TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

3 Kesenian Tradisional di Sleman yang Paling Populer

Adakah yang pernah kamu mainkan?

Jathilan (kebudayaan.kemdikbud.go.id)

Sleman mempunyai banyak ragam kesenian tradisional. Sayangnya, satu per satu mulai hilang dan hampir punah karena tidak lagi dimainkan oleh sekelompok seni asal Sleman.

Ada tiga kesenian tradisional di Sleman yang cukup populer. Penasaran apa saja? Yuk, simak ulasan di bawah ini.

1. Tari Badui

Tari Badui (krjogja.com)

Tari Badui berasal dari daerah Sleman, khususnya daerah Kedu. Kesenian tradisional yang menceritakan tentang adegan peperangan ini masih banyak dipentaskan hingga saat ini.

Dalam penampilannya, tari Badui dilakukan secara berkelompok dan berpasang-pasangan. Kelompok atau pasangan ini akan membentuk formasi barisan. Gerakan lainnya membentuk formasi lingkaran dan berhadapan. 

Konon tarian ini dibawa oleh seseorang yang datang dari tanah Arab. Terpesona dengan kesenian Badui yang dilihatnya di tanah Arab, ketika kembali ke Indonesia ia mengembangkan dengan tema dan gerakan yang sama.

Agar lebih diterima oleh masyarakat Kedu, syair-syair dan lagu yang dimainkan sedikit diubah. Akhirnya tari Badui dapat diterima, bahkan menjadi alat dakwah agama Islam dan tentunya hiburan bagi masyarakat sekitar.

2. Jathilan

Jathilan (kebudayaan.kemdikbud.go.id)

Tidak banyak orang yang mengetahui tentang kesenian Jathilan, karena kesenian ini lebih dikenal dengan istilah kuda lumping. Disebut kuda lumping karena kuda-kudaan yang dibuat dari anyaman bambu.

Sedangkan istilah Jathilan sendiri  berasal dari ungkapan bahasa Jawa ketika menonton jaran kepang. “Jaranne jan thil-thilan tenan!”, yang berarti “Kudanya benar-benar menari dengan banyak tingkah”. 

Jathilan dipercaya memiliki daya magis dalam tariannya. Ditarikan dalam kelompok berjumlah 6-8 orang, serta diiringi dengan alat musik tradisional yaitu gamelan dengan saron, kendang, dan gongnya. 

Tarian akan diawali dengan aneka gerakan yaitu pacak golu (menggerakkan kepala ke kiri dan kanan), siring (bergeser kesamping dengan setengah berlari), njondil (melompat), berguling, bahkan sampai kerasukan. Saat kerasukan roh halus, jathilan mencapai klimaks tariannya. Para penari berada dalam keadaan ndadi atau kerasukan roh halus. 

Dengan iringan musik yang semakin cepat, disinilah banyak terjadi adegan yang berbahaya seperti makan beling atau serpihan kaca. Itulah sebabnya harus ada pawang yang bertugas. Selain untuk mengeluarkan roh halus dari tubuh para penari, juga melakukan ritual yang bertujuan untuk memohon ijin kepada Tuhan agar jalannya pertunjukan diberi kelancaran.

Tarian ini berkisah tentang perjuangan seorang prajurit yang gigih melawan penjajah dengan kuda kebanggaannya. Tarian ini juga mengandung filosofis tentang kesenjangan sosial antara masyarakat kelas atas dan kaum pekerja. Kelas pekerja yang diwakili para penari berkuda digambarkan tanpa aturan karena tak berhenti bergerak.

Baca Juga: Kesenian Tradisional Banten, Ngarak Pengantin Buaya Putih

Berita Terkini Lainnya