Alimatul: Perlu Bahasa Agama untuk Memahamkan RUU PKS 

Pertarungan antar kelompok tekstual dengan moderat progresif

Sleman, IDN Times – Setelah batal disahkan pada 2019, Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) kembali mangkrak. Di tangan DPR periode 2019-2024, RUU PKS diharapkan tuntas dibahas dan disahkan.

“RUU PKS harus segera disahkan,” tegas komisioner terpilih Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) 2020-2024, Alimatul Qibtiyah, saat ditemui IDN Times di Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta, Selasa, (26/11) sore.

Di sisi lain, RUU PKS masih sarat kontroversi. Tak hanya di kalangan kelompok muslim, tetapi pro kontra juga terjadi di kalangan kelompok perempuan sendiri.

“Biasa ya. Kan ada perempuan yang ingin menjadi burung di sangkar emas. Tapi bagaimana pun itu kan kebebasan semu,” kata Alim.

Menurut Alim, pertarungan yang terjadi ihwal pro-kontra pengesahan RUU PKS adalah antara kelompok tekstual dengan kalangan moderat progresif. Bukan antaragama, seperti muslim dengan non muslim.

“Jadi kalau ketemu dengan orang-orang tekstual yang pokoke, pokoke itu ya gak akan ketemu. Gak bisa diskusi lagi,” kata Alim.

Kemudian upaya apa saja yang akan ditempuh Alim untuk mengegolkan RUU PKS dan meredakan polemik tersebut?

Baca Juga: Mengenal Alimatul, Komisioner Komnas Perempuan dari Yogyakarta

1. Perlu pemahaman tentang kejahatan seksual

Alimatul: Perlu Bahasa Agama untuk Memahamkan RUU PKS Komisioner terpilih Komnas Perempuan 2020-2024, Alimatul Qibtiyah di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. IDN Times/Pito Agustin Rudiana

Upaya terdekat adalah melakukan sosialisasi tentang penanganan untuk mengatasi kejahatan seksual perempuan kepada masyarakat. Termasuk memberikan pemahaman tentang sembilan bentuk kejahatan seksual, seperti pelecehan, kekerasan, eksploitasi seksual, dan seterusnya.

“Jadi ketika RUU disahkan akan mengurangi resistensi dalam masyarakat,” kata Alim.

Lantaran dalam sejumlah diskusi RUU PKS yang diikutinya, tak banyak perempuan yang tahu dirinya dilecehkan. Bahkan tak punya posisi tawar untuk menentukan kuasa atas tubuhnya sendiri.

“Soal jumlah anak yang diinginkan kok yang ditanya suami? Yang punya rahim kan istri. Ya bareng-barenglah, didiskusikan,” kata Alim.

2. Menyelesaikan isu-isu kontroversial

Alimatul: Perlu Bahasa Agama untuk Memahamkan RUU PKS Ilustrasi pemerkosaan (IDN Times/Sukma Shakti)

Beberapa kontroversi yang muncul adalah anggapan RUU PKS menghalalkan perzinahan.

“Mana pasalnya? Gak ada kok,” kata Alim.

Juga adanya penolakan atas hubungan seksual suami istri atas dasar pemaksaan adalah bentuk dari perkosaan dalam perkawinan (marital rape) yang diatur dalam RUU PKS.

“Orang suka ignorance, seolah itu tak ada. Realitasnya ada,” kata Alim.

Persoalannya saat ini, lanjut Alim adalah bagaimana membuat suami jera. Bukan bermaksud untuk memenjarakannya.

“Jadi perlu dirumuskan,” kata Alim.

Salah satu caranya dengan melakukan kampanye dan pendekatan kepada tokoh masyarakat dan tokoh agama yang sering menjadi rujukan dan panutan. Upaya tersebut dengan menggandeng sejumlah pihak terkait untuk bekerja sama, seperti dari kalangan DPR, pemerintah, juga Komisi Perlindungan Perempuan dan Anak (KPPA).

“Biar menyatukan langkah agar RUU PKS disahkan,” kata Alim.

3. Menggunakan bahasa agama

Alimatul: Perlu Bahasa Agama untuk Memahamkan RUU PKS Komisioner terpilih Komnas Perempuan 2020-2024, Alimatul Qibtiyah di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. IDN Times/Pito Agustin Rudiana

Di satu sisi, menurut Alim perlu digunakan bahasa-bahasa agama untuk memberi pemahaman atas substansi perlindungan perempuan dari kejahatan seksual dengan kelompok-kelompok yang selama ini resisten.

“Karena dalam berdakwah itu adalah berdakwalah sesuai dengan akal mereka. Jadi menyesuaikan,” kata Alim.

Semisal yang dikhawatirkan kelompok resisten adalah soal perzinahan.

“Mari dicari, mana pasal dan ayat yang ditafsirkan melegalkan perzinahan,” kata Alim.

Kemudian soal marital rape yang dianggap tak ada dalam pernikahan. Mereka menganggap memaksa istri melayani hubungan seksual dengan suami dianggap bukan sebagai pemerkosaan.

“Masak kalian setuju dengan konsep ketidakbahagiaan dalam keluarga? Perkosaan itu tak ada yang membuat bahagia. Kan jelas, pernikahan itu untuk kesalihan, kesakinahan,” papar Alim.

Di sisi lain, banyak ayat-ayat dalam Al Quran yang mengajarkan kesetaraan. Bukan laki-laki lebih unggul ketimbang perempuan.  

“Jadi memang harus pakai argumentasi,” kata Alim.

4. RUU PKS tak sekedar disahkan, tapi juga dikawal

Alimatul: Perlu Bahasa Agama untuk Memahamkan RUU PKS Komisioner terpilih Komnas Perempuan 2020-2024, Alimatul Qibtiyah di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. IDN Times/Pito Agustin Rudiana

Menurut Alim tak semudah membalikkan telapak tangan untuk melakukan perubahaan. Tak mudah mengurangi tingkat kejahatan seksual hanya dengan mengesahkan RUU PKS menjadi undang-undang.

“RUU PKS disahkan terus membuat perempuan bahagia? Tidak semudah itu. Harus dibarengi kegiatan dan upaya penyadaran,” kata Alim.

Langkah yang dilakukan seperti mengawal aturan pelaksanaannya. Mengawal implementasinya di lapangan. Mengingat akan ada perubahan-perubahan pasca pengesahan RUU PKS, seperti rehabilitasi perlindungan korban dari tingkat atas hingga bawah. Salah satu solusinya adalah kerja sama lintas lembaga dan kementerian, tokoh agama, tokoh masyarakat, kampus, juga melakukan penelitian.

“Jadi jangan happy kalau sudah disahkan. Apa bedanya dengan undang-undang lain kalau sudah disahkan terus selesai?” tanya Alim.

Baca Juga: Perempuan, Minoritas di Tengah Demo Desakan Pengesahan RUU PKS 

Topik:

  • Paulus Risang

Berita Terkini Lainnya