TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Gak Banyak yang Tahu, Sejarah Angkringan yang Legendaris

Sudah ada sejak tahun 1930-an, lho!

sejarah angkringan (instagram.com/angkringan.arap)

Kata penyair Joko Pinurbo, Yogyakarta terbuat dari rindu, pulang, dan angkringan. Kenapa angkringan dan bukannya gudeg yang merupakan makanan khas? Mungkin karena hampir setiap jengkal kota ini selalu ada angkringan yang siap mengisi perut keroncongan, namun yang tersisa di dompet hanya tinggal uang receh.

Tahukah kamu bagaimana awal munculnya angkringan sampai akhirnya menjadi ikon tempat makan dan nongkrong di Yogyakarta? Nah, berikut ini kisah menarik soal sejarah angkringan yang belum banyak orang tahu. Simak, yuk!

Baca Juga: Angkringan Lik Man, Awal Mula Kisah Kopi Joss Yogya yang Hits Abis

1. Asal muasal sebelum disebut angkringan

asal mula angkringan (instagram.com/warung_makmur_nuswantoro)

Angkringan berasal dari kata angkring (ꦲꦁꦏꦿꦁ). Dalam bahasa Jawa berarti alat atau tempat jualan makanan dan minuman secara keliling yang dipikul atau dibawa) dan berbentuk melengkung ke atas. Atau secara garis besarnya dapat diartikan sebagai makanan dan minuman yang menggunakan gerobak dorong.

Gak cuma di Yogyakarta saja angkringan ini digemari, tapi kamu juga bisa menemukannya di Solo, Klaten, hingga di Jawa Timur. Namun bedanya, di daerah Solo dan Klaten, angkringan lebih dikenal dengan nama hik yang merupakan singkatan dari hidangan idaman ala kampung.

2. Pertama muncul di Yogyakarta tahun 1950-an

angkringan jadul (instagram.com/angkringanpaksoedjana)

Orang pertama yang mengenalkan berjualan dengan pikulan adalah seorang laki-laki bernama Karso yang berasal dari Klaten. Berdasarkan informasi portal klatenkab.go.id, desa Ngerangan, Bayat, Klaten menjadi cikal bakal makanan ini.

Karso berjualan hik pertama kali di Solo pada tahun 1930 dan menjadi sangat laris. Kabar kesuksesan Karso menginspirasi banyak orang, termasuk Pairo. Alih-alih ikut Karso berjualan di Solo, ia menjalankan usahannya sendiri di Yogyakarta.

Di tahun 1950-an, Pairo berjualan dengan cara dipikul mengelilingi kota dan singgah di depan Stasiun Tugu Yogyakarta. Untuk menarik pembeli, Pairo berteriak Ting… ting… hik. Karena teriakan Pairo ini ia makin banyak dikenal oleh masyarakat sekitar.

3. Pairo memilih mangkal dan menciptakan angkringan

ilustrasi angkringan (instagram.com/angkringanpaksoedjana)

Dari mulut ke mulut, keberadaan hik milik Pairo semakin diminati. Bahkan saat Pairo belum sampai di tempat mangkalnya, sudah banyak yang menunggu kedatangannya. Sampai akhirnya Pairo memutuskan untuk berhenti jualan keliling dan menetap di dekat Stasiun Tugu Yogyakarta.

Pairo Tak lagi berjualan dengan pikulan melainkan menggunakan gerobak dan menambahkan bangku panjang. Pembeli saat itu memiliki kebiasaan menaikkan satu kaki yang dalam bahasa Jawa disebut dengan nangkring atau metangkring. Kemudian dari kebiasaan ini berkembanglah nama angkringan di kalangan masyarakat Yogyakarta.

4. Filosofi angkringan yang gak lekang oleh waktu

angkringan modern (instagram.com/angkringan.lovers)

Angkringan gak sekadar jadi tempat makan, tapi bagi penjualnya seperti Karso dan Pairo, hik atau angkringan ini adalah usaha mereka untuk terbebas dari kemiskinan. Dengan modal seadanya, mereka berusaha bangkit untuk menghidupi keluarganya.

Dan itu juga bisa dirasakan oleh para penjaja angkringan lain di zaman sekarang. Semakin banyak orang memulai usaha angkringan, tandanya mereka berusaha untuk bangun pagi, berbelanja, memasak dan sore sampai tengah malam berjualan. Tentu bukan hal yang mudah mengingat rasa lelah dan kurang tidur setiap harinya. Namun demi keluarga, apa pun dilakukan.

Berita Terkini Lainnya