Taru Martani 1918, Pabrik Cerutu Kesukaan Sri Sultan

Usianya sudah lebih dari satu abad

Yogyakarta, IDN Times - Tak banyak yang tahu kalau di Yogyakarta terdapat pabrik cerutu yang usianya sudah lebih dari 100 tahun. Lokasinya pun berada di tengah kota, hanya 10 menit berjalan kaki jika ditempuh dari Stasiun Lempuyangan. Namanya Taru Martani 1918 yang kini kepemilikannya berada di bawah Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta.

Cerutu sendiri berbeda dengan rokok, loh. Cerutu adalah tembakau yang dilinting dalam daun tembakau, proses pembuatannya pun memakan waktu yang cukup lama. Ukuran keduanya juga berbeda, cerutu lebih tebal daripada rokok.

Lalu, bagaimana kisah Taru Martani 1918 bisa bertahan sampai sekarang? Yuk, simak ulasannya berikut ini!

1. Didirikan oleh Belanda dan sempat jatuh ke tangan Jepang

Taru Martani 1918, Pabrik Cerutu Kesukaan Sri SultanPabrik Cerutu Taru Martani 1918 (IDN Times/Dyar Ayu)

Awalnya, pabrik cerutu tersebut didirikan untuk memenuhi kebutuhan orang Belanda yang ada di Indonesia. Sebagaimana yang diketahui, orang barat lebih menyukai menyesap cerutu daripada rokok karena rasanya yang lebih kuat dan khas.

Alami masa kejayaan sejak didirikan, setidaknya Pabrik Cerutu Taru Martani pernah memperkerjakan sampai 2 ribu orang. Namun ketika ada krisis dunia pada tahun 1930, pabrik ini mengalami kemunduran hingga pengurangan karyawan besar-besaran.

Kemudian, pada masa kependudukan Jepang, Taru Martani tak lepas dari akuisisi dan berganti nama menjadi Java Tobacco Kojo. Tak sampai di sana, setelah adanya agresi militer oleh Belanda, Taru Martani kembali jatuh ke tangan kolonial, hingga pada 23 September 1972 pabrik tersebut diambil alih pemerintah daerah dengan nama PD Taru Martani dan diresmikan oleh Sri Sultan Hamengku Buwono IX yang saat itu menjabat sebagai Menteri Koordinator EKUIN.

2. Sempat alami kemunduran dan kesulitan produksi

Taru Martani 1918, Pabrik Cerutu Kesukaan Sri SultanProses produksi di pabrik Cerutu Taru Martani 1918 (IDN Times/Dyar Ayu)

Pemerintah daerah tak langsung 'canggih' saat memproduksi cerutu. Saat Belanda mundur, pribumi sempat kesulitan dalam mengolah dan memproduksi cerutunya, terutama saat 1949 saat perusahaan diambil alih oleh NV Negresco. Mesin-mesin rokok putih dikembalikan ke B.A.T. Cirebon hingga mengalami kemunduran sampai di tahun 1951 sempat tak berjalan.

Di tahun 1952, Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta mengajak Bank Industri Negara Jakarta untuk menghidupkan kembali perusahaan tersebut dengan nama PT Taru Martani. Dengan bantuan tenaga ahli dari Belanda, kemudian diproduksilah beberapa merek cerutu.

Tahun 1972, pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta berinisiatif untuk bekerja sama dengan perusahaan Belanda, Douwe Egberts Taba ksimaatchappij BV di Utrecht, Holland, agar bisa melakukan ekspor cerutu ke Belanda. Kemudian terbentuklah perusahaan patungan yang bernama PT Taru Martani Baru.

Sayang, meski berhasil mengeluarkan berbagai merek cerutu baru, setelah 14 tahun perusahaan ini bekerja sama justru tak menghasilkan laba. Ini membuat perusahaan Belanda menarik diri dari perusahaan.

Baca Juga: Taru Martani 1918 Coffee, Sajikan Kopi sampai Cerutu Legendaris

3. Ekspor hingga ke negara barat dan ASEAN

Taru Martani 1918, Pabrik Cerutu Kesukaan Sri SultanProses produksi di pabrik Cerutu Taru Martani 1918 (IDN Times/Dyar Ayu)

Di tahun 1986, PT Taru Martani Baru kembali menjadi perusahaan milik daerah. Keuangan yang di ujung tanduk membuat pemerintah harus mencarikan dana pinjaman di beberapa bank hingga akhirnya mendapatkan pinjaman senilai Rp700 juta dari Bank Pembangunan Indonesia atau Bapindo.

Baru saat setelah mendapat suntikan dana, Taru Martani mengalami peningkatan yang baik. Pada 1989 akhirnya perusahaan ini bisa mengekspor produknya ke berbagai negara barat seperti Amerika, Belanda, dan lain-lain. Dulu per bulannya bisa mengekspor sampai ratusan ribu batang cerutu.

Namun begitu kampanye anti merokok meruak, permintaan akan cerutu pun mengalami kemunduran hingga kini per bulannya hanya bisa mengekspor sampai seratus lima puluh ribuan batang cerutu. Meskipun mengalami penurunan secara permintaan, ekspor cerutu saat ini justru kian luas hingga merambah pasar Taiwan, Ceko, bahkan ASEAN.

4. Penghasil cerutu kesukaan Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Hamengku Buwono X

Taru Martani 1918, Pabrik Cerutu Kesukaan Sri SultanSri Sultan HB X adalah salah satu penikmat cerutu buatan Taru Martani (instagram.com/pt.tarumartani1918)

Berbeda dengan rokok, harga cerutu tergolong lebih mahal. Tak heran penikmatnya datang dari kalangan konglomerat sampai pejabat. Cerutu ibarat dengan wine, semakin lama masa penyimpanannya rasanya pun kian nikmat, dan tinggi harganya. Antara puluhan sampai ratusan ribu, yang membuat cerutu jadi high end pun juga karena cara kemasnya yang eksklusif dengan kotak kayu berukir.

Diketahui penikmat cerutu Taru Martani yaitu Sri Sultan HB IX dan Sri Sultan HB X yang menyukai merek Ramayana. Sementara cerutu merek Adipati adalah kesukaan Paku Alam. Selain kedua merek ini, ada juga merek lain yang telah diproduksi Taru Martani yaitu Mundi, Victor Boheme, Senator, dan Cheer Up.

5. Makna dibalik nama Taru Martani

Taru Martani 1918, Pabrik Cerutu Kesukaan Sri SultanProduk cerutu buatan Taru Martani 1918 (IDN Times/Dyar Ayu)

Awalnya pabrik tembakau ini berdiri di Jalan Magelang, tapi kemudian tahun 1921 dipindahkan ke kawasan Baciro, tepatnya di Jalan Argolubang, Nomor 2A, Yogyakarta. Bangunan yang saat ini berdiri sebagai pabrik tak mengalami banyak perubahan. Hanya saat gempa 2006 melanda Yogyakarta, banyak atas roboh hingga membutuhkan pergantian.

Taru Martani bukan sebarang nama, melainkan ada makna di baliknya. Taru berasal dari kata (n)daru yang artinya daun dan martani berarti kehidupan. Harapan atas pemberian nama ini adalah, daun tembakau yang berada di pabrik, akan memberikan kehidupan yang baik bagi masyarakat di sekitarnya.

Baca Juga: Sejarah Hotel Tugu Jogja, Dulu Berjaya, Kini Terlupa

Topik:

  • Paulus Risang

Berita Terkini Lainnya