Cerita Ramadan: Mudik Tak Lagi Sama Usai Kepergian Bapak

Masa depan akan selalu menjadi misteri

Saya terlahir sebagai nonmuslim. Namun, sejak kecil, momen Ramadan dan Idul Fitri menjadi bagian tak terpisahkan dalam kehidupan saya. Ini sedikit cerita Ramadan yang membekas di benak saya.

Saya menghabiskan masa kecil di Bandung, Jawa Barat. Sebagai orang Jawa yang merantau ke Tanah Sunda, setiap tahun orangtua saya memanfaatkan momen Lebaran untuk mudik ke Purworejo—sebuah kota yang berada di Jawa Tengah, asal ibu saya, sekaligus tempat kelahiran saya. Bagi ibu saya, Lebaran adalah momen yang penting untuk berkumpul, mengingat orangtua dan saudara-saudaranya adalah muslim.

Kami biasa menaiki kereta api untuk pulang kampung. Sampai di tujuan subuh-subuh, dari stasiun kami cukup berjalan kaki menuju rumah Eyang. Masih terekam di benak saya, suatu kali saya pernah terserempet becak ketika menyeberang jalan dari stasiun. Kala itu penerangan minim, becak pun gak ada lampunya. Alhasil, tubuh kecil saya pun lecet dan memar.

Ibu adalah anak keempat dari 10 bersaudara. Tidak semua saudaranya bertahan hidup hingga usia dewasa, namun tetap saja rumah Eyang selalu ramai setiap saya ke sana. Setidaknya, ada belasan anak-cucu Eyang yang mudik dan menginap di rumah nan luas itu. Ada yang datang dari Jakarta dan kota lainnya. Kami tidur beramai-ramai di kamar-kamar yang besar, bermain bersama, dan sesekali mengabadikan momen-momen itu ke dalam selembar foto.

Tradisi keluarga yang paling berkesan pada momen Lebaran di sana adalah sungkem dengan Eyang Kakung. Anak-cucunya akan berbaris dari yang paling tua, kemudian bersimpuh dan saling bermaaf-maafan. Anak-anak juga sungkem pada orangtuanya masing-masing. Setelah itu, biasanya ada pembagian angpau Lebaran. Kami yang anak-anak sangat antusias menghitungnya, dan membayangkan akan digunakan untuk apa uangnya.

Namun, tradisi sungkem itu berakhir setelah Eyang berpulang pada saat saya duduk di bangku SMP. Eyang saat itu memang sudah sakit lama akibat stroke. Tradisi kumpul anak-cucu Eyang masih bertahan sampai sekarang, meski suasananya memang tak lagi sama, karena cucu-cucunya juga sudah dewasa dan memiliki kesibukan masing-masing, sehingga gak selalu bisa hadir untuk bersilaturahmi. 

---

Momen mudik jadi sedikit berbeda setelah saya dewasa. Kedua orangtua saya memutuskan membangun rumah dan tinggal di Purworejo. Sementara, setelah bekerja dan menjadi mualaf, saya menetap di Yogyakarta. Jarak yang dekat membuat kesempatan untuk pulang menjadi makin lancar. Lebaran maupun Natalan menjadi momen untuk mudik membawa anak dan istri. Tidak ada tradisi sungkem, hanya melepas rindu dan berbagi cerita, sembari membawakan parsel dan menikmati camilan Lebaran.

Namun, ada yang berbeda pada Ramadan tahun ini. Pada Jumat, 15 Maret 2024 atau hari ke-5 Ramadan, Bapak wafat. Saya terhenyak ketika membaca pesan singkat dari Ibu di pagi hari, "Mas, bapak nembe meninggal (Bapak baru saja meninggal)." 

Kami pun bergegas mengemasi baju ganti dan meluncur ke Purworejo. Sepanjang perjalanan, saya tidak banyak bicara. Tenda dan kursi sudah terpasang ketika kami sampai di rumah duka. Jenazah Bapak sudah terbaring di dalam peti. Tetangga dan kerabat mulai berdatangan. Saya sibuk menyambut mereka.

Setelah dilakukan Misa Rekuiem secara Katolik, hari itu jenazah Bapak langsung dikebumikan. Semenjak menjalankan puasa Ramadan dari 2016, hari itu terasa menjadi puasa yang paling panjang bagi saya. Meski saya dan orangtua menganut keyakinan yang berbeda, sosok Bapak yang sudah tiada membuat Ramadan saya tak akan pernah lagi sama. 

Kepergian Bapak yang mendadak membuat saya merenungkan bahwa usia sesungguhnya adalah rahasia Allah. Kita tentu berharap, bahkan sudah membayangkan, jika tahun depan akan bertemu kembali dengan Ramadan, merayakan Lebaran bersama orang-orang tersayang, menjalankan tradisi yang sudah berlangsung bertahun-tahun.

Namun, masa depan akan selalu menjadi misteri. Yang bisa kita lakukan adalah memanfaatkan waktu yang ada dengan sebaik-baiknya untuk orang-orang yang kita sayangi. Wallahualam.

Baca Juga: Mengisi Buku Kegiatan Ramadan, Bermain di Kompleks Candi Prambanan

Topik:

  • Paulus Risang

Berita Terkini Lainnya