Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
IMG-20251009-WA0002.jpg
Jembatan Pandansimo Bantul. (IDN Times/Daruwaskita)

Intinya sih...

  • Jembatan Kabanaran diresmikan oleh Presiden Prabowo Subianto dan Gubernur DIY, Sri Sultan Hamengku Buwono X

  • Nama Kabanaran dipilih karena ikatan sejarah dengan Keraton Yogyakarta dan pernah menjadi pusat kedudukan Pangeran Mangkubumi

  • Perubahan nama jembatan juga menyesuaikan fakta wilayah, dengan 80% konstruksi berada di Kulon Progo

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Jembatan Kabanaran diresmikan pada Rabu (19/11/2025) lalu oleh Presiden Prabowo Subianto didampingi Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Sri Sultan Hamengku Buwono X. Jembatan ini melintasi Sungai Progo dan menghubungkan Kabupaten Kulon Progo di Kalurahan Banaran, Kapanewon Galur, dengan Kabupaten Bantul di Kapanewon Srandakan, Kalurahan Poncosari.

Semula, jembatan ini dikenal dengan sebutan Jembatan Pandansimo. Namun, pada saat diresmikan, namanya menjadi Jembatan Kabanaran. Ada sejumlah alasan yang melatarbelakangi perubahan nama jembatan tersebut, mulai dari sisi sejarah, lokasi, hingga penetapan langsung oleh Gubernur DIY. Meski keputusan ini memunculkan beragam komentar dari masyarakat, baik yang mendukung maupun tidak setuju. Untuk memahami lebih jauh tiap alasannya, simak ulasan lengkap berikut ini!

1. Memiliki ikatan sejarah yang kuat dengan Keraton Yogyakarta

Presiden Prabowo Subianto resmikan Jembatan Kabanaran. (Dok. Istimewa)

Ada aspek sejarah yang mendalam antara daerah berdirinya jembatan baru ini dengan Keraton Yogyakarta. Koordinator Humas Pemda DIY, Ditya Nanaryo Aji, dalam keterangannya menyampaikan bahwa nama tersebut merupakan pilihan Sri Sultan HB X. Pemilihan nama Kabanaran mempertimbangkan lokasi jembatan tersebut yang terletak di kawasan historis lokasi pusat markas perjuangan Pangeran Mangkubumi atau yang kemudian dikenal sebagai Sultan Hamengku Buwono I, saat melawan Belanda.  

Saat itu Kerajaan Mataram Islam masih utuh dan kabar bahwa Susuhunan Pakubuwana II jatuh sakit. Kala itu sekitar akhir 1749 di mana menjadi momen penting yang membuat Pangeran Mangkubumi didesak segera mengklaim takhta Mataram sebagai raja berikutnya. Disebutkan bahwasanya Pangeran Mangkubumi segera memproklamasikan diri sebagai Raja Mataram, dan para pengikutnya menobatkannya di Kabanaran yang letaknya ada di sebelah barat Kota Yogyakarta.

Ada sumber lain yang menyebut bahwa ia diangkat sebagai raja di desa Kabanaran pada Jumat Legi tanggal 1 Suro tahun Alip 1675, atau pada 11 Desember 1749 (sumber lain mengatakan pada 12 Desember 1749). Pengikutnya memberinya gelar baru yang berjuluk Sampeyan Dalem Sinuwun Kanjeng Susuhunan Senapati ing Ngalaga Ngabdurrahman Sayidin Panatagama Khalifatullah.

Ada sumber lain yang menyebutkan bahwa gelar yang dimiliki Pangeran Mangkubumi saat itu adalah Susuhunan Adi Senapati Ngalaga ing Banaran, atau disingkat Sunan Kabanaran.

