TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

6 Bentuk Sabotase Diri Menurut Buku The Mountain is You, Gak Disadari

Perfeksionis juga termasuk di antaranya

potret seorang wanita karir di depan laptop (pexels.com/Mikhail Nilov)

Pernah mendengar apa itu yang dimaksud dengan self-sabotage atau sabotase diri? Ini adalah suatu perilaku atau kondisi ketika seseorang secara sadar atau tidak sadar, terus melakukan hal yang membuatnya terhalang dari kemajuan. Brianna Wiest dalam bukunya yang berjudul The Mountain is You (Transforming Self-Sabotage Into Self-Mastery) menjelaskan beberapa poin pentingnya.

Menurutnya, sabotase diri terjadi sebagai akibat dari berbagai faktor yang kemudian memengaruhi seseorang ketika hendak melakukan sesuatu yang berkaitan dengan kesuksesan dan pencapaian dalam hidupnya. Ketika kondisi ini berlanjut secara terus-menerus, maka dampaknya, ia akan terus terjebak dengan dirinya sendiri. Terasa seperti selalu jalan di tempat.

Jika kamu merasa sedang dalam ciri-ciri kondisi tersebut, mungkin inilah saatnya kamu lebih memahami maksud sabotase diri. Karena bahkan, kerja keras dan disiplin saja tidak cukup untuk mencapai kesuksesan jika kesalahannya ada pada saat bagaimana diri kamu berproses menuju apa yang ingin kamu capai tersebut. Lantas, sikap dan perilaku seperti apa yang termasuk bentuk sabotase diri ini? Berikut rangkuman pembahasannya dari buku The Mountain is You karya Brianna Wiest.

1. Resistance

potret seorang wanita karir mendapat tekanan di kantor (pexels.com/Mikhail Nilov)

Resistance atau dalam bahasa Indonesia adalah resistan. Merupakan perilaku ketika kamu justru malah menahan diri untuk melakukan apa yang sebenarnya lebih benar dan lebih baik untuk kamu. Misalnya, ketika kamu sudah menerima tugas untuk dikerjakan, kamu ingin mengerjakannya, namun saat akan memulainya kamu malah menemukan diri kamu hanya diam saja, tidak berbuat apa-apa.

Di lain sisi, padahal diri kamu sudah dipenuhi semangat, rasa excited, untuk segera mengeksekusi rencana-rencana atau ide yang sudah terpikirkan. Namun, saat ingin benar-benar mengeksekusinya, kamu malah menolak menyelesaikannya. Ketika mengalami ini yang perlu kamu pahami, adalah bahwa resistan bisa berarti dua hal.

Pertama, kondisi saat mengalami resistan ini bisa berarti adalah kesempatan kamu untuk berproses secara perlahan tapi bertahap. Kesempatan kamu juga untuk melihat apa keputusan yang kamu buat, itu benar-benar sudah tepat. Kedua, bisa jadi itu memang tanda-tanda bahwa keputusan untuk melakukan, atau membuat hal tersebut, bukan keputusan terbaik. Maka kamu menahan diri, karena mungkin di alam bawah sadarmu, kamu menyadari bahwa itu kurang tepat untuk dilakukan.

2. Membiarkan dirimu terus berada dalam zona nyaman

potret seorang wanita sedang bekerja (pexels.com/Antoni Shkraba)

Seperti dalam pembahasan poin sebelumnya, tanpa kamu sadari, sering kali diri ini tidak sepenuhnya membiarkan kebahagiaan itu datang seluruhnya. Brianna dalam bukunya menyebutkan penyebabnya adalah karena seseorang tersebut tidak berani keluar dari 'batas' dirinya. Yakni, ambang batas antara tempat di mana diri merasa nyaman dan tidak nyaman.

Akhirnya, ketika kamu mulai keluar dari batas nyaman kamu, kamu justru mulai secara tidak sadar menyabotase apa yang tidak nyaman dan tidak familier bagimu. Ketika sudah parah, efek sabotase diri ini bisa berdampak pada kesehatan fisik, seperti mudah sakit kepala dan lainnya. Sementara bagi sebagian orang lagi bisa muncul secara emosional efeknya, seperti penolakan, kemarahan, rasa bersalah, hingga ketakutan.

