Resistensi Antimikroba Jadi Persoalan Serius, Apotek dan Toko Obat Perlu Kontrol Pemberian Antibiotik  

Bahkan terdapat pemberian antibiotik untuk keadaan khusus  

Sleman, IDN Times - Resistensi antimikroba (AMR) yang terjadi akibat pemberian antibiotik tidak tepat, berlebihan atau tidak rasional menjadi persoalan serius dalam dunia kesehatan.

Hasil penelitian yang dilakukan oleh peneliti dari Universitas Gadjah Mada (UGM) , Universitas Sebelas Maret (UNS), Kementerian Kesehatan Indonesia, Kirby Institute di UNSW Sydney, London School of Hygiene & Tropical Medicine, University College London, dan The George Institute for Global Health di UNSW Sydney menunjukkan salah satu sebab terjadinya resistensi ini adalah praktik pemberian antibiotika tanpa resep.

"Dari dua per tiga kunjungan ke apotek maupun toko obat swasta diketahui antibiotika diberikan tanpa resep dokter," ungkap Guru Besar FKKMK UGM, Prof. Tri Wibawa, Selasa (10/8/2021). 

Baca Juga: Mahasiswa UGM Ciptakan Gim Interaktif Budaya Indonesia

1. Perlu perhatian serius

Resistensi Antimikroba Jadi Persoalan Serius, Apotek dan Toko Obat Perlu Kontrol Pemberian Antibiotik  pexels.com/Anna Shvets

Tri menjelaskan perlunya perhatian serius terhadap praktik penjualan antibiotik di apotek dan toko obat swasta, menyebabkan faktor munculnya resistensi bakteri terhadap antibiotik.

“Penting melakukan kontrol terhadap peredaran antibiotik di masyarakat untuk menghindarkan ancaman resistensi bakteri terhadap antibiotik,” terangnya.

2. 70 persen apotek dan toko obat swasta masih memberikan antibiotik tanpa resep

Resistensi Antimikroba Jadi Persoalan Serius, Apotek dan Toko Obat Perlu Kontrol Pemberian Antibiotik  Apotek (pexels.com/anntarazevich)

Prof. Virginia Wiseman dari Kirby Institute selaku pemimpin penelitian ini memaparkan melalui penelitian dalam kemitraan dengan Komite Pengendalian Resistensi Antibiotik (KPRA) yang berada di bawah Kementerian Kesehatan Indonesia, timnya melakukan penelitian dengan menggunakan mistery client untuk mengunjungi apotek dan toko obat swasta di Kota Bekasi Provinsi Jawa Barat dan Kabupaten Tabalong di Provinsi Kalimantan Selatan. Secara keseluruhan terdapat sebanyak 495 kunjungan yang ke apotek dan toko obat swasta.

Dari kunjungan tersebut, didapati sekitar 70 persen apotek maupun toko obat swasta masih memberikan antibiotik tanpa resep. Padahal pemberian antibiotik tanpa resep merupakan hal yang dilarang dalam peraturan karena termasuk sebagai obat keras.

“Faktanyaterdapat lebih dari dua per tiga kunjungan ke apotek dan toko obat swasta di Indonesia diperoleh satu jenis antibiotik tanpa resep dan sering tanpa saran yang memadai dari tenaga kesehatan. Hal ini sangat memprihatinkan, bahkan ada beberapa antibiotik yang seharusnya hanya boleh diresepkan dalam keadaan yang sangat khusus,” terangnya.

3. Situasi pandemik COVID-19 menambah rumit

Resistensi Antimikroba Jadi Persoalan Serius, Apotek dan Toko Obat Perlu Kontrol Pemberian Antibiotik  freepik.com/jcomp

Sementara itu, salah satu peneliti dari Universitas Sebelas Maret (UNS) Prof. Probandari mengatakan di Indonesia situasi menjadi bertambah rumit dengan pandemik COVID-19. Oleh sebab itu pemberian antibiotik yang selama ini tidak diatur dengan baik perlu segera ditangani.

“Dalam banyak hal COVID-19 telah memperberat masalah penjualan antibiotik secara bebas. Semakin banyak orang yang sakit atau takut menjadi sakit, serta mencoba mencari saran medis dan obat-obatan seperti antibiotik di mana pun,” paparnya.

Menurut Probandari perlu pendekatan dari berbagai aspek menghadapi persoalan pemberian antibiotik tanpa resep. Banyak hal yang perlu dipertimbangkan mulai dari kebutuhan untuk memaksimalkan keuntungan oleh apotek dan toko obat swasta, tingginya permintaan antibiotik dari pelanggan, dan dorongan dari pemilik untuk bersaing dengan toko lain.

Topik:

  • Febriana Sintasari

Berita Terkini Lainnya