TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Dinobatkan Gelar Pahlawan Nasional, Ini Riwayat Hidup Paku Alam VIII

Tahun 1998, bersama Sri Sultan HB X dukung reformasi damai 

Sejarah Paku Alam VIII (wikimedia.org)

Presiden Joko Widodo menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepada Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya (KGPAA) Paku Alam (PA) VIII di Istana Merdeka, Jakarta, Senin (7/11/2022). Penganugerahan ini diterima langsung oleh Paku Alam X sebagai ahli waris KGPAA PA VIII.

Paku Alam VIII dinilai berjasa karena pada 17 Agustus 1945, mendeklarasikan kerajaan yang dipimpinnya menjadi bagian dari Indonesia bukannya Belanda. Untuk mengenang Paku Alam VIII, berikut perjalanan hidupnya yang berjiwa nasionalis.

1. Kelahiran Paku Alam VIII

Paku Alam VIII/wikipedia

Memiliki nama kecil B.R.M.H. Sularso Kunto Suratno, Paku Alam VIII lahir pada 10 April 1910 merupakan putra dari K.G.P.A.A. Paku Alam VII dan permaisuri Gusti Bandoro Raden Ayu Retno Puwoso, yang tak lain adalah putri Sunan Paku Buwono X di Surakarta. Hal ini menjadikan Paku Alam VIII sebagai cucu Paku Buwono X. B.R.M.H. Sularso Kunto Suratno dan menjadi putra mahkota dengan gelar P.A.A. Prabu Suryodilogo pada 5 Agusgus 1936.

 

Baca Juga: Paku Alam VIII Dianugerahi Gelar Pahlawan Nasional

2. Pendudukan Jepang dan bergabungnya Pakualam dengan Kesultanan

Sejarah Paku Alam VIII (wikimedia.org)

Kepemimpinan Paku Alam VIII yang terberat bukanlah semasa pendudukan Belanda, melainkan saat Jepang datang. Awalnya manis, Jepang justru mengandalkan strategi adu domba antara Pakualaman dengan Kesultanan. Jepang juga banyak mengirim orang untuk menghasut agar memisahkan diri dari Kesultanan.

K.P.H. Indrokusumo yang tak lain adalah putra bungsu Paku Alam VIII yang pernah mendengar langsung cerita dari sang ayah, bahwa adanya dukungan dari G.K.B.R.A.A. Paku Alam VII atau ibunda Paku Alam VIII untuk bersatu dengan Sultan Hamengku Buwono IX. Sebagai anak yang berbakti, Paku Alam VIII menyampaikan niatnya kepada Sultan Hamengku Buwono IX agar Pakualaman dan Kesultanan bersatu. Terlebih Pakualaman dan Kesultanan berasal dari induk yang sama sehingga tak selayaknya perlu bercerai berai.

Sejak saat itu secara de facto Daerah Istimewa Yogyakarta terbentuk dengan penggabungan wilayah antara Kadipaten Pakualaman dan Kesultana Yogyakarta. Dan Hamengku Buwono IX dan Paku Alam VII memimpin wilayah tersebut secara bersama-sama.

3. Berdiri di belakang Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta

Paku Alam VIII dan Sultan Hamengku Buwono IX (wikimedia.org)

Delapan tahun setelah Paku Alam VIII dilantik, ia kembali diuji. Pada 18 Agustus 1945 atau sehari setelah Indonesia menyatakan kemerdekaan dari penjajah, ia menyatakan memberikan selamat atas kemerdekaan Indonesia. Selang dua hari setelah pembacaan proklamasi, bersama dengan Sri Sultan Hamengku Buwono IX menyatakan siap berdiri di belakang Soekarno sebagai presiden dan Mohammad Hatta sebagai wakil presiden melalui pesan telegram.

Sambutan baik diberikan oleh Soekarno sebagai Presiden Republik Indonesia hingga diwujudkan dalam Piagam Penetapan tentang Daerah Istimewa Yogyakarta dan Kadipaten Pakualaman adalah bagian Negara Republik Indonesia.

Walau begitu, piagam itu baru diserahkan Menteri Negara Sartono dan A.A. Maramis pada 6 September 1945 atau satu hari sesudah K.G.P.A.A. Paku Alam VIII dan Sultan Hamengku Buwono IX mengeluarkan Amanat 5 September. Amanat tersebut berisi pernyataan bahwa Yogyakarta adalah daerah istimewa Negara Republik Indonesia dan urusan pemerintahan serta kekuasaan Iainya masing-masing dipegang oleh Sultan Hamengku Buwono IX dan K.G.P.A.A. Paku Alam VIII.

4. Ibu kota Indonesia berpindah ke Yogyakarta

Keraton Pakualaman (instagram.com/bpcb_diy)

Saat sekutu kembali menyerang Jakarta sebagai ibu kota, Sri Sultan Hamengku Buwono IX mengirimkan kurir ke Jakarta untuk meminta agar sementara waktu ibu kota NKRI dipindahkan ke Kota Yogyakarta. Tawaran tersebut disambut baik, sehingga pada 4 Januari 1946, ibu kota Negara Republik Indonesia dipindahkan ke Yogyakarta.

Mengendarai kereta api, presiden dan wakil presiden dengan selamat sampai ke Yogyakarta dan menginap di Parangkarso Kadipaten Pakualaman yang dinilai lebih aman dari pantauan mata-mata Belanda. Semenjak itu, bersama Sultan Hambengku Buwono IX, Paku Alam VII berusaha menggerakkan roda pemerintahan Indonesia di Yogyakarta, bahkan mengeluarkan harta kerajaan demi membantu bangsa.

Baca Juga: Mengintip Masjid Puro Pakualaman, Cagar Budaya yang Kaya Falsafah Jawa

Berita Terkini Lainnya