Aliansi Rakyat untuk Demokrasi Tolak UU KUHP Baru
Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Yogyakarta, IDN Times - Aliansi Rakyat untuk Demokrasi berdemonstrasi menolak Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) baru yang disahkan DPR RI pada Selasa (6/12/2022) siang. Aliansi yang beranggotakan jurnalis, aktivis, dan mahasiswa Yogyakarta tersebut melakukan aksi di kawasan Tugu Yogyakarta.
Sekitar pukul 14.00 WIB, setiap perwakilan jaringan masyarakat sipil maupun individu melakukan orasi. Mereka menyampaikan aspirasi, dan menyatakan sikap bersama menolak KUHP.
1. Tidak melibatkan partisipasi publik
Pakaian hitam demonstran menyimbolkan sedang berduka dengan pengesahan aturan itu. Aliansi memprotes pasal-pasal bermasalah KUHP Baru yang mengalami perubahan dari berbagai versi. Pemerintah dan DPR tidak melibatkan partisipasi publik yang bermakna.
"Pembahasan pasal-pasal itu dilakukan secara tidak transparan dan sosialisasi yang pemerintah klaim berlangsung kilat alias hanya mengejar target pengesahan. Aturan itu anti-demokrasi, menghambat masyarakat berpendapat dalam unjuk rasa, membungkam kebebasan pers, mengatur ruang privat, dan bersifat karet karena mengatur penodaan agama," kata Ketua AJI Yogyakarta, Shinta Maharani.
Baca Juga: Tok! DPR Sahkan RUU KUHP Hari Ini
2. Pasal-pasal multitafsir
Selain itu, pasal-pasal itu juga multitafsir karena mengatur larangan penyebaran ajaran Marxisme dan Leninisme. KUHP Baru memberikan keuntungan kepada koruptor dan melanggar Hak Asasi Manusia. Sejumlah pasal bermasalah itu misalnya Pasal 240 tentang penghinaan terhadap pemerintah dan lembaga negara.
Pada bagian penjelasan mengatur, yang dimaksud pemerintah adalah presiden dan wapres, sementara lembaga negara adalah Majelis Permusyawaratan Rakyat, DPR, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, dan Mahkamah Konstitusi. Pasal lain soal merintangi dan mengganggu proses peradilan, yang diubah lagi ke Pasal 280 hanya menghapus frasa merekam dan mempublikasikan ulang, tapi tetap perlu izin untuk proses persidangan live streaming.
3. Membelenggu demokrasi
Ada juga penambahan poin soal larangan menyerang integritas aparat penegak hukum, petugas pengadilan, atau persidangan dalam sidang pengadilan dengan ketentuan tambahan delik aduan.
"Dalam negara demokrasi, kritik merupakan sesuatu yang melekat pada jalannya pemerintahan. Pasal-pasal kontroversial tentang penghinaan terhadap kekuasaan umum dan pemerintah bisa menimbulkan ketidakpastian hukum karena rentan pada tafsir yang beragam," kata Shinta.
Delik penghinaan tidak boleh digunakan sebagai alat menghambat kritik dan protes karena dapat membelenggu demokrasi. Kritik sebagai hak menyatakan pendapat (freedom of opinion and expression) merupakan hak konstitusional semua warga negara. Hak tersebut juga merupakan bagian dari hak sipil politik.
Secara yuridis, hak tersebut tercantum dalam Pasal 18-21 International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) yaitu salah satunya hak atas kebebasan mempunyai dan menyampaikan pendapat. Sejumlah lembaga yang bergabung dalam aksi ini sebelumnya memprotes rencana pemerintah dan DPR mengesahkan RKUHP melalui media sosial.
Mereka juga telah melakukan telaah dan kajian mendalam RKUHP bersama para akademisi untuk melihat pasal-pasal kontroversial. Kajian itu juga menjadi masukan bagi pemerintah dan DPR. "Tapi, celakanya masukan itu tidak mereka dengar. RKUHP yang mereka klaim mendekolonialisasi kitab hukum pidana warisan pemerintah Belanda justru kembali pada zaman kolonial," ujar Shinta.
Baca Juga: Antisipasi Bencana, Pemda DIY Naikkan Status Siaga Darurat