Ki Ageng Suryomentaram, Sosok di Balik Tercetusnya PETA

Sosok pangeran Kraton Yogyakarta yang bersahaja

Tak banyak yang tahu bahwa setiap tanggal 14 Februari diperingati sebagai Hari Pemberontakan Pembela Tanah Air (PETA). Sejatinya PETA dibentuk pada 3 Oktober 1943 dengan tujuan membantu Jepang di medan peran. Meski dibilang sebagai strategi Jepang agar dianggap peduli terhadap bangsa Indonesia, tapi juga menjadi pembakar semangat nasionalisme rakyat Indonesia dalam memperjuangkan kemerdekaan.

Ki Ageng Suryomentaram, adalah sosok di balik berdirinya PETA. Beliau memiliki peran penting dalam mendukung dan membantu rakyat Indonesia untuk lepas dari belenggu penjajah. Namun, siapa sebenarnya beliau yang disebut-sebut memiliki darah biru Kraton Yogyakarta?

1. Kelahiran Ki Ageng Suryomentaram

Ki Ageng Suryomentaram, Sosok di Balik Tercetusnya PETASri Sultan Hamengku Buwono VII (kratonjogja.id)

Ki Ageng Suryomentaram lahir pada tahun 20 Mei 1892. Beliau masih keturunan darah biru yang tak lain merupakan anak ke-55 dari Sri Sultan Hamengku Buwono VII dan Bendara Raden Ayu (BRA) Retnomandoyo, putri dari Patih Danurejo VI. Ki Ageng Suryomentaram lahir dengan nama Bendara Raden Mas (BRM) Kudiarmadji.

Selaiknya anak bangsawan lain, Bendara Raden Mas Kudiarmadji mendapat pendidikan di Sekolah Srimanganti yang bertempat dalam lingkungan keraton. Setelah dari sama, beliau mendapatkan kursus belajar bahasa Inggris, Arab, dan Belanda yang kemudian dilanjutkan dengan bekerja di gubernuran selama 2 tahun.

BRM Kudiarmadji mempunyai kegemaran membaca dan belajar. Ia diketahui tertarik dengan sejarah, filsafat, agama, dan ilmu jiwa. Pun pendidikan agama Islam dan mengaji dirinya didapat langsung dari KH Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah.

2. Mengajukan permohonan berhenti sebagai pangeran

Ki Ageng Suryomentaram, Sosok di Balik Tercetusnya PETAKi Ageng Suryomentaram (ustjogja.ac.id)

Diceritakan dalam jurnal karya Mohamad Nur Hadiudin, Biografi Dan Pemikiran Ki Ageng Suryomentaram (2010): 2, meskipun beliau adalah sosok yang kaya dan memiliki nama besar, tapi ia merasa ada yang salah dengan kehidupannya dan terasa tak lengkap.

Menurut Ki Ageng Suryomentaram, kehidupan dalam keraton mengurungnya dan ia tak bisa melihat apa yang ada di luar hingga akhirnya memutuskan untuk kabur keluar keraton. Awalnya ia pergi ke pergi ke Cilacap dengan menyamar sebagai pedagang kain batik dan setagen atau ikat pinggang. Ia bahkan mengganti namanya menjadi Notodongso.

Berita kaburnya Ki Ageng Suryomentaram akhirnya terdengar oleh Sri Sultan Hamengku Buwono VII. Sang Sultan pun memerintahkan KRT Wiryodirjo dan RL Mangkudigdoyo untuk mencari dan memanggilnya kembali ke Yogyakarta. Saat itu, Ki Ageng Suryomentaram ditemukan di Kroya sedang bekerja sebagai penggali sumur.

Sekembalinya ke Keraton Yogyakarta, Suryomentaram menjual seluruh harta benda yang dimiliki. Menurutnya, hal yang menjadi alasan timbul rasa kecewa dan tidak puas pada dirinya adalah karena keberadaan harta benda. Seluruh isi rumah dilelang. Mobil dijual dan hasil penjualannya diberikan kepada sopirnya.

Tak sampai sana saja, kuda pun dijual sementara hasil penjualannya diberikan kepada gamel atau perawat kuda. Pakaian-pakaiannya pun tak luput dibagi-bagikan kepada para pembantunya.

Saat Sri Sultan Hamengku Buwono VII dinobatkan sebagai raja pada tahun 1921, Suryomentaram yang bergelar sebagai pangeran berulang kali mengajukan permohonan berhenti dari kedudukannya sebagai pangeran. Akhirnya, permohonan tersebut dikabulkan dan Sultan memberikan uang f 75 per bulan sebagai tanda masih keluarga kraton.