Ini mungkin terlihat sangat berlawanan dengan intuisi, namun di sinilah akibat dari kamu yang tidak sepenuhnya mencoba untuk meraih kesempatan bahagia seutuhnya tersebut. Saat kita sudah begitu nyaman dengan apa yang sudah ada, segala sesuatu yang berada di luar zona nyaman itu, terasa mengancam dan menakutkan. Meskipun, apa yang ada di luar ini bisa membawa kebahagiaan lebih besar pada kamu nantinya.

3. Uprooting

potret seorang wanita sedang bekerja (pexels.com/Yan Krukau)

Kamu pernah merasa diri kamu begitu labil, mudah berubah-ubah haluan, berganti-ganti hubungan, selalu tertarik memulai sesuatu yang baru, dan memulai lagi. Meskipun sebenarnya dengan satu pilihan pun kamu belum sepenuhnya selesai. Brianna menyebut bentuk sabotase diri satu ini dengan istilah 'uprooting'. Ketika ini terjadi, kamu sebenarnya tidak membiarkan diri kamu berkembang, kamu hanya merasa nyaman dalam prosesnya.

Kamu merasa terus membutuhkan awal yang baru, sering kali akibat dari diri yang tidak memiliki kemampuan mengelola stres atau berjuang mengatasi konflik dengan baik. Uprooting bisa menjadi cara mengalihkan perhatian dari masa aktual dalam hidup kamu. Terlepas dari upaya kamu untuk terus bergerak, pada akhirnya kamu bisa terjebak pada situasi yang sama dan tidak menemukan kemajuan apapun.

4. Perfeksionis

potret seorang wanita di depan laptop (pexels.com/Andrea Piacquadio)

Menjadi perfeksionis dimulai ketika kamu sudah menuntut diri kamu, melakukan pekerjaan yang harus hasilnya sempurna, bahkan di saat pertama kalinya kamu baru mencoba. Namun, Brianna dalam bukunya ini menekankan, memiliki sifat perfeksionis dalam diri ini bukanlah hal yang benar. Seorang perfeksionis menurutnya sebenarnya bukannya ingin menghasilkan segala sesuatu yang baik.

Pada faktanya, menjadi perfeksionis justru  menghalangi diri sendiri dari kemajuan. Biasanya, itu  justru menempatkan ekspektasi tidak masuk akal tentang apa yang sebenarnya kita mampu dan bagaimana hasilnya nanti akan keluar. Menjadi perfeksionis bisa menyebabkan kamu mundur kembali untuk menunjukkan hasil dan takut mencoba.

Kamu mungkin tidak benar-benar menyadarinya, namun perfeksionis itu lahir dari hal-hal negatif dalam faktor kemajuan diri, seperti ketakutan akan kegagalan, kecemasan, ketakutan tidak menjadi sebaik apa yang orang lain pikirkan, hingga akhirnya kamu melakukan sabotase diri. Yakni, dengan menghindari pekerjaan yang sebenarnya bisa kamu lakukan dengan cukup baik.

5. Justifikasi

potret seorang wanita sedang menelpon (pexels.com/Sam Lion)

Kamu merasa apa yang kamu lakukan harus selalu mendapatkan pembenaran tertentu. Di mana kamu mengukurnya dengan hasil, bukan dari niatnya. Saat justifikasi ini terjadi, ini bukan tentang apa yang kamu ingin lakukan bisa selesai, tetapi kamu merasa tidak memiliki waktu untuk mengerjakannya. Ini bukan tentang kenapa kamu berpikir tidak bisa melakukannya, ini adalah soal apakah kamu akan mengerjakannya atau tidak.

Padahal, saat kita memiliki goal, mimpi, atau rencana tertentu, itu tidak ada ukuran dari niatnya. Ini hanya soal kamu akan mengerjakannya atau tidak. Dalam tahap ini, kamu menyabotase diri sendiri, dengan lebih mengutamakan banyak alasan untuk mengerjakannya, daripada ambisi kamu sendiri untuk menyelesaikannya. Untuk mengatasinya, coba mengukur hasil kamu dengan fokus terhadap paling tidak satu hal produktif yang kamu lakukan setiap harinya. 

Verified Writer

Nadhifa Salsabila Kurnia

Pencinta literasi penyuka fiksi, menulis kapan dan dimana saja

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Berita Terkini Lainnya