Agradaya dan Upaya Mengembalikan Kejayaan Minuman Herbal
Minuman herbal yang menyehatkan sekaligus ramah pada bumi
Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Yogyakarta, IDN Times - Sejauh Mata Memandang sebagai salah satu label tekstil yang peduli dengan alam, baru-baru ini mengadakan pameran keempat belasnya sekaligus yang pertama di ARTJOG 2022 yang bertajuk "Kisah Punah Kita". Seolah tak mau menyia-nyiakan kesempatan selama di Yogyakarta, Sejauh Mata Memandang yang didirikan oleh Chitra Subyakto tersebut juga mengadakan acara lanjutan.
Diadakan di Rumah Simbah Studio, pameran ini diberi nama Sejauh Rumah Kita yang tak hanya menjadi tempat display untuk produk dari Sejauh, tapi juga dengan mengadakan workshop yang bekerja sama dengan komunitas slow living di Yogyakarta. Seperti pada Senin (11/07/2022), Sejauh Mata Memandang menggandeng Agradaya sebagai produsen minuman herbal.
“Yogyakarta itu dari dulu sudah lebih ada komunitas-komunitas slow living. Juga, Yogyakarta ini sejak dulu juga lebih ramah lingkungan. Makanya, lewat kelas-kelas ini, seperti dengan Agradaya, saya juga ingin belajar hidup lebih ramah dan tidak terlalu menyakiti bumi.” Kata Chitra saat ditemui dalam acara Kunjungan ke Sejauh Rumah Kita.
Baca Juga: Petani Millennial Raup Cuan lewat Bertanam Empon-empon
1. Harga tanaman herbal yang rendah membuat masyarakat enggan mengolah
“Banyak sekali orang Indonesia yang meragukan khasiat herbal, padahal jamu itu punya leluhur kita. Kalau bicara soal kesehatan, orang Indonesia itu pasti produknya impor,” ujar Asri Saraswati Iskandar selaku founder dari Agradaya. Hal ini tentu amat disayangkan, padahal Indonesia, khususnya Yogyakarta, dekat sekali dengan sumber daya berupa tanaman herbal yang bisa dimanfaatkan.
Asri kemudian menjelaskan bahwa di Perbukitan Menoreh, Kulon Progo, tanaman seperti temulawak, jahe, dan kunyit tumbuh dengan subur, bahkan tidak dengan sengaja dibudidaya.
“Tanaman-tanaman tersebut di sana dibiarkan saja. Di musim hujan, mereka tumbuh, dan di musim kemarau, mereka panen,” jelas Asri.
Sayangnya, saat panen (sebelum pandemik COVID-19) harga pun tak seberapa sehingga membuat masyarakat enggan untuk mengolah lebih lanjut. Hal ini karena biaya mengolah yang tinggi dan tak seberapa dengan hasil. Dari sana kemudian Asri dan teman-teman melakukan pendampingan pada warga.
Baca Juga: Raras Racik Minyak Atsiri, Wanginya Sampai ke Luar Negeri