale Jogja

Yogyakarta, IDN Times - Yayasan Biennale Yogyakarta (YBY) meluncurkan buku 10 Tahun Biennale Jogja Khatulistiwa: Praktik Geopolitik dan Dekolonisasi di Ruang Seminar LPPM Universitas Sanata Dharma (USD), Sleman, pada Jumat (6/1/2023). Buku ini sekaligus merayakan putaran pertama Biennale Jogja seri Khatulistiwa yang telah berlangsung selama satu dasawarsa.

Buku ini merupakan hasil pengamatan yang dikerjakan bersama para peneliti, penulis, dan akademisi, terkait bagaimana wacana dan praktik produksi pengetahuan serta konteks sosial politik sebuah peristiwa seni dibangun dan didistribusikan.

1. Segala proses selama seri Khatulistiwa menumbuhkan ruang perubahan

Biennale Jogja Rayakan 10 Tahun Seri Khatulistiwa lewat BukuDirektur Yayasan Biennale Yogyakarta, Alia Swastika (paling kanan), dalam peluncuran buku 10 Tahun Biennale Jogja Khatulistiwa, Jumat (6/1/2023). (Dok. Biennale Jogja)

Direktur Yayasan Biennale Yogyakarta, Alia Swastika, mengatakan pentingnya untuk melihat dan mengumpulkan pengetahuan dan kajian yang muncul dari kerja 10 tahun YBY dengan Khatulistiwa. Mengingat, seluruh proses tersebut merupakan bagian dari pemicu 
perubahan sosial, apalagi karya-karya di Biennale bersifat politis.

"Kita ingin menunjukkan bahwa karya, proses, dan diskusi selama seri Khatulistiwa ini bisa menumbuhkan ruang di masyarakat. Banyak karya yang berhubungan dengan upaya menuliskan ulang sejarah. Ini mendorong kami melihat bagaimana perubahan sosial dipicu, bagaimana warga punya dorongan performatif untuk mengubah sosial," ujarnya saat menjelaskan proses penyusunan buku ini.

Menurut Alia, pihaknya turut menggandeng penulis muda yang tidak terlalu sering berkecimpung dalam konteks akademis untuk bekerja dengan arsip Biennale Jogja. Sebagian penulis buku tersebut berasal dari program Asana Bina Seni yang juga digagas Biennale Jogja.

"Tidak semua mengikuti Biennale, ada juga yang belum pernah menonton.
Pembacaan ini membantu untuk melihat dampak atau memori dari peristiwa ini untuk
generasi yang lebih muda," lanjutnya.

Baca Juga: Pameran Silang Saling: Titian dan Undakan Hadirkan Karya Interaktif

2. Angkat isu feminisme

Biennale Jogja Rayakan 10 Tahun Seri Khatulistiwa lewat BukuPeluncuran buku 10 Tahun Biennale Jogja Khatulistiwa: Praktik Geopolitik dan Dekolonisasi, Jumat (6/1/2023). (Dok. Biennale Jogja)

Salah satu penulis buku 10 Tahun Biennale Jogja Khatulistiwa, Saraswati N, mengaku ini adalah pengalaman pertamanya menulis soal seni rupa. Ia mengangkat isu feminisme dan subaltern dalam karya-karya para seniman.

Memiliki latar belakang film, Saras mengatakan praktik di sekolahnya kerap memotret kaum marginal dalam film dokumenter. Namun, hal itu kemudian menjadi semacam eksploitasi karena yang mengangkat tidak dekat dengan subjek. Kemudian, setelah film selesai, mereka pergi. 

"Pertanyaan saya akhirnya kenapa sih para perupa punya ketertarikan untuk membuat karya? Urgensi mereka apa?" terang Saras.

Ia juga mengaku sempat kesulitan dalam memetakan kesamaan antara karya-karya selama 10 tahun Biennale tersebut. "Saya kan fokusnya perempuan. Kemudian menemukan kesamaan pengalaman kolektivitas itu sulit," tambahnya.

3. Refleksi selama satu dasawarsa

Biennale Jogja Rayakan 10 Tahun Seri Khatulistiwa lewat BukuPeluncuran buku 10 Tahun Biennale Jogja Khatulistiwa: Praktik Geopolitik dan Dekolonisasi, Jumat (6/1/2023). (Dok. Biennale Jogja)

Peneliti Departemen Sosiologi UGM yang juga menjadi editor buku 10 tahun Biennale Jogja, Hartmantyo Pradigto Utomo, mengatakan hal yang menarik dari buku ini bukan hanya substansinya, tetapi proses para penulis menyelesaikan buku tersebut selama 3,5 bulan. 

"Ada kerentanan penulis muda: kondisi pekerja kreatif yang harus mengatur kebutuhan kerjanya sendiri. Mengatur waktu menulis dan bekerja, kondisi kesehatan, serta ketidakmampuan finansial untuk mengakses literatur dan arsip yang relatif mahal," ungkap Tyo.

Sementara, Dosen Program Pascasarjana Ilmu Religi dan Budaya USD, Dr. ST Sunardi, yang turut berperan dalam dinamika Biennale Jogja selama satu dasawarsa, mengaku terharu karena kegiatan yang telah direncanakan sejak 2012 bisa berlangsung hingga usai.

"Kami menyadari kami membuat kegiatan tapi kurang refleksinya. Hal yang relatif baru dalam proses Biennale itu kami mencoba memfasilitasi ruang berproses untuk teman-teman," ungkapnya.

Baca Juga: Eksplorasi Habitat Hidup Masa Depan di Mars lewat Seni dan Sains

Topik:

  • Paulus Risang

Berita Terkini Lainnya