Kuliner Yogyakarta Sudah Manis Sebelum Mengenal Pabrik Gula

Gula diperlukan untuk sumber energi, tapi jangan berlebihan

Yogyakarta, IDN Times - Satu tahun lagi, Nirwan Pandjaitan akan merampungkan studi doktoralnya di Yogyakarta. Selama dua tahun tinggal di Kota Gudeg, dosen komunikasi asal Sumatera Utara ini berusaha untuk beradaptasi dengan aneka masakan. Hanya satu yang dia merasa kewalahan karena lidahnya tak kunjung rela menerima: gudeg.

“Terlalu manis,” tukasnya pendek saat saya temui November 2021 lalu.

Alhasil, bersama istrinya selalu menyediakan stok sambal merah nan pedas dalam kotak-kotak plastik di rumah kontrakan. Selebihnya, warung Padang jadi alternatif jujugan untuk makan.

Testimoni Nirwan itu bukan kali pertama terucap dari para pendatang atau pun pelancong Yogyakarta. Rata-rata sama, terlalu manis. Meskipun ada sambal krecek dengan cabai rawit utuh yang disajikan dalam sepiring gudeg. Bahkan pendatang asal Surakarta, Rahma Lusiawati, 44 tahun yang notabene kuliah dan menetap di Yogyakarta pun menyatakan hal sama. Padahal Surakarta dan Yogyakarta sama-sama pemilik kuliner khas gudeg.

“Gudeg Solo tak semanis Jogja. Di sana lebih legit, dan gimana ya, lebih mriyayeni gitu,” kata Lusia yang tampak kebingungan mencari istilah yang pas.

Tak hanya gudeg, kuliner Yogyakarta pun dicap sama rata manis semua. Padahal ada juga rasa gurihnya. Mengapa kuliner Yogyakarta manis?

Baca Juga: 6 Fakta Kipo, Jajanan Khas Kotagede Kesukaan Bangsawan

1. Kudapan Nusantara rata-rata manis

Kuliner Yogyakarta Sudah Manis Sebelum Mengenal Pabrik GulaJajanan pasar. (Instagram.com/cilacapzone.id)

Guru Besar Ilmu dan Teknologi Pangan UGM Prof. Dr. Ir. Murdijati Gardjito pernah menelusuri kudapan-kudapan yang ada di Indonesia yang hasilnya mencapai 1.013 kudapan. Dan lebih dari 60 persen kudapan-kudapan itu berasa manis. Sisanya berasa gurih, pedas, dan aneka rasa lainnya.

“Jadi by genetic, orang Indonesia itu penyuka rasa manis,” kata Murdijati saat dihubungi melalui telepon, 16 Desember 2021.

Bukan tanpa alasan, mengingat sumber rasa manis berawal dari gula kelapa atau pun gula aren. Dan pohon kelapa yang menghasilkan gula kelapa merupakan tanaman khas Indonesia yang mudah tumbuh di dataran yang menjadi tempat tinggal orang-orang Melayu, Melanesia, dan Astronesia. Tak heran, selain mudah ditemukan di Indonesia, juga di Filipina dan India. Dan tanaman kelapa sudah bertumbuh sejak zaman nenek moyang.

“Di Jawa, kudapan-kudapan manis itu ada sejak zaman Majapahit,” imbuh Murdijati yang mengingatkan bendera Kerajaan Majapahit berlambang gula klapa atau gula kelapa.

2. Pabrik-pabrik gula bertumbuhan di Yogyakarta

Kuliner Yogyakarta Sudah Manis Sebelum Mengenal Pabrik GulaPabrik Gula Tjolomadoe milik Praja Mangkunegaran. (puromangkunegaran.com)

Sementara di Jawa, khususnya Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), dan Jawa Timur bertumbuhan pabrik-pabrik gula yang merupakan realisasi sistem taman paksa (cultuurstelsel) era Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Johannes van Den Bosch pada 1830-1833. Menurut Ketua Komunitas Roemah Toea, Aga Yurista Pembayun, pendirian usaha-usaha industri oleh Pemerintah Kolonial Belanda adalah upaya menutup kas negara yang bolong untuk membiayai perang Diponegoro yang berlangsung pada 1825-1830.

