TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

3 Kelenteng di Jogja dan Sejarahnya, Ada yang Berumur 142 tahun 

Ibadah Imlek di kelenteng tahun ini kembali normal 

Kelenteng Poncowinatan atau Kelenteng Kwan Tee Kiong adalah kelenteng tertua di Jogja yang dibangun oleh warga Tionghoa pada tahun 1881 Masehi.(IDNTimes/Febriana Sinta)

Kelenteng di Jogja mulai dibersihkan untuk menyambut perayaan Imlek. Di saat pencabutan PPKM, ibadah Imlek di kelenteng tahun ini akan kembali normal. 

Di Jogja, setidaknya terdapat tiga kelenteng yang sarat dengan sejarah, yaitu Kelenteng Poncowinatan, Fuk Ling Miau, dan Vihara Karangdjati. Berikut sejarah singkat tiga kelenteng di Jogja yang wajib kamu ketahui.

1. Kelenteng Gondomanan

kelenteng gondomanan (instagram.com/dwioblo)

Kelenteng Gondomanan pasti pernah kamu jumpai, berlokasi tak jauh dari Malioboro dan Taman Pintar. Tepatnya di perempatan Gondomanan. Sejatinya nama kelenteng ini adalah Kelenteng Fuk Ling Miau, tapi masyarakat lebih sering menyebutnya dengan Kelenteng Gondomanan, sesuai dengan lokasinya.

Mengutip dari laman Balai Pelestarian Cagar Budaya Daerah Istimewa Yogyakarta, makna Miau adalah kelenteng, Fuk berarti berkah, dan Ling artinya tak terhingga. Bisa disimpulkan kalau tempat beribadah ini menjadi tempat yang penuh berkah tak terhingga.

Dilihat dari arsitekturnya, Kelenteng Gondomanan mengusung konsep perpaduan Jawa-China. Hal ini bisa dilihat dari patung dewa yang digambarkan di dinding yang khas akan budaya China sementara bagian atapnya berukir sepasang naga langit dengan warna hijau dan kuning yang merupakan ciri arsitektur Jawa.

Siapa sangka, usia kelenteng sudah lebih dari 200 tahun dan merupakan Kelenteng Gondomanan yang termasuk sebagai Warisan Budaya Yogyakarta. Kelenteng ini juga merupakan hadiah dari Sri Sultan Hamengku Buwono II untuk seorang wanita yang merupakan permaisuri dari negara China.

Baca Juga: 9 Restoran Chinese Food di Jogja, Cocok untuk Rayakan Imlek

2. Vihara Karangdjati

vihara karangdjati (instagram.com/viharakarangdjati)

Berdiri sejak tahun 1962, Vihara Karangdjati tekenal sebagai tempat untuk mencari ketenangan dan kedamaian hati. Tempat ini selalu ramai oleh umat Buddha yang beribadah atau umat lintas iman lainnya yang ingin bermeditasi. Biasanya didominasi oleh anak muda.

Mengutip dari laman milik Vihara Karangdjati, sebelum menjadi vihara seperti saat ini, bangunan ini sudah ada sejak zaman kolonial yang merupakan kandang sapi perah yang menghasilkan susu murni. Dulu tempat ini berada diperkebunan tebu. 

Setelah masa peralihan kekuasaan dari Belanda ke pemerintah Indonesia, lahan tersebut jatuh ke tangan oleh Romo Among Pradjarto, tokoh yang disegani. Tahun 1958, Bhikkhu Jinaputta mengambil alih kandang sapi lantas dibersihkan dan ditata kembali dan dijadikan sebagai tempat untuk kegiatan keagamaan.

Bhikku Jinaputta lalu menjalankan vassa di Jogja, beliau tinggal di Cetiya Buddha Kirti yang dimiliki Tjan Tjoen Gie (Gunavarman Boediharjo) yang sewaktu itu sebagai satu-satunya tempat ibadah umat Buddha di Jogja. Atas saran dari Tjan Tjoen Gie dan Romo Among Pradjarto, Bhikku Jinaputta menempati lahan tersebut sebagai lokasi vassa. Lambat laun,  orang-orang kian mengenali tempat tersebut dan datang untuk melakukan diskusi soal agama Buddha.

Baca Juga: 10 Larangan Saat Rayakan Imlek, Dipercaya Bawa Nasib Buruk

Berita Terkini Lainnya