Sejarah Tugu Ngejaman Malioboro, Penanda Kekuasaan Belanda

Tugu jam yang sampai kini masih berfungsi baik

Setiap sudut di Yogyakarta memiliki nilai sejarah. Mulai dari bangunan-bangunan yang berdiri kokoh di setiap sudutnya, sampai dengan tugu-tugu penanda momen-momen penting di masa lalu. Salah satunya adalah Tugu Ngejaman di Malioboro yang sering kali hanya sekadar dilirik saat dilintasi banyak orang.

Siapa sangka, tugu yang berlokasi di Jalan Margamulya, tepatnya di depan Gereja GPIB Margamulya tersebut dibangun oleh Belanda dalam rangka memperingati seabad kembalinya Pemerintahan Kolonial Belanda dari Inggris yang berkuasa di Jawa. Penasaran bagaimana sejarah Tugu Ngejaman tersebut? Yuk, simak selengkapnya berikut ini!

1. Latar belakang berdirinya Tugu Ngejaman Malioboro

Sejarah Tugu Ngejaman Malioboro, Penanda Kekuasaan BelandaKi Hajar Dewantara (commons.wikimedia.org)

Dalam jurnal karya Heronimus Heron berjudul "Tugu Ngejaman: Penanda Kuasa dan Pengingat Waktu di Yogyakarta" yang dimuat dalam Retorik Vol.10 (1) (2022: 16), sejarah adanya Tugu Ngejaman berawal dari takluknya Belanda dari Prancis pada Januari 1795, di mana salah satu konsekuensinya adalah tunduknya Jawa di tahun 1808-1811. Namun saat tahun 1814, Prancis kalah dalam perang melawan Rusia sehingga Belanda dapat bernegosiasi dengan Inggris pada tahun 1816 mengenai wilayah jajahannya dan menghasilkan kesepakatan bahwa Belanda menguasai Jawa dan Inggris mendapatkan Malaka.

Seratus tahun berselang, Belanda ingin merayakan secara besar-besaran atas satu abad kembalinya Jawa pada pangkuan mereka. Perayaan ini menggunakan uang pajak yang caranya dikumpulkan dari sumbangan rakyat hingga mendapat kecaman dari berbagai pihak, termasuk Ki Hadjar Dewantara.

Ki Hadjar Dewantara mengkritik keinginan Belanda di surat kabar De Expres milik Indische Partij pada edisi 13 Juli 1913 dengan tulisan yang berjudul 'Als ik eens Nederlander was' atau yang artinya 'Seandainya Aku Seorang Belanda'. Dalam tulisan tersebut Ki Hadjar Dewantara menyatakan, "Sungguh seandainya saya ini orang Belanda, maka saya tak akan pernah mau merayakan pesta peringatan seperti itu di sini, di suatu negeri yang kita jajah. Berikan dulu rakyat yang tertindas itu kemerdekaan, baru sesudah itu kita memperingati kemerdekaan kita sendiri”.

Dianggap sebagai ancaman, Ki Hadjar Dewantara lantas dibuang oleh pemerintah kolonial ke Belanda pada tanggal 18 Agustus 1913. Setelahnya, Belanda lantas melanjutkan kembali rencana perayaan mereka dengan memungut pajak dari rakyat serta dirayakan di kota-kota di Jawa termasuk di Bandung pada tahun 1913.

Sedangkan di Yogyakarta sendiri, Belanda membangun sebuah tugu atau stadsklok di Jalan Malioboro atau pada saat itu dibangun di depan rumah kediaman Kepala Residen Cornelis Canne. Selain sebagai tanda peringatan satu abad kedudukan Belanda di Jawa, juga sebagai penanda berakhirnya kekuasaan dan hilangnya bayang-bayang Inggris terhadap Belanda.

2. Fungsi Tugu Ngejaman

Sejarah Tugu Ngejaman Malioboro, Penanda Kekuasaan BelandaIlustrasi Tugu Ngejaman di Malioboro (kebudayaan.kemdikbud.go.id)

Apabila diperhatikan, bentuk Tugu Ngejaman terdiri atas dua bagian, yakni alas yang berbentuk persegi dan jam yang berbentuk bundar di bagian atasnya. Bagian bawah memiliki tinggi sekitar 1,5 meter dan jam berukuran 45 cm.

Letak Tugu Ngejaman berada tepat di tengah-tengah jalan utama dan pusat Malioboro serta di selatan situs tersebut terdapat Keraton Yogyakarta. Hal ini memiliki tujuan penanda kuasa Belanda di Yogyakarta. Belanda juga ingin memamerkan bahwa mereka disokong dengan teknologi modern seperti jam, di mana waktu itu masih kental akan hal-hal mistis dan masih menggunakan alam sebagai penanda waktu.

Masih mengutip jurnal karya Heron (2022: 27), Tugu Ngejaman menggunakan sistem pegas yang harus diputar pada waktu tertentu. Meski begitu, jam tersebut terus mengalami perbaikan dan penyesuaian sehingga memiliki waktu yang akurat seperti saat ini.

Dentingan yang dihasilkan dari Tugu Ngejaman merupakan penanda waktu tertentu. Dulunya, suara dari tugu menjadi pemecah keriuhan dari orang-orang yang sedang berinteraksi di Pasar Beringharjo, tanda pergantian waktu dan tanda bahaya yang bisa didengar oleh tentara kolonial di Benteng Vrederburg sehingga bisa segera bersiap, sampai para residen di Gedung Agung.

Baca Juga: Mengenal Panggung Krapyak, Tempat Sri Sultan HB I Berburu Rusa

3. Tugu Ngejaman di masa kini

Sejarah Tugu Ngejaman Malioboro, Penanda Kekuasaan BelandaIlustrasi Tugu Ngejaman di Malioboro (kebudayaan.kemdikbud.go.id)

Keberadaan Tugu Ngejaman pada masa itu membawa banyak perubahan bagi kehidupan masyarakat sekitar. Sebut saja ketika mereka yang beragama Islam mengenal waktu lewat pertanda waktu salat seperti subuh, asar, sampai isya sedangkan yang beragama Kristen-Katolik menjadikan bunyi lonceng sebagai waktu tanda beribadah mereka.

Ketika ada jam dengan angka, kehidupan para pedagang di Pasar Beringharjo banyak berubah. Alur berjualan mereka jadi lebih jelas. Yang awalnya sekadar esuk, awan, sore, bengi, lantas berubah dengan penyebutan angka.

Sampai saat ini, Tugu Ngejaman masih bisa dilihat dan berfungsi dengan baik karena terpelihara. Selain itu, Tugu Ngejaman di Malioboro bukan satu-satunya tugu yang dibangun dalam rangka memperingati suatu momen, sebut saja Tugu Ngejaman Keben yang merupakan hadiah yang dipersembahkan paguyuban pegawai pemerintah dan masyarakat Tionghoa saat peringatan dua windu penobatan Sri Sultan Hamengku Buwono VIII.

Baca Juga: Sejarah Lapas Wirogunan di Tamansiswa, Berdiri Sejak Zaman Kolonial

Topik:

  • Paulus Risang

Berita Terkini Lainnya