Sederet faktor menjadi alasan Pemerintah Hindia Belanda mengembangkan industri gula di Jawa, khususnya Yogyakarta dan Karesidenan Surakarta. Meskipun pabrik-pabrik gula masa itu juga berdiri di Jawa Timur, Karesidenan Kedu, dan kawasan pantura.

Mereka butuh tanah luas dan subur untuk menanam pohon-pohon tebu. Lahan subur itu berada di Jawa. Lahan luas mudah didapatkan dengan menyewa dari para raja dengan sistem sewa dalam waktu lama, baik untuk perkebunan tebu maupun pabrik gula. Di Jawa juga banyak penduduknya. Artinya, potensi kemudahan mendapat tenaga kerja dengan biaya murah ada di sana.

“Di Yogyakarta saja ada 19 pabrik gula dan di Karesidenan Surakarta ada 17 pabrik gula,” kata Aga saat dihubungi, 18 Desember 2021.

Baca Juga: Growol, Makanan Khas Kulon Progo yang Menyehatkan

3. Raja suka manis, masyarakat pun mengikuti

Kuliner Yogyakarta Sudah Manis Sebelum Mengenal Pabrik GulaIlustrasi puding (instagram.com/padma_rie)

Di Yogyakarta, pabrik-pabrik gula itu bermunculan masa Sultan Hamengku Buwono VI yang dilanjutkan Sultan Hamengku Buwono VII.

“Makanya, HB VII dikenal dengan sebutan Sultan Sugih,” kata Murdijati. Lantaran banyak menangguk kekayaan dari sewa lahan untuk pabrik gula, kebun tebu, juga jalan lintas lori pengangkut tebu.

Gula-gula tebu alias gula pasir itu banyak diekspor untuk mencukupi kebutuhan pasar Eropa dan Amerika. Ada juga yang dijual di pasaran masyarakat lokal yang diduga dengan kualitas yang lebih rendah. Jumlah gula yang diekspor pun lebih banyak ketimbang yang dijual di pasaran lokal.

Masyarakat lokal Yogyakarta pun mulai mengenal rasa manis gula tebu, selain legitnya gula kelapa dan gula aren. Lantaran raja dan keluarga istana sangat menyukai masakan manis. Acap kali, raja suka mendatangkan produk kuliner yang diawetkan dari Eropa. Seperti aneka sirup, buah dalam kaleng, pudding yang semua berasa manis.

“Karena raja suka manis, rakyatnya juga suka. Gula mudah diakses, sehingga masyarakat Yogyakarta berhobi rasa manis,” kata Murdijati.

Sementara menurut Aga, banyaknya pabrik gula di Yogyakarta tak serta merta menjadi alasan masakan Yogyakarta berasa manis. Begitu pun di Jawa Timur dan pantura yang dulu juga punya banyak pabrik gula tak membuat masakan di sana berasa manis.

“Rasa manis kembali pada preference dan kultur orang Yogyakarta sendiri,” kata Aga.

4. Gula kelapa dikenal lebih dulu ketimbang gula tebu

Kuliner Yogyakarta Sudah Manis Sebelum Mengenal Pabrik GulaIlustrasi gula kelapa (Pixabay.com/Fotocitizen)

Dan rasa manis dari gula kelapa dan gula aren sudah lebih dulu dikenal masyarakat Yogyakarta khususnya, sebelum mengenal pabrik gula. Fungsi keduanya sama. Memberi rasa manis pada makanan dan minuman, mengentalkan santan atau sirup, juga untuk mengawetkan makanan. Agar makanan lebih awet, takaran gulanya lebih banyak.

“Teh manis sama sirup, lebih awet mana?” tanya Murdijati melontarkan tebakan.

Meski demikian, rasa manis yang ditimbulkan kedua jenis gula itu berbeda.

