Mahasiswa UGM Kembangkan Alat Deteksi Dini Stunting Berbasis AI

Berawal dari keprihatinan tingginya stunting

Sleman, IDN Times - Mahasiswa Universitas Gadjah Mada (UGM) mengembangkan alat deteksi dini stunting berbasis kecerdasan buatan (AI). Alat deteksi stunting yang diberi nama Electronic Stunting Detection System (ESDS), dirancang terintegrasi dengan sistem informasi dan aplikasi smartphone.

Ketua tim pengembang ESDS, A.A. Gde Yogi Pramana menjelaskan alat ini dapat melakukan pengukuran massa dan panjang tubuh pada bayi secara cepat. Tak hanya itu, alat dapat menyimpan hasil pengukuran secara otomatis sebagai data di aplikasi yang telah terintegrasi.

Alat juga dapat memantau secara berkala untuk mendeteksi secara dini gejala stunting pada anak di bawah umur dua tahun dengan bantuan machine learning.

“Alat ESDS berbasis artificial intelligence ini dirancang agar dapat menghemat waktu serta meminimalisasi kesalahan pengukuran karena faktor kesalahan manusia yang masih menggunakan alat ukur secara konvensional,” terangnya, Senin saat bincang-bincang dengan wartawan di ruang Fortakgama UGM, Senin (20/11/2023).

1. Berawal dari tingginya kasus stunting di Indonesia

Mahasiswa UGM Kembangkan Alat Deteksi Dini Stunting Berbasis AIANTARA FOTO/Irwansyah Putra

Mahasiswa program IUP Elektronika dan Instrumentasi ini mengembangkan ESDS bersama dengan keempat rekannya yaitu Haidar Muhammad Zidan (IUP Elektronika dan Instrumentasi), Faiz Ihza Permana (Teknik Biomedis), Ichsan Dwinanda Handika (Teknik Biomedis), serta Salsa Novalimah (Gizi Kesehatan). Alat dikembangkan melalui dana hibah dari Dikti, dan berhasil lolos ke Pekan Ilmiah Mahasiswa Nasional (PIMNAS) 2023.

Yogi mengungkapkan pengembangan ESDS ini berawal dari keprihatinan mereka terhadap tingginya kasus stunting di tanah air. Walau deteksi dini stunting pada anak di bawah usia dua tahun banyak dilakukan kader kesehatan melalui posyandu, namun masih sering terjadi kesalahan terhadap keakuratan dalam mengukur dan mengevaluasi pertumbuhan pada anak. Menurut Yogi, hal ini disebabkan kurangnya keterampilan kader dan tidak sesuainya alat pengukur dengan standar antropometri. 

Pengukuran anak di bawah dua tahun, biasanya menggunakan infantometer board dan timbangan. Sementara bagi posyandu yang tidak memilikinya diukur menggunakan alat seadanya. Hal tersebut membuat hasil pengukuran menjadi tidak akurat, karena alat yang digunakan tidak sesuai dengan standar persyaratan antropometri anak di bawah usia dua tahun.

“Saat memakai timbangan dacin yang berbasis manual dengan model ayunan sering dalam proses penimbangan pengukuran tidak akurat karena bayi merasa tidak nyaman dan banyak bergerak. Selain itu, proses kalibrasi timbangan tak jarang dilakukan dengan cara menambahkan kerikil yang dimasukkan ke dalam plastik kemudian diikat di ujung timbangan dacin agar timbangan tersebut tepat berada di titik nol. Ini rentan bagi alat tersebut untuk melakukan kesalahan pengukuran,” paparnya.

2. Metode pencatatan secara digital dan real time

Mahasiswa UGM Kembangkan Alat Deteksi Dini Stunting Berbasis AIilustrasi perbedaan tinggi anak stunting dengan anak normal (Dok. IDN Times)

Yogi menuturkan ESDS merupakan hasil pengembangan dari produk yang telah dihasilkan dengan modifikasi pada framework sistem informasi, yaitu codeigniter. Produk ini terintegrasi dengan sistem informasi yang tersedia dalam bentuk website application dan mobile application yang menampilkan informasi tumbuh kembang anak, status gizi pada bayi dua tahun, indikasi stunting atau tidak pada anak, edukasi sederhana terkait gizi anak, serta menampilkan riwayat tumbuh kembang anak.

Metode pencatatan secara digital dapat mempercepat proses pemutakhiran data dengan basis data pusat secara realtime. “Alat ini terintegrasi dengan web-application untuk mengendalikan alat ukur bagi kader yang melakukan antropometri dan menampilkan laman untuk registrasi bayi,” kata Yogi.

Baca Juga: DIY Terus Tekan Prevalensi Stunting demi Bonus Demografi

3. Penggunaan algoritma SMOTE-ENN

Mahasiswa UGM Kembangkan Alat Deteksi Dini Stunting Berbasis AIIlustrasi pertumbuhan anak stunting (pexels)

Faiz menambahkan dalam pengambilan keputusan apakah anak terindikasi stunting atau tidak, digunakan algoritma SMOTE-ENN yang diintegrasikan dengen Ensemble Leraning. Algoritma tersebut dinilai memiliki keunggulan dibandingkan lainnya, yaitu pelatihan pada data terjadi hanya saat ingin melakukan prediksi sampel sehingga algoritma dapat berjalan lebih cepat. Dengan begitu Ensemble Learning dapat mengklasifikasikan uji sampel berdasarkan data yang dinamis seperti pada data pengukuran stunting yang terus bertambah setiap kali melakukan pengukuran.

Faiz memaparkan cara kerja ESDS, mulai dari balita ditimbang pada permukaan alat atau area yang telah disediakan maka sensor high precision load cell akan membaca besaran yang diukur atau ditimbang. Selanjutnya, hasil pembacaan tersebut akan dikalibrasi dengan metode regresi linear untuk mendapatkan calibration factor. Lalu, LCD akan menampilkan hasil pengukuran berupa data kuantitatif yang merupakan interpretasi dari massa dan panjang tubuh bayi yang diukur.

Sementara Salsa menambahkan hadirnya ESDS akan memudahkan pengguna melakukan deteksi dini stunting dan pemantauan mandiri bagi orangtua yang memiliki bayi berusia dua tahun. Deteksi dini stunting dan pemantauan mandiri ini diharapkan dapat membantu pemerintah dalam mempercepat penurunan angka prevalensi stunting di Indonesia menjadi 14 persen.

“Dari Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) pada tahun 2022, prevalensi stunting pada anak di bawah 5 tahun masih tinggi yakni sebesar 21,6 persen. Harapannya kehadiran alat ini bisa membantu deteksi dini stunting sehingga mendorong petcepatan penurunan stunting di tanah air,” pungkasnya. 

Baca Juga: Ajak Milenial Paham Stunting, Mahasiswa UGM Buat Situs Khusus   

Topik:

  • Febriana Sintasari

Berita Terkini Lainnya