Buruh di Jogja Kecewa UU Ciptaker: Kami Dikhianati!  

Masalah UU Ciptaker akan diangkat di Hari Buruh

Yogyakarta, IDN Times - Majelis Pekerja Buruh Indonesia Daerah Istimewa Yogyakarta (MPBI DIY) menyayangkan pengesahan Undang-Undang Cipta Kerja pada 21 Maret 2023 lalu. Masalah UU Ciptaker menjadi salah satu isu yang akan diangkat para buruh pada Hari Buruh yang dinilai banyak merugikan buruh.

"MPBI DIY kecewa berat dan telah dikhianati oleh pemerintah dan DPR RI. Kami menolak dan meminta untuk dicabut UU Cipta Kerja yang disahkan secara cacat formil dan konstitusional," kata Koordinator MPBI DIY, Irsad Ade Irawan, Sabtu (29/4/2023).

1. UU Ciptaker dinilai cacat formil

Buruh di Jogja Kecewa UU Ciptaker: Kami Dikhianati!  ilustrasi rancangan undang-undang (IDN Times/Aditya Pratama)

MPBI DIY memandang UU Cipta Kerja cacat secara formil karena tidak ada kegentingan yang memaksa sebagai landasan dikeluarkannya Perppu Cipta Kerja. Pemerintah hanya mengatakan adanya ancaman potensi resesi ekonomi global di tahun 2023, namun klaim tersebut tanpa didasari pada suatu kajian ilmiah yang komprehensif.

"Tidak ada kekosongan hukum yang berlaku. MK menegaskan bahwa UU Cipta Kerja masih berlaku sampai dilakukan perbaikan dalam waktu 2 (dua) tahun," ujar Irsad.

Dari aspek lahirnya Perppu dan proses pengesahannya oleh DPR RI,  terdapat catat formil yang jelas, yaitu terlambat disahkan. Berdasarkan Pasal 22 ayat 2 UUD 1945, Perppu yang telah ditetapkan harus mendapat persetujuan DPR dalam persidangan yang berikut. Adapun pada ayat 3 menjelaskan jika tidak mendapat persetujuan, maka Perppu itu harus dicabut. Beleid tersebut dijelaskan lagi melalui Pasal 52 ayat 1 Undang-Undang 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (P3) yang menyebut Perppu harus diajukan ke DPR dalam persidangan yang berikut.

"Adapun yang dimaksud 'Masa Sidang Berikutnya' setelah Perppu itu diterbitkan adalah masa Sidang III tahun sidang 2022/2023, yakni sejak tertanggal 10 Januari hingga 16 Februari 2023," ujar Irsad.

2. Dinilai cacat konsititusional

Buruh di Jogja Kecewa UU Ciptaker: Kami Dikhianati!  ilustrasi rancangan undang-undang (IDN Times/Aditya Pratama)

Irsad mengungkapkan pada 21 November 2021, Majelis Hakim MK memutuskan UU Cipta Kerja Inkonstitusional bersyarat. MK memandatkan, pertama, Pemerintah dan DPR RI diberi waktu dua tahun untuk memperbaiki UU Cipta Kerja. Perbaikan meliputi formil dan materiil (materi/pasal yang dikeluhkan oleh pemohon uji formil uu cipta kerja). Kedua, Pemerintah menunda tiadakan (tidak menerbitkan) kebijakan strategis dan pembentukan peraturan perundangan undangan terkait UU Cipta Kerja.

Partisipasi secara bermakna (meaningfull participation) merupakan mandat MK dalam perbaikan UU Cipta Kerja. Majelis Hakim MK dalam pertimbangan hukum menegaskan partisipasi publik merupakan hal yang harus menjadi perhatian dan dipenuhi dalam pembentukan undang-undang. "Kesempatan bagi masyarakat untuk berpartisipasi dalam pembentukan undang-undang sebenarnya juga merupakan pemenuhan amanat konstitusi yang menempatkan prinsip Kedaulatan Rakyat sebagai salah satu pilar utama bernegara sebagaimana tertuang dalam Pasal 1 ayat (2) UUD 1945," ujar Irsad.