“Rasa manis legit dari gula kelapa, rasa manis cumles dari gula tebu,” kata Murdijati.

Ada rasa gurih yang ditimbulkan dari makanan yang menggunakan pemanis dari gula kelapa atau gula aren. Selain gudeg, sejumlah kudapan lain yang menggunakan kelapa atau gula aren, seperti lemet, klepon, serabi kocor, juga putu.

“Kalau pengin bikin kudapan yang hasil warnanya nanti tidak cokelat, ya pakai gula pasir,” imbuh Murdijati. Seperti kue mangkok, geplak, bolu kukus.

Aga menambahkan, kuliner dengan menggunakan gula kelapa atau gula aren adalah kuliner asli Nusantara. Sementara yang menggunakan pemanis gula tebu justru kuliner dari Barat. Seperti membuat cake, pudding, minuman kopi, juga teh.

5. Konsumsilah gula secukupnya

Kuliner Yogyakarta Sudah Manis Sebelum Mengenal Pabrik GulaData konsumsi gula menurut provinsi di Indonesia pada 2014. Dok. SKMI 2014

Berasarkan data Survei Konsumsi Makanan Individu (SKMI) 2014, sebanyak 22,7 persen penduduk yang berdomisili di Yogyakarta mengonsumsi gula lebih dari 50 gram per orang per hari. Konsumsi gula masyarakat Yogyakarta diketahui paling tinggi ketimbang provinsi lain. Sedangkan angka nasional adalah 11,8 persen.

Dan ketika terjadi peningkatan jumlah penderita penyakit degeneratif, seperti diabetes, gula dan makanan manis dituding menjadi biang keroknya. Perkumpulan Endokrinologi Indonesia (Perkeni) melansir data dalam peringatan Hari Diabetes pada 14 November 2021 lalu, bahwa jumlah penderita diabetes pada 2019 mencapai 10,7 juta, kemudian meningkat menjadi 19,5 juta pada 2021. Peringkat Indonesia sebagai negara dengan jumlah penderita diabetes terbanyak di dunia pun naik dari urutan ke-7 pada 2019 menjadi urutan ke-5 pada 2021.

“Penyebab diabetes itu pola makan yang salah. Jadi jangan salahkan makanannya, tapi orangnya,” kata Murdijati.

Pola makan yang baik, Murdijati melanjutkan, adalah yang memenuhi B3AH, yaitu beragam, berigizi, berimbang, aman, dan halal. Apabila sudah memenuhi lima unsur tersebut, orang akan terhindar dari penyakit degeneratif, termasuk diabetes.

“Kalau makanan enggak pakai gula, seperti gudeg tidak berasa manis, ya bukan gudeg namanya,” imbuh Murdijati lagi.

Spesialis gizi klinik Universitas AIrlangga dokter Widati Fatmaningrum menambahkan, bahwa gula sendiri mempunyai fungsi untuk menambah energi bagi tubuh. Namun akan menjadi penyebab penyakit apabila dikonsumsi melebihi takaran secara terus-menerus.

“Jadi gula tetap diperlukan dalam tubuh. Maka konsumsilah gula secukupnya. Segala sesuatu yang kurang dan berlebihan itu tidak baik,” kata Widati dalam diskusi daring bertema “Habis Manis Gula Dicaci” yang digelar Aloha Institute pada 4 Desember 2021.

Apalagi, bahan makanan penyebab penyakit degeneratif tak hanya gula. Melainkan garam dan minyak goreng yang dikonsumsi berlebihan pula. Setidaknya dalam sehari membatasi konsumsi gula, garam, dan minyak, masing-masing 4 sendok makan gula, 1 sendok teh garam, dan 5 sendok makan minyak goreng. Juga dibarengi dengan pola hidup sehat, seperti makan makanan bergizi yang seimbang dan melakukan aktivitas fisik secara rutin. 

Baca Juga: Rica-rica Entok Mas Dukuh Choy di Bantul, Bikin Lidah Bergoyang

Topik:

  • Paulus Risang

Berita Terkini Lainnya