PSN Jokowi Dianggap Brutal, Ahli Sentil Proyek 65 Bendungan

Pembangunan bendungan disebut lebih banyak mudaratnya

Yogyakarta, IDN Times - Ketua PP Muhammadiyah Bidang Hukum dan HAM, Busyro Muqoddas, menyebut Proyek Strategis Nasional (PSN) atau proyek-proyek infrastruktur pada masa pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) sebagai perwujudan dari ambisi politik yang brutal.

Busyro melihat PSN era Jokowi mirip dengan proyek Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) sewaktu zaman Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

"PSN itu bagian dari perwujudan ambisi-ambisi politik atas nama PSN, itu yang dulu di zaman SBY kemiripannya dengan MP3EI. Nah, sekarang PSN lebih brutal lagi," kata Busyro ditemui selepas acara 'Mengungkap Realitas Keadilan di Desa Wadas' di Kantor PP Muhammadiyah, Kota Yogyakarta, Kamis (31/8/2023).

1. Wajah otoriter pemerintah

PSN Jokowi Dianggap Brutal, Ahli Sentil Proyek 65 BendunganKetua PP Muhammadiyah Bidang Hukum dan HAM, Busyro Muqoddas. (IDN Times/Tunggul Damarjati)

Sejumlah PSN, kata Busyro, telah menyebabkan pergolakan lahan dengan warga lokal sebagai korban, salah satunya proyek penambangan kuari batu andesit di Wadas, Purworejo, Jawa Tengah, untuk pembangunan Bendungan Bener.

Belum lagi, kata Busyro, upaya-upaya ekstraksi sumber daya alam lainnya di Nagari Air Bangis, Sumatera Barat atau pun di Trenggalek, Jawa Timur. Bagi Busyro, proyek-proyek itu telah menampilkan wajah otoriter pemerintahan sekarang. Muhammadiyah bersama aktivis dan jaringan masyarakat sipil sampai turun tangan mengadvokasi sederet permasalahan yang muncul sebagai dampak dari PSN ini.

Kebrutalan pemerintah dalam kasus Wadas antara lain pengukuran lahan saat Izin Penetapan Lokasi (IPL) sudah habis. Selain itu penyerbuan oleh aparat di lokasi, kemudian pemaksaan-pemaksaan lain lewat Kementerian Agraria dan Tata Ruang/ Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) menggunakan upaya konsinyasi.

Di mata Busyro, itu adalah bentuk keotoriteran pemerintah yang sudah menutup telinganya dari jeritan warga terdampak serta masukan pelbagai akademisi hingga jaringan masyarakat sipil.

"Otoritarianisme itu disambut serta merta oleh partai politik karena partai politik mengandalkan kepada kekuasaan yang otoriter tadi dan dibangun sedemikian rupa iklim politiknya, sehingga parpol tidak ada yang mampu berani bertanggung jawab secara moral politik untuk beroposisi dalam arti yang konstitusional. Enggak ada sampai sekarang ini," sebut Busyro.

"Itu lah akibatnya maka negara ini tidak hanya pemerintah, tetapi juga DPR lewat parpol-parpol itu dipertanyakan kalau dihadapkan kepada derita berkepanjangan dari warga Wadas, Sumatera Barat, Trenggalek lalu Pakel Banyuwangi dan lain-lain itu lalu di mana posisi negara?" lanjutnya.

2. Bendungan sarat mudarat

PSN Jokowi Dianggap Brutal, Ahli Sentil Proyek 65 BendunganIlustrasi bendungan. IDN Times/Dhana Kencana

Peneliti Ecosoc Institute, Sri Palupi sementara itu memaparkan hasil riset di luar negeri mengenai infrastruktur bendungan yang lebih banyak mendatangkan masalah ketimbang manfaat.

Menurut dia, masyarakat internasional telah membuktikan bahwa bendungan tak mampu menghasilkan energi dan mengirigasi daerah sebanyak yang diharapkan. Meski tak pernah melakukan audit, Sri mengaku pihaknya sempat meninjau bendungan di Kabupaten Buol yang justru menjadi sumber dari bencana banjir.