2. Pernah menjadi pusat kedudukan bagi Pangeran Mangkubumi

Presiden Prabowo resmikan Jembatan Kabanaran. (IDN Times/Daruwaskita)

Penyematan nama Desa Kabanaran diperkirakan merujuk pada lokasi ini pernah menjadi pusat kedudukan bagi Pangeran Mangkubumi beserta para pengikut, dan pasukannya. Di Kabanaran, disebutkan bahwa Pangeran Mangkubumi memberikan perintah untuk mendirikan keraton, yang dilengkapi dengan sistem pertahanan dan pemukiman di sekelilingnya.

Setelah pembangunan itu selesai, Kabanaran berkembang pesat dan terlihat seperti kota yang makmur, di mana ditandai dengan adanya pasar yang menjual barang-barang dengan harga terjangkau, penyelenggaraan turnamen, serta acara-acara penting termasuk perayaan Garebeg Mulud yang dilaksanakan pada 20 Februari 1750. Bahkan, Kabanaran kemudian menjadi tujuan kunjungan bagi para pemimpin dari wilayah-wilayah sekitar untuk menyatakan kesetiaan mereka kepada Mangkubumi.

Dalam berbagai sumber disebutkan, setelah peresmian dan pendirian keraton, Pangeran Mangkubumi menggunakan gelar Sunan Kabanaran hingga tahun 1755, sampai ia menandatangani Perjanjian Giyanti. Hal ini karena pasca perjanjian tersebut, ia mengubah gelarnya menjadi Sultan Hamengku Buwana I dan, bersama seluruh keluarga serta pengikutnya, pindah ke Ambarketawang.

3. Menyesuaikan dengan fakta wilayah

Presiden Prabowo resmikan Jembatan Kabanaran. (IDN Times/Daruwaskita)

Sementara, merujuk laman Pemerintah Kabupaten Kulon Progo, Bupati Kulon Progo, Agung Setyawan, sebelumnya juga mengusulkan perubahan nama jembatan menjadi Jembatan Banaran. Selain sebagai upaya untuk meluruskan sejarah, hal ini juga mendudukkan permasalahan sesuai dengan fakta wilayah.

Setidaknya 80 persen dari konstruksi jembatan berada di wilayah administrasi Kabupaten Kulon Progo. Sedangkan bagian jembatan, 100 persen ada di atas badan sungai yang merupakan milik wilayah Kulon Progo.

Pada awalnya, bupati mengusulkan nama “Banaran-Pandansimo” yang bertujuan untuk mengakomodir kedua wilayah. Namun, setelah dikaji oleh pusat dan disetujui Pemprov DIY, nama yang dipilih adalah Kabanaran. Untuk pemilihan dan pengusulan nama ini sendiri, Pemkab Kulon Progo membutuhkan waktu tiga minggu untuk mencari dan mengkaji data secara mendalam, termasuk dengan melibatkan komunikasi tertulis dengan Gubernur DIY dan diteruskan secara administrasi kepada Gubernur melalui Sekda.

Saat peresmian Jembatan Kabanaran, Presiden Prabowo menekankan pentingnya nilai sejarah pada kawasan wilayah tersebut. Dengan latar belakang sejarah itu, pembangunan jembatan ini juga diharapkan membuka akses menuju kawasan yang memiliki potensi strategi dalam pengembangan budaya dan pariwisata Jawa.

“Saudara-saudara sekalian, tadi kita sudah mendengar arti bersejarah dari tempat ini, tempat perjuangan Pangeran Mangkubumi melawan Belanda, markasnya di sini juga. Bahwa ini nanti akan diharapkan mempermudah konektivitas, mempermudah akses juga ke daerah yang begitu indah, begitu penting dalam budaya Jawa, penuh spiritualitas,” terang Prabowo yang dikutip dari laman Portal Pemerintah Daerah DIY.

Nah, bagaimana menurut kamu, alasan kenapa Jembatan Pandansimo berganti nama jadi Kabanaran ini sudah cukup sesuai? Atau malah sebaliknya, nama lama sudah terlanjur mengakar dalam ingatan? Namun terlepas dari namanya, semoga jembatan vital ini dapat memberi kebermanfaatan bagi banyak orang dalam jangka waktu yang panjang, ya!

Editorial Team