Faktanya, pemerintah justru melanggar putusan MK yaitu menerbitkan Perppu Cipta Kerja yang tentu saja keluar dari koridor perbaikan formil dan materiil. "Perppu ini juga tentunya mengabaikan 'meaningfull participation' dari masyarakat. Pelanggaran yang berikutnya, Pemerintah justru menerbitkan peraturan perundangundangan terkait UU Cipta Kerja melalui penerbitan Perppu yang tentu saja bertentangan dengan mandat MK," ucapnya.

Baca Juga: Berpotensi Potong Upah, Buruh DIY Tolak Permenaker Nomor 5 Tahun 2023

3. UU Cipta Kerja merugikan pekerja

Buruh di Jogja Kecewa UU Ciptaker: Kami Dikhianati!  Ilustrasi buruh, pekerja (IDN Times/Arief Rahmat)

Pada 2020, Pemerintah menerbitkan RUU Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja (Cilaka). Klaster Ketenagakerjaan merupakan satu dari sekian klaster yang dirombak oleh Omnibus Law.
Dari keempat UU yang dipermak dalam klaster ketenagakerjaan (UU 13/2003 tentang Ketenagakerjaan, UU 40/2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional, UU 24/2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, dan UU 18/2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia), yang banyak mendapat tantangan dan kemarahan luas adalah perubahan pasal-pasal penting terkait perlindungan pekerja/buruh di UU Ketenagakerjaan 13/2013.
Pasal-pasal ini terkait hubungan kerja kontrak dan outsourcing (alih daya), pesangon, hak-hak maternitas, jam kerja, pesangon.
Irsad menilai UU Cipta Kerja hanya untuk fleksibilitas pasar tenaga kerja dan
merampas hak–hak pekerja/buruh.

"Dalam perkembangan, pemerintah mengubah RUU Cilaka menjadi RUU Cipta Kerja," ujar Irsad.

UU Cipta Kerja merupakan sebuah usaha untuk menerapkan fleksibilitas tenaga keja secara lebih meluas. Konsep pasar tenaga kerja fleksibel paling tidak menekankan beberapa hal. Pertama, kemudahan dalam perekrutan dan pemecatan (easy hire and fire) pekerja/buruh sesuai dengan permintaan dan kebutuhan produksi.
Kedua, pengaturan jam kerja yang lentur sesuai dengan target produksi. Ketiga, kemudahan mempekerjakan pekerja/buruh dalam berbagai aktivitas dan tugas kerja (pekerja/buruh didorong memiliki ragam skill). "Serta keempat, kebijakan upah yang mencerminkan sisi permintaan dan penawaran di pasar kerja," papar Irsad.

Menurut Irsyad, Easy Hire And Fire pekerja/buruh, pengaturan jam kerja yang lentur, dan kemudahan mempekerjakan pekerja/buruh diakomadasi dalam UU Cipta Kerja.

"Sesungguhnya sebelum ada UU Cipta Kerja, terdapat peraturan hukum yang juga mendorong fleksibilisasi pasar tenaga kerja yaitu UU Ketenagakerjaan 13/2003 dan turunannya semacam Permenaker 19/2012 tentang Syarat–Syarat Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan Kepada Perusahaan Lain dan PP 78/2015 Tentang Pengupahan," ujar Irsad.

"UU Cipta Kerja merampas hak-hak pekerja/buruh utamanya berkaitan dengan hubungan kerja kontrak dan outsourcing (alih daya), pengupahan, hak-hak maternitas, jam kerja, dan pesangon," ungkap Irsad.

Baca Juga: Gelombang PHK Datang, Buruh hanya Tunggu Nasib   

Topik:

  • Febriana Sintasari

Berita Terkini Lainnya