Studi Monash University: Pernikahan Dini Picu Fenomena 'Missing Women'

Kasus pernikahan dini di Indonesia di tahap mengkhawatirkan

Yogyakarta, IDN Times - Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Danusha Jayawardana, Research Fellow di Monash University, mengungkapkan bahwa praktik pernikahan dini memiliki dampak negatif pada kesejahteraan mental, terutama bagi perempuan berusia di bawah 18 tahun. Penelitian ini melibatkan sampel 5.679 perempuan, 30 persen di antaranya menikah saat berusia 18 tahun.

“Temuan fakta pada studi ini semakin memperjelas fenomena 'missing women' atau hilangnya posisi tawar perempuan di Indonesia,” kata Danusha dalam siaran pers yang diterima IDN Times, Rabu (21/6/2023).

1. Konsekuensi pernikahan dini kurang diperhatikan

Studi Monash University: Pernikahan Dini Picu Fenomena 'Missing Women'Ilustrasi Pernikahan (IDN Times/Prayugo Utomo)

Dalam penelitian ini, kesehatan mental para partisipan dinilai menggunakan Skala Depresi Pusat Studi Epidemiologi (CES-D-10), yang menunjukkan bahwa menunda pernikahan selama satu tahun, atau setelah mencapai usia 18 tahun, dapat mengurangi risiko depresi pada perempuan.

Studi ini juga menggarisbawahi kurangnya perhatian terhadap konsekuensi praktik pernikahan usia dini, termasuk dampak ekonomi yang signifikan dan risiko terjadinya gangguan mental. Terutama bagi perempuan yang terpaksa menjalani pernikahan usia dini dan kemudian terpisah dari keluarga dan teman-temannya, mereka berisiko mengalami isolasi sosial. Namun, berbagai dampak negatif dari pernikahan usia dini ini sering diabaikan dan terus menimbulkan ancaman terhadap kesejahteraan perempuan.

"Pernikahan usia dini sering kali menjadi akibat dari ketidaksetaraan gender, yang secara tidak proporsional merugikan perempuan, dan berpotensi mempengaruhi mereka dalam mengambil keputusan berisiko, seperti menyakiti diri sendiri. Dukungan psikologis yang memadai, layanan konseling, dan edukasi menjadi sarana penting untuk memastikan kesejahteraan mental perempuan dan anak-anak mereka dalam praktik pernikahan usia dini," ujar Danusha.

2. Dukung kebijakan batas usia minimal menikah

Studi Monash University: Pernikahan Dini Picu Fenomena 'Missing Women'Ilustrasi pernikaha. (IDN Times/Prayugo Utomo)

Selain itu, penelitian yang sama juga mendukung perubahan kebijakan di Indonesia yang meningkatkan batas usia minimal pernikahan dari 16 tahun menjadi 19 tahun. Amandemen tersebut dianggap sebagai langkah yang berpotensi menguntungkan dalam mencapai kesetaraan gender dan meningkatkan perlindungan terhadap perempuan. Terutama karena ketimpangan gender sering menjadi faktor pemicu dari pernikahan usia dini, yang dapat menyebabkan ancaman baik secara psikologis maupun fisik terhadap perempuan.

“Kami harap, melalui temuan studi ini, pembuatan kebijakan dapat melihat lebih lanjut mengenai konsekuensi buruk dari pernikahan usia dini dan dengan mengeksplorasi langkah-langkah selanjutnya yang perlu dilakukan oleh praktisi dan pihak berwenang terkait," jelas Danusha.

Baca Juga: Selama 2022, Angka Pernikahan Dini di Bantul Capai 178 Kasus

3. Kasus pernikahan dini di Indonesia

Studi Monash University: Pernikahan Dini Picu Fenomena 'Missing Women'Ilustrasi hamil (IDN Times/Mardya Shakti)

Masalah pernikahan usia dini di Indonesia telah mencapai taraf yang sangat mengkhawatirkan. Berdasarkan data UNICEF pada akhir 2022, Indonesia berada di peringkat ke-8 di dunia dan ke-2 di ASEAN dalam hal jumlah kasus pernikahan usia dini, dengan total hampir 1,5 juta kasus.

Selain itu, data dari Kementerian Pemberdayaan dan Perlindungan Anak (KemenPPA) Republik Indonesia menyatakan, ada 55 ribu permohonan dispensasi pernikahan usia dini di pengadilan agama selama tahun 2022. Jumlahnya hampir dua kali lipat dari tahun sebelumnya.

Perempuan di bawah usia 16 tahun merupakan kelompok yang paling banyak terdampak masalah ini, dengan persentase sebanyak 14,15 persen. Prevalensi ini mengalami peningkatan signifikan selama pandemi COVID-19. Hal ini dipicu oleh beberapa faktor seperti peningkatan angka putus sekolah, penurunan kondisi ekonomi keluarga, kepatuhan terhadap norma agama dan adat istiadat, serta pengaruh dari teman sebaya yang menikah pada usia dini.

Sayangnya, tren yang mengkhawatirkan ini terus berlanjut meskipun pemerintah telah melakukan amandemen terhadap Undang-Undang Perkawinan pada tahun 2019, yang menaikkan batas usia minimal pernikahan menjadi 19 tahun baik bagi perempuan maupun laki-laki.

Baca Juga: Tripatra Dukung Pencegahan Stunting lewat Edukasi Ibu dan Remaja

Topik:

  • Paulus Risang

Berita Terkini Lainnya