Pasar Sastra 2025 di Kota Jogja. (dok. Pemkot Yogyakarta)
Selain pasar buku, pengunjung juga dapat mengikuti diskusi-diskusi harian dan menjelajahi pameran komunitas yang memperlihatkan potensi literasi di Jogja. Beragam pelapak, ilustrator, dan penggerak literasi turut terlibat memperkaya ruang interaksi.
"Inilah ruang pertemuan dan pertumbuhan bukan hanya bagi penulis dan pembaca, tetapi juga bagi ilustrator, media, pelapak buku, dan penggerak literasi lainnya," jelas Yetti.
Salah satu pengunjung, Hilma, mahasiswi UNY, merasakan langsung dampak acara ini. Ia berhasil membawa pulang tujuh buku dan berencana menggunakannya dalam program literasi saat KKN. “Rencananya buku-buku ini akan saya gunakan sebagai bagian dari kegiatan literasi di lokasi KKN nanti. Mungkin kami akan buat pojok baca atau kelas kecil untuk anak-anak di sana,” ungkapnya.
Pasar Sastra bukan sekadar agenda tahunan, tapi juga medium untuk memperkuat jejaring literasi dan menggugah kesadaran budaya baca di kalangan generasi muda. Hilma pun berharap kegiatan seperti ini bisa terus digelar dan menjangkau lebih banyak masyarakat.
Atmosfer literasi yang hidup di Jogja menegaskan bahwa kota ini bukan hanya pusat budaya, tapi juga pusat gerakan membaca yang berkelanjutan. Pasar Sastra 2025 pun menjadi bukti nyata, bahwa buku masih punya tempat istimewa dalam denyut kehidupan warganya.