Peneliti Lintas Negara Kaji Produk Rendah Risiko Gantikan Rokok

Ada beragam alternatif untuk kurangi bahaya merokok

Yogyakarta, IDN Times - Para peneliti di bidang kesehatan dari sejumlah negara, termasuk Indonesia duduk bersama mengurai strategi pengurangan risiko (harm reduction) tembakau oleh rokok konvensional dalam acara simposium internasional yang diselenggarakan International Development Foundation (IDF).

Sejalan dengan meningkatnya jumlah perokok aktif dan biaya kesehatan akibat penggunaan rokok, beberapa studi terkait strategi pengurangan risiko kesehatan bagi perokok aktif bermunculan. Rekomendasi hasil studi-studi tersebut adalah penggunaan produk-produk rendah risiko seperti rokok elektronik, heated tobacco products (HTP) atau produk tembakau yang dipanaskan, nicotine patch, dan sejenisnya.

Sejumlah penelitian menunjukkan bahwa penggunaan produk-produk tersebut, dengan rendahnya kadar zat berbahaya yang terkandung di dalamnya seperti TAR, serta penggunaan sistem kuota pembelian mampu mengarahkan pada penurunan biaya kesehatan bagi pengguna rokok aktif.

Strategi pengendalian tembakau mengedepankan pengurangan dampak buruk ini belum diimplementasikan dan masih di luar program pengendalian tembakau di Indonesia.

Pengamatan IDF, Indonesia sudah mengimplementasikan sederet program pengendalian penggunaan tembakau, termasuk penetapan pajak rokok, menerapkan regulasi tentang Zona Bebas Asap Rokok. Belum lagi pengaturan kemasan dan label tembakau, serta pembatasan iklan dan penjualan tembakau, namun tetap saja prevalensi perokok di negara ini tidak berkurang berdasarkan data Kementerian Kesehatan.

Indonesia dengan jumlah penduduk sekitar 275,8 juta orang bak menjadi surga bagi sekitar 77,9 juta perokok dewasa atau sekitar 28,26 persen dari populasi pada tahun 2022. Data IDF bahkan menunjukkan, pandemi COVID-19 kemarin yang memicu penurunan daya beli masyarakat serta konsumsi rumah tangga, tak kuasa mengurangi prevalensi merokok yang cenderung meningkat. Ini terjadi karena substitusi produk rokok ke yang lebih ekonomis.

Tingginya prevalensi merokok di kalangan perokok dewasa ini telah memicu naiknya biaya kesehatan yang merupakan kontribusi dari penyakit-penyakit yang berhubungan dengan rokok seperti penyakit Kardiovaskular (CVD), kanker, penyakit pernafasan kronis, hipertensi, dan diabetes.

1. Buka mata konsumen untuk alternatif lain

Peneliti Lintas Negara Kaji Produk Rendah Risiko Gantikan RokokManaging Director IDF, Harris Siagian. (Dok. IDF)

Managing Director IDF, Harris Siagian, mengatakan penyakit-penyakit yang ditimbulkan rokok menjadi salah satu biang penghambat pembangunan negeri. Lebih dari 60 juta perokok dewasa yang sebagian tentunya merupakan orangtua memunculkan risiko lebih tinggi, salah satunya akan bahaya stunting pada anak.

Stunting ini bukan sekadar isu kesehatan, melainkan juga problem kemanusiaan. Membuat bonus demografi tidak memberikan manfaat yang optimal bagi pertumbuhan ekonomi dan pembangunan di Indonesia.

"Kita banyak membahas pajak rokok, biaya pengobatan penyakit akibat rokok, (tapi) belum pernah ditengok kebijakan mengenai apa alternatif dari rokok ini yang bisa menurunkan penyakit dan pengeluaran pemerintah terhadap penyembuhan penyakit dan penyakitnya sendiri," kata Harris di Hotel Novotel Malioboro, Kota Yogyakarta, Senin (18/9/2023).

Menurut Harris, belum ada upaya menyadarkan perokok akan alternatif yang mengarah kepada pengurangan dampak buruk merokok. Dalam artian, masih minim langkah mengenalkan untung rugi dari sudut pandang konsumen.

"Bagaimana kebijakan itu bisa diarahkan tetapi juga yang menerima kebijakan juga mengetahui dampak pemilihan dia," tutur Harris.

"Di dalam kebijakan, kita tengok fokus selalu kepada pajak rokok tapi alternatif daripada rokok ini apa aja," sambungnya.

2. Produk minim risiko kesehatan bantu berhenti merokok

Peneliti Lintas Negara Kaji Produk Rendah Risiko Gantikan RokokDonald Kenkel, Profesor dari Departemen Ekonomi Cornell University, AS. (Dok. IDF)

Donald Kenkel, Profesor dari Departemen Ekonomi Cornell University AS, sementara itu mendorong pengalihan rokok ke alternatif-alternatif yang aman bagi kesehatan dan lingkungan sekitar.

