5 Isi Pokok Perjanjian Giyanti yang Memecah Mataram Islam

Isi Perjanjian Giyanti justru banyak menguntungkan VOC

Buat sebagian besar warga Yogyakarta pasti sudah tak asing lagi dengan Perjanjian Giyanti. Mengutip Komar Faridi dalam Dinamika Kerajaan Mataram Islam Pasca Perjanjian Giyanti Tahun 1756-1830 (2017:1), Perjanjian Giyanti adalah kesepakatan antara VOC, pihak Mataram yang diwakili oleh Sunan Pakubuwana III, dan pihak pemberontak dari kelompok Pangeran Mangkubumi yang ditandatangani pada 13 Januari 1755. 

Perjanjian ini ditandatangani pada tanggal 13 Februari 1755 secara de facto dan de jure. Bukan sekadar perjanjian biasa, tapi jadi tanda hilangnya kerajaan Mataram Islam. Selain itu, isi Perjanjian Giyanti bukan hanya pemecahan wilayah, tapi ada banyak hal lain yang dampak besar dirasakan oleh rakyat Mataram Islam pada saat itu. 

Baca Juga: 6 Sejarah Tugu Jogja, dari Bentuk yang Berbeda hingga Makna Ornamen  

1. Terbaginya wilayah Mataram menjadi dua bagian

5 Isi Pokok Perjanjian Giyanti yang Memecah Mataram IslamKeraton Yogyakarta sekitar tahun 1939. (Dok. Leiden University Libraries/KITLV/Zindler)

Salah satu dampak besar dari perjanjian Giyanti adalah terbaginya dua wilayah Mataram Islam. Faridi (2017:1) menulis, wilayah Mataram terbagi atas dua, yaitu wilayah barat Kali Opak (wilayah asli) dan wilayah timur Kali Opak. 

Bagian timur Kali Opak dikuasai oleh pewaris takhta Mataram yaitu Sunan Pakubuwana III dan berkedudukan di Surakarta. Sementara wilayah bagian barat Kali Opak yang merupakan daerah Mataram yang asli, diserahkan kepada Pangeran Mangkubumi. Saat itu Pangeran Mangkubumi sekaligus diangkat menjadi Sultan Hamengkubuwana I yang berkedudukan di Yogyakarta. 

2. Melemahnya kekuasaan penguasa lokal

5 Isi Pokok Perjanjian Giyanti yang Memecah Mataram IslamPerjanjian Giyanti (Dok. Wikimedia Commons)

Sebelum adanya Perjanjian Giyanti, VOC sudah banyak ikut campur baik dalam perdagangan dan politik. Menurut Mubtadilah dalam Intervensi VOC dalam Suksesi di Istana Mataram (2015:19), VOC yang berpusat di Batavia menjadi sangat besar perannya di Kerajaan Mataram Islam.

VOC bertindak sebagai pelindung dan penjaga raja dari pihak-pihak yang ingin menggoyang kekuasaan raja. Raja yang mendapat bantuan dan jaminan dari VOC akan tetap bertahan. Walau begitu, hanya putra mahkota yang mendapat dukungan VOC yang dapat naik takhta.

Pasca-Perjanjian Giyanti, VOC kian sewenang-wenang. Dalam salah satu isi perjanjian tersebut dituliskan bahwa 'Sri Sultan tidak akan mengangkat atau memberhentikan Pepatih Dalem dan Bupati, sebelum mendapatkan persetujuan dari VOC.'

Baca Juga: 5 Alasan Yogyakarta Dijuluki Kota Pelajar, Bikin Kagum!

3. Pangeran Mangkubumi dan keturunannya harus sumpah setia kepada kumpeni

5 Isi Pokok Perjanjian Giyanti yang Memecah Mataram IslamPangeran Mangkubumi (Dok. Wikimedia Commons)

Mengutip Atmakusumah dalam buku Takhta untuk Rakyat (2011), Perjanjian Giyanti adalah kesepakatan dengan isi pokok 'membelah nagari' atau membagi Mataram dalam dua bagian yaitu Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta. Untuk pemimpin Kasultanan Surakarta bergelar Susuhunan Pakubuwana dan pemimpin Kasultanan Yogyakarta berjuluk Sultan Hamengkubuwana. 

Mubtadilah (2015:19) menulis, salah satu isi Perjanjian Giyanti yaitu Pangeran Mangkubumi berhak menjadi raja atas separuh wilayah Mataram dengan gelar Sultan, namun harus bersumpah setia kepada Kompeni beserta segenap keluarga dan keturunannya. Wilayah inilah yang kemudian diberi nama Kasultanan Yogyakarta. 

4. Sultan tidak berhak atas Madura dan wilayah Pesisir

5 Isi Pokok Perjanjian Giyanti yang Memecah Mataram Islampenari madura tempo dulu (wikimedia.org)

Tidak banyak yang tahu bahwa Madura pernah menjadi wilayah milik Raja Mataram. Mengutip laman disperpusip.jatimprov.go.id, Madura pada awalnya dikuasai oleh raja-raja lokal sampai akhirnya ditaklukkan oleh Raja Mataram, Sultan Agung pada tahun 1624. Karena penaklukan tersebut, Pulau Madura dipersatukan di bawah satu orang yang berasal dari garis kepangeranan Madura. 

Karena berada di bawah sebuah kerajaan lain membuat pangeran-pangeran Madura kurang leluasa dalam menjalankan sistem pemerintahan. Pertentangan antara kedua belah pihak pun tidak terelakkan. Tak tinggal diam, VOC pun turut andil bahkan menguasai Madura. 

Sampai akhirnya, salah satu isi Perjanjian Giyanti yang cukup merugikan yaitu Sultan tidak berhak meminta Madura atau pun daerah-daerah pesisir lain dulunya berada di bawah taklukan Raja Mataram dan telah dikuasai VOC. Sebagai gantinya, VOC akan memberikan kompensasi sebesar 10 ribu real tiap tahun.

5. Monopoli dagang oleh VOC

5 Isi Pokok Perjanjian Giyanti yang Memecah Mataram IslamKawasan Malioboro sekitar tahun 1930-an. (Dok. Leiden University Libraries/KITLV)

Bisa dibilang VOC adalah lintah yang dari adanya Perjanjian Giyanti ini, malah ia yang untung banyak. Selain Sultan dan keturunannya harus sumpah setia kepadanya, dalam isi perjanjian tersebut VOC meminta untuk diberi kekuasaan monopoli perdagangan. 

Hal ini bermaksud agar Sultan hanya menjual bahan pangan kepada VOC dengan harga yang disepakati. Selain itu  Sultan tetap harus menjalankan kesepakatan antara raja-raja Mataram sebelumnya dengan VOC. 

Dari isi besar Perjanjian Giyanti di atas kita bisa menarik garis lurus, siapa yang paling diuntungkan dari terpecahnya Kerajaan Mataram Islam ini, tentu saja kompeni 'kan? Namun dari perjanjian ini juga kita bisa belajar kalau akan selalu ada pihak ketiga yang memanfaatkan situasi pertikaian apa pun dan jangan sampai kekuasaan justru merusak kekeluargaan. Setuju?

Baca Juga: Sejarah Jalan Malioboro, Ikon Yogyakarta yang Punya Makna Mendalam

Dyar Ayu Photo Community Writer Dyar Ayu

Jalan-jalan mencari penyu Alabiyu~

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Paulus Risang

Berita Terkini Lainnya