Fakta selanjutnya, dia melanjutkan, bendungan secara ekonomi tak layak dan secara ekologis tidak berkelanjutan karena bergantung pada tingkat endapan. Lalu, proyek bendungan telah terbukti menjadi sarana praktik korupsi. Terlebih, proses pelaksanaan pembangunannya jauh dari kata transparan.

Kemudian, bendungan menjadi pemicu begitu banyak bencana. Mulai dari ekologis hingga kemanusiaan. Pembangunan infrastruktur ini disebut telah melahirkan sederet pelanggaran HAM berat berupa kejahatan kemanusiaan.

"Bendungan lebih banyak dinikmati industri dan masyarakat kota. Sementara warga pedesaan yang terdampak baik secara langsung atau tidak langsung itu tidak mendapatkan manfaat dari adanya bendungan. Bahkan, masyarakat yang terdampak oleh bendungan, itu semakin merosot kehidupannya baik itu masyarakatnya maupun lingkungannya," papar Sri secara daring dalam acara 'Mengungkap Realitas Keadilan di Desa Wadas', Kamis.

Fenomena masyarakat menolak pembangunan bendungan ini, kata Sri, sudah santer di dunia internasional. Alhasil, proyek-proyek macam ini mulai ditinggalkan oleh berbagai negara. Hak masyarakat terdampak dijunjung tinggi dan anggaran pendirian bendungan dipangkas. Namun, sebaliknya di Indonesia justru malah kian masif.

"Kalau kita lihat pemerintah (Indonesia) berencana untuk membangun 65 bendungan, itu luar biasa," kata Sri.

Baca Juga: Busyro Muqoddas Sebut Jokowi Tak Belajar dari Rezim Orde Baru 

3. Proyek ugal-ugalan dan semena-mena

PSN Jokowi Dianggap Brutal, Ahli Sentil Proyek 65 BendunganSeorang anak laki-laki duduk di sebuah pos kamling yang ada di Desa Wadas, Bener, Purworejo, Jawa Tengah, Rabu (9/2/2022) (ANTARA FOTO/Hendra Nurdiyansyah)

Sri menuturkan, saking banyaknya bencana dan kejahatan kemanusiaan akibat pembangunan bendungan, Komisi HAM PBB membuat sebuah panduan serta prinsip-prinsip terkait penggusuran dan pemindahan berbasis pembangunan. Ecosoc Institute menggunakannya sebagai salah satu parameter untuk menelaah pembangunan empat bendungan berstatus PSN di Indonesia, antara lain Jatigede (Jawa Barat), Nipah (Jawa Timur), Karian (Banten) dan Jlantah (Jawa Tengah).

Parameter kedua, seluruh aturan perundangan terkait proyek pembangunan infrastruktur, khususnya bendungan. Hasil riset menunjukkan, pemerintah tak menjalankan dua parameter ini.

"Undang-undang, hal-hal yang substansial terkait dengan pembangunan dan hak asasi warga terdampak, sama sekali tidak dijalankan," tegasnya.

Sri menyebut hak masyarakat terdampak memperoleh informasi, melakukan konsultasi publik, musyawarah seperti yang diamanahkan undang-undang terabaikan. Pemerintah menggaungkan upaya ganti untung seolah bak tipu daya untuk menyamarkan potensi kerugian yang dialami warga dan lingkungan terdampak.

Hak masyarakat untuk memiliki tempat tinggal yang layak dan memperoleh kesejahteraan praktis hilang pascapembangunan bendungan. Sri melabeli bendungan PSN ini sebagai proyek ugal-ugalan karena menabrak hukum dan semena-mena.

"Bahkan di aturan-aturan yang menyangkut bendungan, itu seolah-olah tanggung jawab negara atau urusan dengan masyarakat terdampak itu selesai dengan ganti rugi," pungkasnya.

Baca Juga: Walhi hingga Busyro Muqoddas Gugat UU IKN ke MK

Topik:

  • Paulus Risang

Berita Terkini Lainnya