Rokok elektrik atau produk-produk lain yang tak menggunakan pembakaran untuk pengantaran nikotin dianggap mampu memenuhi kebutuhan para perokok tanpa harus menciptakan karsinogen, karbon monoksida, atau zat berbahaya lainnya.

"Itu adalah komponen yang membuat ketagihan tetapi tanpa semua gejala bahaya lainnya dari tembakau," katanya.

"Saya mencari banyak peneliti dan cara mendorong perokok agar beralih ke produk yang jauh lebih baik bagi mereka daripada tembakau atau merokok. Menurut kami hal ini menawarkan potensi besar sehingga yang harus dilakukan oleh kebijakan publik adalah mempertimbangkan semua trade-off antara mengenakan pajak rokok dan mengenakan pajak pada produk baru seperti rokok elektronik. Mengatur produk baru untuk memastikan bahwa produk tersebut aman," paparnya.

Menurutnya, di Inggris telah dilakukan uji klinis yang menunjukkan rokok elektrik sebagai salah satu cara paling efektif membantu orang berhenti merokok. Layanan kesehatan nasional setempat pun merekomendasikannya sebagai metode. Mereka bahkan menjualnya di rumah sakit dan kini, angka perokok di sana telah menurun secara signifikan.

Sementara di AS, ada kebijakan yang lebih ketat untuk rokok elektronik. Dia meyakini itu telah membuat banyak orang berhenti merokok. Begitu pula di Swedia yang telah terlebih dahulu mengenalkan produk tembakau yang dipanaskan (heated tobacco).

Kenkel melihat potensi serupa di Indonesia. Pemakaian produk-produk yang lebih ramah bagi kesehatan sudah perlahan menjamur. Dia percaya berbagai jenis penyakit yang ditimbulkan akibat kebiasaan merokok tembakau ke depan bisa dimininalisir.

Baca Juga: Harga Jual Tinggi, Petani Tembakau di Selopamioro Bantul Raup Rezeki

3. Tanpa usik nasib petani, plus minus produk alternatif

Peneliti Lintas Negara Kaji Produk Rendah Risiko Gantikan Rokokilustrasi rokok elektrik atau vape (freepik.com/Racool_studio)

Bagi Kenkel, menjadi tantangan buat para pemangku kebijakan bagaimana upaya mengurangi aktivitas merokok demi kepentingan kesehatan ini tak menimbulkan kerugian untuk para petani tembakau nantinya.

Intinya adalah menyelesaikan sebuah masalah, tanpa harus menjatuhkan sektor lainnya.

"Kita tahu ini adalah teknologi baru yang berpotensi mendisrupsi industri rokok dan tahukah anda banyak orang yang membenci industri rokok, gagasannya Mengganggu industri rokok, kedengarannya bagus, tapi masyarakat tidak membenci petani tembakau," ucapnya.

Salah satu yang bisa dilakukan pemangku kebijakan adalah mendorong adanya transisi bagi para petani beralih ke tanaman lain.

"Menanam sesuatu yang lain, dan tetap berpenghasilan dengan melakukan sesuatu yang lain seiring dengan transisi kita beralih dari penggunaan tembakau," pungkasnya.

Mantan Kepala Departemen Bea Cukai Kerajaan Malaysia Dato' Sri Subromaniam Tholasy menambahkan, simposium kali ini salah satunya mengkaji lebih detail untung rugi legalisasi rokok elektronik di berbagai negara, termasuk Asia Tenggara.

"Ada empat negara dalam ASEAN, mereka tidak mengakui vaping dan rokok elektronik. Mereka adalah Singapura, Thailand, Kamboja, dan Brunei. Tapi walaupun undang-undang mereka tidak membenarkan impor dan penjualannya, tetapi di negara-negara itu masih banyak terdapat rokok-rokok elektronik. Jadi, apa masalahnya. Jadi, adakah strategi untuk mengharamkannya, itu suatu policy yang ada manfaat atau tidak," imbuhnya.

Malaysia sendiri, menurutnya, telah melegalkan penjualan vapor dan rokok elektrik dengan nikotin April 2023 kemarin. Dilegalisasi karena produk-produk ini telah lama membanjiri pasaran saat pelarangan masih berlaku, sementara kerajaan tak mendapatkan apa-apa.

"Setidaknya kalau kita legalisasi, kerajaan dapat hasil dan hasil itu bolehlah dipakai untuk program-program membantu kementerian kesehatan, contohnya," kata dia.

Baca Juga: Ratusan Batang Rokok Ilegal di Sleman Disita, Penjual Didenda

Topik:

  • Paulus Risang

Berita Terkini Lainnya