Baca Juga: Biografi Nyai Ahmad Dahlan, Pejuang Emansipasi dari Yogyakarta

3. Tergabung dalam Taman Siswa dan membentuk tentara

Ki Ageng Suryomentaram, Sosok di Balik Tercetusnya PETAPotret Sekolah Taman Siswa (Dok. KITLV/Tropenmuseum)

Setelah menanggalkan gelar pangerannya, Suryomentaram pindah ke sebuah desa kecil yang berlokasi di utara Salatiga, namanya Desa Bringin. Beliau tinggal dan hidup sebagai petani dan di sana ia lebih dikenal dengan nama Ki Gede Suryomentaram atau Ki Gede Bringin.

Ki Gede Suryomentaram bersama Ki Hajar Dewantara dan beberapa orang teman mereka selalu mengadakan sarasehan setiap malam Selasa Kliwon atau yang dikenal dengan Sarasehan Selasa Kliwon. Kelompok ini selaiknya “perkumpulan kebatinan” tetapi tak meninggalkan pola pikir bagaimana memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Dalam Sarasehan Selasa Kliwon itu kemudian disepakati untuk membuat gerakan moral dengan menekankan semangat kebangsaan kepada para pemuda melalui pendidikan kebangsaan.

Pada tahun 1922, didirikankan sekolah pendidikan dengan nama Taman Siswa. Saat itu Ki Hajar Dewantara dan Ki Gede Suryomentaram diberi tugas mendidik orang dewasa dan orang tua. Dan dalam kesempatan ini juga, nama sebutan Ki Gede Suryomentaram diubah oleh Ki Hajar Dewantara menjadi Ki Ageng Suryomentaram.

Pergerakan Ki Ageng Suryomentaram juga terlibat dalam pertemuan Manggala Tiga Belas. Manggala Tiga Belas adalah adalah tiga belas sang pelopor yang di antaranya yakni Ki Hajar Dewantara, Ki Pramono, Suryodiningrat, Soetopo Winobojo, Ki Ageng Suryomentaram, dan masih banyak lagi. Mereka membicarakan persoalan menolak peperangan bila Indonesia menjadi gelanggang perang antara Belanda dan Jepang.

Ki Ageng lantas berusaha untuk membentuk tentara, karena ia berkeyakinan tentara adalah tulang punggung negara. Untuk pembentukan tentara, Ki Ageng harus membuat surat permohonan dan ia membentuk panitia yang disebut Manggala Sembilan. Permohonan tersebut diserahkan kepada Asano yang merupakan anggota dinas rahasia Jepang, lalu dikirim ke Tokyo. Tidak lama kemudian, permintaan Ki Ageng Suryomentaram diterima.

4. Mengadakan pendaftaran tentara sukarela yang kemudian berubah jadi PETA

Ki Ageng Suryomentaram, Sosok di Balik Tercetusnya PETAPasukan Pembela Tanah Air (Dok. KITLV/Tropenmuseum)

Ki Ageng mengadakan pendaftaran tentara yang langsung disambut baik oleh masyarakat dan menjadi tentara sukarela. Mengutip laman Fakultas Psikologi Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa Yogyakarta, para pendaftar tersebut diambil alih oleh pemerintah dengan nama yang diubah menjadi Tentara Pembela Tanah Air atau PETA. Tentara Pembela Tanah Air atau PETA inilah yang saat Indonesia merdeka, namanya berubah menjadi Tentara Nasional Indonesia.

Bahkan, pada perang menuju kemerdekaan, Ki Ageng selalu menjadi yang terdepan untuk memimpin pasukan gerilya yang kemudian disebut Pasukan Jelata. Pasukan Jelata ini memiliki daerah operasinya di sekitar Wonosegoro. Dan ketika ibu kota RI Yogyakarta diduduki Belanda, Ki Ageng bersama keluarga meninggalkan kota, mengungsi ke daerah Gunung Kidul. Meski mengungsi, Ki Ageng masih selalu berhubungan dengan tentara gerilya.

Perjalanan hidup seorang Ki Ageng Suryomentaram patut diteladani. Beliau yang seorang pangeran tak mau berada di comfort zone dan memilih buat menemukan jalannya sendiri yang akhirnya berpengaruh besar pada banyak orang. Ia adalah sebaik-baiknya seseorang yang berpikiran visioner hingga menyadari bahwa adanya keberadaan tentara sangatlah penting hingga kini, Indonesia menjadi salah satu negara dengan militer yang ditakuti.

Baca Juga: Biografi Ki Hajar Dewantara, Pendiri Perguruan Taman Siswa

Topik:

  • Paulus Risang

Berita Terkini Lainnya