Tuai Kritikan dari Komunitas, Apakah Valorant Bakal Tamat?

- Valorant, game FPS taktis ala Counter-Strike dan Overwatch, menghadapi kritik dari komunitasnya sendiri terkait sistem monetisasi yang dianggap eksploitatif.
- Komunitas mengeluhkan harga skin yang tinggi, reward yang tak sebanding, agent lock yang mempersulit pemain baru, serta pergeseran budaya komunitas ke arah toxic.
- Realitas 2025 menunjukkan penurunan viewership VCT, skandal match-fixing, dan sulitnya akses bagi tim tier 2 dan 3 dalam skena kompetitif Valorant.
Tepat pada 2 Juni 2020, atau lima tahun lalu, Valorant hadir seperti badai di dunia esports dan FPS kompetitif. Mengusung gameplay taktis ala Counter-Strike dengan sentuhan karakteristik ala Overwatch, game ini langsung menjadi fenomena global. Riot Games dianggap sukses menciptakan alternatif baru dalam genre shooter, bahkan mendobrak dominasi CS:GO dalam ranah esports.
Seiring berjalannya waktu, seperti halnya semua game kompetitif, kini Valorant diuji, bukan oleh lawan eksternal atau kompetitor, tapi oleh fondasi internalnya sendiri. Apakah Valorant mampu bertahan?
1. Antara janji dan kenyataan: evolusi yang gagal menjawab ekspektasi

Di awal perilisannya, Riot menjanjikan game yang adil, kompetitif, dan dirancang bersama komunitas. Tapi seiring waktu, janji itu mulai terdengar kosong. Pemain lama seperti UlerSakti, content creator YouTube yang dikenal komunitas Valorant Indonesia, justru kembali ke game ini setelah lama vakum hanya untuk merasa terasing di game yang pernah ia cintai.
Dalam videonya yang viral di komunitas Valorant, ia tidak hanya sekadar bernostalgia. Ia membedah secara kritis banyak hal yang kini dianggap sebagai akar masalah Valorant: dari harga skin yang tak masuk akal, reward yang tak sebanding, hingga sistem agent lock yang mempersulit pemain baru dan pemain yang kembali. Hal ini mengindikasikan bahwa Valorant telah bertransformasi dari game komunitas menjadi produk kapital—bukan lagi soal gameplay, tapi revenue per user.
2. Monetisasi predator: ketika uang menjadi meta

Model free-to-play memang menuntut monetisasi yang cerdas. Tapi Valorant diduga telah menyentuh titik ekstrem. Skin bundle seperti "VCT Champions" bisa dihargai hingga 1 juta rupiah per set, tanpa opsi pembelian individual. Belum lagi event pass yang minim hadiah menarik, dan battle pass yang stagnan dalam struktur reward.
Riot juga tidak menyediakan fitur fundamental seperti sistem trade-in skin atau diskon loyalitas, yang kini menjadi standar di game lain. Bahkan akses agent baru masih di-lock di balik grind atau microtransaction, mempersulit balancing di level kompetitif. Model seperti ini membuat Valorant tampak seperti ladang eksploitasi emosional: jual prestige, bukan pengalaman.
3. Komunitas: dari kompetitif jadi toxic

Kritik berikutnya datang dari aspek komunitas. Banyak pemain mengeluhkan bagaimana ranked saat ini tidak lagi mencerminkan skill atau progresi, melainkan dipenuhi smurf, joki, akun sewaan, bahkan cheater.
UlerSakti dengan lantang menyebut bahwa budaya kompetitif telah digantikan oleh budaya eksploitasi. Ranked kehilangan makna karena tidak memberi reward signifikan, sementara sistem report tidak efektif. Ironisnya, Riot seperti lebih sibuk memantau bahasa chat ketimbang menindak pelanggaran sistemik. Lebih dalam lagi, terdapat pergeseran budaya komunitas. Awalnya dibangun atas semangat tryhard sehat dan kolaboratif, kini Valorant lebih sering jadi tempat frustrasi kolektif yang berujung toxic.
4. Esports yang kehilangan identitas

Valorant pernah digadang-gadang sebagai masa depan esports FPS. Tapi realita 2025 berkata lain. Viewership VCT turun tajam, skandal match-fixing bermunculan di berbagai region, dan Riot dikritik karena terus menjalin kerja sama dengan platform yang tidak transparan.
Tanpa ekosistem grassroots yang kuat, skena kompetitif Valorant menjadi eksklusif dan sulit diakses. Banyak tim tier 2 dan 3 gulung tikar, sementara beberapa player veteran angkat kaki ke game lain. Bagi komunitas, ini adalah sinyal bahwa Riot gagal membina ekosistem berkelanjutan. Hanya fokus pada panggung besar, tapi lupa membangun fondasi di bawahnya.
5. Realita yang tak terucap: apakah Valorant bakal tamat?

Secara teknis, jawabannya tidak dalam waktu dekat. Dengan backing Riot, player base besar, dan IP kuat, Valorant tidak akan ditutup seperti game kecil lainnya. Tapi “tamat” tidak harus berarti ditutup.
Game bisa “tamat” ketika:
- Pemain loyal kehilangan kepercayaan
- Komunitas kehilangan semangat
- Kreator berhenti membuat konten
- Pro scene kehilangan arah
Semua indikator ini sudah mulai terlihat di Valorant saat ini. Bahkan UlerSakti sendiri menyatakan ia tidak akan kembali dalam waktu dekat untuk membuat konten Valorant sampai Riot membuktikan perubahan nyata.
6. Apa yang bisa dilakukan Riot?

Riot masih bisa menyelamatkan game ini. Tapi untuk itu, mereka harus berhenti memposisikan Valorant sebagai alat monetisasi dan mulai memperlakukannya lagi sebagai produk komunitas.
Langkah yang bisa diambil antara lain:
- Perbaiki sistem reward dan monetisasi
- Hadirkan roadmap konten yang transparan
- Aktif tanggapi feedback komunitas
- Perbaiki sistem anti-cheat dan ranking
- Bangun ulang fondasi ekosistem esports dari bawah
Jika tidak? Maka mungkin nasib Valorant akan seperti banyak game shooter sebelumnya: besar karena hype, hilang karena lupa pada akar.
Valorant masih bisa bertahan. Tapi pertanyaannya kini bukan apakah bisa bertahan. Melainkan, apa yang akan tersisa ketika hanya monetisasi yang dijaga dan komunitas dibiarkan mati? Seperti banyak game lain sebelumnya, game tidak mati karena kekurangan pemain tapi karena kehilangan makna.