Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Sendang Seliran di Makam Raja-raja Mataram Kotagede (Google Maps/MAF Rozy)

Intinya sih...

  • Kotagede, Jogja, adalah kawasan bersejarah dengan mitos Sendang Seliran yang dijaga dan diterapkan nilai-nilai kehidupan lokalnya.
  • Sendang Seliran adalah situs bersejarah dengan empat sumber air utama, tempat ritual warga, dan mitos ikan lele sebagai penjaga.
  • Mitos Sendang Seliran menciptakan pola interaksi baik, memotivasi mempertahankan hubungan sosial harmonis di tengah keberagaman. Prinsip rukun dan hormat terlihat dalam merawat Sendang Seliran.

Kotagede menjadi salah satu kawasan di Jogja yang bersejarah, menyimpan cerita masa lalu yang masih dilestarikan hingga kini. Salah satu kisahnya adalah mitos Sendang Seliran, sebuah sendang yang diyakini masyarakat sebagai tempat pemandian Raja Mataram.

Sebagai kearifan lokal, maka juga mengajarkan nilai-nilai kehidupan yang diterapkan warga. Tradisinya masih dijaga sehingga seiring perkembangan, kompleks pemakaman Raja-Raja Mataram ini jadi pusat sejarah dan pendidikan budaya.

Lalu, seperti apa mitosnya? Berikut ulasan tentang Mitos Sendang Seliran dan ikan lele yang dipelihara secara khusus.

1.Mitos Sendang Seliran, terdapat ikan lele yang diyakini sebagai penjaga

Ilustrasi ikan lele di Sendang Seliran. (Google Maps/Devi Yunitasari)

Juga disebut Sendang Selirang, situs bersejarah yang letaknnya di kompleks Makam Raja-Raja Mataram Kotagede, Yogyakarta, dibangun tahun 1284 oleh Panembahan Senopati yaitu Kyai Ageng Mataram. Di areanya terdapat empat sumber air utama yaitu, Sendang Kakung, Sendang Puteri, Sumber Kemuning, dan Sumber Bendha.

Sendang Seliran hanya merujuk pada Sendang Kakung dan Puteri. Sumber mata air Sendang Kakung berasal dari aliran bawah tanah yang mengalir ke makam Raja-Raja. Sementara, Sendang Puteri mendapatkan air dari akar pohon beringin besar yang tumbuh di gerbang kompleks makam.

Bernilai sejarah karena usianya sudah ratusan tahun, sekaligus jadi tempat ritual bagi masyarakat. Malam Jumat Kliwon tempat ini banyak dikunjungi warga untuk berziarah. Ada kepercayaan bahwa berdoa di tempat dan waktu tersebut, maka akan mempercepat proses terkabulnya keinginan.

Salah satu mitos yang berkembang di sekitar Sendang Seliran yaitu ikan lele. Masyarakat percaya bahwa ikan lele yang dipelihara di sana sebagai penjaga sendang kakung. Oleh karena itu, cara memeliharanya istimewa dan diperlakukan dengan baik. Konon, kalau ada yang berbuat buruk kepada ikan lele tersebut, maka akan mendapat kesialan.

Setelah ikan lele mati, juga tetap diperlakukan baik sebagaimana manusia. Ikan yang sudah mati akan dikafani, lalu dikuburkan di sekitar makam Raja-Raja.

2.Gotong Royong dalam pelestarian Sendang Seliran

Para Abdi Ndalem dan Masyarakat dengan khusyuk melantunkan tahlil dan doa di depan Kompleks Makam Raja Mataram Kotagede (budaya.jogjaprov.go.id)

Adanya kepercayaan masyarakat terhadap mitos ini mampu menciptakan pola interaksi yang baik. Warga bergotong royong menjaga dan merawat area kompleks Raja-Raja secara berkala. Seperti yang dijelaskan oleh Ilham dalam artikel Implikasi Mitos Sendang Seliran terhadap Perilaku Prososial Masyarakat Kotagede Yogyakarta, warga bergantian membersihkan area makam.

Sebagai penghormatan kepada leluhur, masyarakat juga mengadakan ritual tahunan yaitu Nahwu Sendang, prosesi menguras sendang. Tradisi ini menarik perhatian banyak orang, sehingga gak hanya diikuti masyarakat setempat, tapi juga pengunjung makam dari berbagai daerah pun ikut menyaksikan.

3.Mitosnya menjadi perekat hubungan antarumat

ilustrasi Keraton Yogyakarta (unsplash.com/Agto Nugroho)

Tak hanya sebagai warisan budaya, namun dengan adanya mitos ini juga jadi motivasi masyarakat dalam mempertahankan hubungan sosial yang harmonis. Bukti nyatanya ada dalam penelitian yang dilakukan Ghafur dalam jurnal Dialektika Agama dan Budaya dalam “Berkah” Nawu Sendang Selirang, di satu sisi, ada sekelompok masyarakat yang mengikuti pengajian di Masjid, sementara sisi lainnya juga banyak orang yang lalu lalang menuju kompleks makam dan sendang untuk berziarah maupun ritual tertentu.

Situasi ini menggambarkan kehidupan sosial masyarakat sekitar yang harmonis di tengah keberagaman. Terlebih ketika malam 1 Sura, jumlah peziarah yang datang bisa jauh lebih banyak dari peserta pengajian di Masjid Mataram. Meski ada perbedaan, masyarakat tetap hidup tenteram.

Seperti yang disampaikan Suseno dalam buku Etika Jawa: Sebuah Analisa Falsafi tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa, masyarakat Jawa mengatur interaksinya berdasarkan prinsip kerukunan dan hormat. Prinsip ini terlihat jelas dalam pola hidup masyarakat setempat dalam merawat Sendang Seliran.

Selain itu, prinsip rukun dan hormat juga nampak dari beragam kalangan dan kelompok yang berkunjung dengan tujuan baiknya masing-masing. Dengan demikian, keberadaan mitosnya juga sebagai cerminan hidup masyarakat yang menjunjung tinggi nilai-nilai sosial budaya. Melalui tradisi yang masih lestari jadi contoh nyata bagaimana warisan leluhur berdampak positif untuk generasi ke generasi.

Editorial Team