potret benteng baluwarti (kebudayaan.jogjakota.go.id)
Di masa sekarang ini, kamu memang tak bisa lagi melihat jagang yang tersisa sebab sebagian besar benteng telah tertutup permukiman. Tidak ada informasi lengkap mengenai mulai kapan bagian dari benteng menjadi permukiman. Namun menurut laman Kraton Jogja, ada dua peristiwa besar yang bisa dijadikan acuan yakni saat pendudukan Jepang tahun 1942-1945 dan gempa bumi tahun 1867.
Gempa bumi tahun 1867 membuat kerusakan cukup parah di kota Yogyakarta hingga banyak rumah rusak parah, termasuk milik para abdi dalem. Dengan rasa kemanusiaan, Sri Sultan Hamengkubuwono VI mengizinkan abdi dalem untuk menempati ruang terbuka di sisi-sisi benteng dan reruntuhan Tamansari sebagai tempat tinggal sementara. Dan dari kebijakan tersebut berlanjut sampai dengan keturunan-keturunan dari abdi dalem yang bersangkutan.
Tak jauh berbeda dengan saat pendudukan Jepang. Rakyat ketakutan akan perilaku penjajah hingga mencari perlindungan. Di saat itu Sri Sultan Hamengku Buwono IX memutuskan untuk menampung dan membiarkan mereka tinggal di dalam dan sekitar benteng bahkan sampai masa pendudukan Jepang berakhir.
Sayang, seiring berkembangnya waktu justru banyak rumah menempel benteng, mengeruk dinding benteng agar mereka memiliki ruang yang lebih luas, hingga menjebol tembok benteng untuk akses keluar-masuk. Tak cuma membuat benteng rusak, tapi bagian-bagian tertentu bahkan tak terlihat sisanya dan tertutup permukiman.
Dari lima plengkung kini hanya dua yang tampak utuh melengkung, yakni Plengkung Wijilan dan Plengkung Gadhing. Dan dalam laman Kraton Jogja juga dijelaskan bahwa bangunan Tulak Bala yang utuh yaitu Pojok Beteng Wetan, Pojok Beteng Kulon, dan Pojok Beteng Lor. Sedangkan sisa tembok benteng yang utuh adalah dari Plengkung Gading ke timur sampai dengan Pojok Beteng Wetan.