Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Menparekraf Sandiaga Salahuddin Uno work from Bali. (ANTARA FOTO/Fikri Yusuf)

Sleman, IDN Times - Pakar Kebijakan Publik, sekaligus Dosen Manajemen Kebijakan Publik (MKP) Fisipol, Universitas Gadjah Mada (UGM), Prof. Wahyudi Kumorotomo menilai rencana program Work from Bali (WFB) bagi aparatur sipil negara (ASN) di Kemenko Bidang Kemaritiman dan tujuh kementerian/lembaga lainnya memiliki beberapa titik kelemahan.

Wahyudi menerangkan, program WFB ini dinilai boros anggaran, terlebih situasi saat ini sangatlah tidak menentu. Di mana sudah seharusnya aparat pemerintah tetap berhemat.

1. Tingkat penerimaan negara masih lemah

Potret upacara Melasti di bali (IDN Times/Imam Rosidin)

Wahyudi mengingatkan, anggaran yang dikeluarkan untuk PEN (Pemulihan Ekonomi Nasional) terus mengalami pelonjakan. Anggaran PEN berdasarkan komitmen stimulus dengan UU No.2/2020 yang semula sebesar Rp450,1 triliun telah meningkat menjadi Rp677,2 triliun. Bahkan, pada tahun 2021, volume pembiayaan sudah menginjak angka Rp971,2 triliun.

Tentu menjadi hal yang positif ketika pemerintah Indonesia merekomendasikan untuk mencegah peningkatan angka pengangguran dan menggenjot pertumbuhan ekonomi. Namun, ketika di sisi lain penerimaan negara yang diketahui masih tergolong lemah, maka hal tersebut menjadi sangat penting dalam pengambilan kebijakan. 

“Dengan tingkat penerimaan negara yang masih lemah, seharusnya aparat pemerintah tetap berhemat,” ungkapnya.

2. Ada beberapa kelemahan program WFB

Editorial Team

Tonton lebih seru di