Pertandingan final Liga 2 PSIM vs Bhayangkara FC. (IDN Times/Larasati Rey)
Perasaan Marjono sempat campur aduk ketika PSIM gagal promosi pada 2003. Namun, kegagalan itu justru menjadi penyemangat untuk mewujudkan mimpi dua tahun kemudian. Ketika akhirnya membawa PSIM juara pada 2005, kebanggaannya pun berlipat.
“Merasa sangat bangga. Bisa menorehkan sejarah, bisa mengukir sejarah. Yang tidak lupa lagi, bisa membahagiakan masyarakat DIY,” ucapnya haru. Keberhasilan itu bukan hanya miliknya, tapi juga menjadi kebahagiaan bagi warga Jogja yang telah lama menanti momen tersebut.
Sebagai kapten, Marjono menyadari betul tanggung jawab yang ia emban. “Tentu saja itu menjadi tanggung jawab saya. Saya ditunjuk sebagai kapten itu adalah amanah,” ujarnya. Ia menjalani peran itu tanpa tekanan, dan berusaha menjadi jembatan antara pemain, pelatih, dan manajemen. “Tingkah laku kita itu adalah cerminan kita. Saya dijadikan panutan,” tambahnya.
Salah satu cara Marjono menjaga soliditas tim adalah dengan memastikan komunikasi berjalan baik. Ia terbuka terhadap keluhan dan masalah dari rekan-rekannya. “Tim itu kalau tidak banyak masalah, tim itu sehat, tim itu bagus,” katanya. Setiap keluhan disampaikan langsung ke pelatih, dan hubungannya dengan pelatih Sofyan Hadi pun berjalan erat. “Hubungan saya dengan pelatih sangat dekat sekali. Dan pelatih pun welcome dengan saya. Kita sering sharing,” ungkapnya.
Menurut Marjono, tantangan terbesar pada 2005 justru datang dari dalam tim itu sendiri. Ia harus menyatukan berbagai karakter pemain demi mencapai satu tujuan. “Seorang kapten itu harus menyatukan beberapa karakter. Kita harus mengikuti mereka. Kita harus welcome apa keluhannya mereka,” paparnya.
Dengan persiapan matang dan kepemimpinan pelatih Sofyan Hadi, rintangan demi rintangan akhirnya bisa dilewati. Bagi Marjono, kunci keberhasilan terletak pada tekad individu. “Tantangannya adalah diri sendiri, kita mau naik atau enggak. Saya berpikirnya seperti itu. Naik dan tidak itu tergantung pemain itu sendiri,” tegasnya.