Kenapa Rumah Warga Lereng Merapi Tak Menghadap Gunung?

- Gunung Merapi dianggap tempat bersemayamnya roh leluhur dan makhluk halus, sehingga masyarakat tidak membangun rumah menghadap gunung untuk menghindari gangguan.
- Mitos ini juga didasari oleh pertimbangan keselamatan, agar rumah tidak rusak saat terjadi letusan dan lebih aman dari dampak erupsi.
- Masyarakat lereng Merapi hidup serasi dengan alam, mematuhi larangan mitos dalam membangun rumah serta menerapkan ilmu "titen" untuk menjaga keselamatan diri dan lingkungan sekitarnya.
Ketika berkunjung ke permukiman sekitar Gunung Merapi, ada hal unik yang ditemui yaitu, hampir semua rumah dibangun dengan arah yang sama, tak menghadap ke Gunungnya. Bukan sekadar kebetulan, namun ada akar kepercayaan dan kearifan lokal setempat.
Bagi warga kawasan Merapi, hidup selaras dengan alam, manusia, serta para leluhur hingga makhluk halus penghuni Gunung itu penting. Mereka sudah merasa menyatu dengan semua yang ada di sana. Sebagai wujud penghormatan, maka ada salah satu larangan yang dipatuhi yaitu gak membangun rumah menghadap langsung ke arah Gunung Merapi.
Apa alasan di balik larangan tersebut? Apakah sebatas mitos atau ada makna filosofisnya yang berkaitan dengan aspek keselamatan? Seperti yang diketahui bahwa Gunung Merapi adalah gunung aktif yang sering meletus hingga menimbulkan korban jiwa dan benda.
Artikel ini akan mengulas tentang apa makna dan alasan mengenai mitos tak boleh membangun rumah menghadap arah Gunung Merapi. Mari, telusuri.
1.Gunung diyakini dihuni oleh makhluk halus, ini hubungan mitosnya

Diyakini masyarakat sekitar bahwa Gunung Merapi merupakan tempat bersemayamnya roh leluhur dan makhluk halus. Maka, jika tinggal di kawasan tersebut disarankan tak membangun rumah menghadap ke gunung dengan tujuan penghuni halus Merapi tak bisa masuk untuk mengganggu.
Menurut Minsarwati dalam buku Mitos Merapi dan Kearifan Ekologi, hal itu karena kalau terjadi letusan, rumah warga gak rusak hingga hancur karena awan panas. Rumah yang menghadap ke gunung lebih rentan terhadap dampak erupsinya. Oleh karena itu, untuk mengurangi risiko buruknya, mitos ini ada tujuan baiknya.
2.Ini sebabnya desain permukiman di sana kompak tak menghadap gunung

Mitos tersebut juga terlihat dari permukiman warga lereng Merapi yang nampak serasi dan mematuhi larangan mitosnya. Ibnu Subiyanto dalam bukunya Melacak Mitos Merapi: Peka Membaca Bencana, Kritis terhadap Kearifan Lokal memaparkan desain rumah-rumah di sekitar Merapi, umumnya menghadap utara atau selatan dengan tipe atap kampung.
Pola tersebut juga sudah melalui pertimbangan dan hasil adaptasi warga terhadap kondisi lingkungan. Pertimbangannya adalah supaya rumah warga gak rusak terkena hembusan angin gunung yang berkecepatan tinggi.
Kekompakan warga dalam membangun tempat tinggalnya menunjukkan bagaimana masyarakat lereng Merapi sudah terbiasa hidup serasi dengan alam. Menyatu dan berdampingan dalam keseharian. Ini juga jadi bukti bahwa pengetahuan lokal seperti mitos bisa berfungsi sebagai pedoman berkehidupan.
3.Ilmu Titen sebagai kearifan lokal dalam menghadapi alam

Masyarakat Jawa memiliki sistem pengetahuan yang disebut ilmu titen. Ilmu ini berfungsi juga dalam menjaga keselamatan diri, lingkungan, dan sekitarnya. Dalam buku Falsafah Hidup Jawa, Endraswara menjelaskan kalau ilmu titen berlandaskan dari pengamatan terhadap pola kejadian yang berulang, di antaranya tentang alam.
Mereka mengamati, merenungkan, lalu diamalkan dalam keseharian. Dengan pengetahuannya, masyarakat setempat mampu memahami gejala alam sekaligus bisa mengambil tindakan tepat untuk mengurangi risiko bahayanya.
Salah satu bentuk penerapan ilmu titen dalam kehidupan masyarakat lereng Merapi yaitu pemilihan lokasi hunian rumah yang aman. Dalam bukunya Ibnu juga memaparkan bahwa lokasi hunian warga desa letaknya di balik bukit dan berseberangan dengan arah puncak Merapi.
Lokasi ini dianggap strategis dan lebih aman dari bahaya awan panas maupun badai. Masyarakat memahami bahwa saat letusan terjadi, awan panas selalu mengalir mengikuti alur jurang, sehingga dengan tinggal di bukit yang berlawanan dan gak menghadap gunung, mereka berpeluang lebih besar untuk selamat dari bencana alam. Sehubungan dengan mitos yang berkembang, tentu juga melalui pengalaman-pengalaman yang dimiliki, masyarakat “niteni” apa yang sering terjadi.
Munculnya mitos larangan membangun rumah menghadap Gunung Merapi merupakan kearifan lokal dengan tujuan baik. Makna dari tujuan pembangunan agar makhluk halus tak bisa masuk dan mengganggu yaitu ketika Merapi erupsi, dengan penataan rumah yang terencana, warga bisa segera melakukan evakuasi.
Masyarakat lereng Merapi berusaha selaras dengan alam, termasuk ketika muncul tanda-tanda gunung akan meletus, mereka tahu harus berlari ke arah mana dengan lebih cepat dan tepat agar selamat. Pelajaran yang berharga dalam menghadapi bencana alam dengan menyatukan kearifan lokal sebagai upaya perlindungan.