Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
IDN Ecosystem
IDN Signature Events
For
You

Perusahaan Rentan Ancaman, RI Butuh Kampus Spesialis Keamanan Siber

RI butuh kampus spesialis keamanan siber. (Dok. PLAI BMD)
RI butuh kampus spesialis keamanan siber. (Dok. PLAI BMD)
Intinya sih...
  • 89% perusahaan di Indonesia rentan terhadap serangan siber, hanya 11% yang siap menghadapi ancaman keamanan siber menurut Cybersecurity Readiness Index Cisco.
  • AI meningkatkan tingkat ancaman siber, dengan 91% organisasi mengalami insiden keamanan yang berhubungan dengan AI dan 61% dihambat oleh framework keamanan kompleks.
  • Ketua Umum ADITIF mendorong lahirnya lebih banyak talenta digital dalam keamanan siber, sedangkan Direktur PLAI BMD menyebut perlunya perguruan tinggi dalam meningkatkan kualitas para talenta dan profesional di bidang AI.

Sleman, IDN Times - Cybersecurity Readiness Index yang dirilis baru-baru ini oleh Cisco mengungkap mayoritas perusahaan swasta di Indonesia ternyata belum siap menghadapi serangan siber di tengah masifnya disrupsi kecerdasan buatan (AI) belakangan ini.

Cisco, sebuah perusahaan teknologi global, menyebut cuma 11 persen korporasi di Tanah Air yang memiliki kesiapan menghadapi ancaman keamanan siber. Maka dari itu, masih dibutuhkan lebih banyak talenta-talenta digital untuk memperkuat benteng keamanan siber.

1. AI merevolusi menaikkan tingkat ancaman siber

ilustrasi Artificial Intelligence (Unsplash.com/Growtika)

Temuan Cisco mengartikan 89 persen perusahaan rentan mengalami serangan siber yang mengancam keamanan basis data dan aktivitas digital organisasi.

Sementara AI juga telah merevolusi keamanan siber dan menaikkan tingkat ancaman, dengan 9 dari 10 organisasi atau 91 persen mengalami insiden keamanan yang berhubungan dengan inteligensi buatan tahun lalu.

Sedangkan dari 61 persen organisasi yang menghadapi serangan siber justru dihambat oleh framework keamanan yang kompleks dengan solusi sistem yang tidak terintegrasi (disparate point solution).

Dari perusahaan-perusahaan tersebut, cuma 68 persen responden yang percaya bahwa tim mereka memahami ancaman terkait AI. Perusahaan yang yakin bahwa tim mereka memahami cara pelaku kejahatan menggunakan AI untuk meluncurkan serangan siber hanya berkisar 65 persen.

2. Jasa keamanan siber butuh biaya sangat besar

Ketua Umum Asosiasi Digital Kreatif (ADITIF) Saga Iqranegara (Dok. PLAI BMD)
Ketua Umum Asosiasi Digital Kreatif (ADITIF) Saga Iqranegara (Dok. PLAI BMD)

Menanggapi Cisco ini, Ketua Umum Asosiasi Digital Kreatif (ADITIF), Saga Iqranegara, menerangkan bahwa pandemi COVID-19 telah mendorong perusahaan untuk melakukan transformasi digital. Kendati, menurut dia, tidak banyak perusahaan yang memperhatikan keamanan sistem dan data mereka.

"Biasanya perusahaan baru memanggil ahli keamanan siber saat sudah terjadi masalah, semestinya itu bisa dicegah sejak awal," kata Saga dalam keterangannya yang diterima, Minggu (1/6/2025).

Saga melihat jasa keamanan siber memang membutuhkan biaya sangat besar dan ini membuat tidak banyak perusahaan yang mampu menyiapkan dan menjaga keamanan sibernya.

"Namun risiko atas kondisi ini membuat kerugian perusahaan  akan jauh lebih besar," kata Saga yang aktif berkecimpung di industri digital itu.

Oleh karenanya, Saga mendorong lahirnya lebih banyak talenta digital yang memiliki kualifikasi dalam menghadapi ancaman di dunia digital. "Indonesia membutuhkan lebih banyak lulusan keamanan siber yang tersertifikasi," tandasnya.

3. Perlu lebih banyak kampus lahirkan profesional di bidang AI

Direktur Politeknik AI Budi Mulia Dua (PLAI BMD), Ridho Rahmadi
Direktur Politeknik AI Budi Mulia Dua (PLAI BMD), Ridho Rahmadi

Terpisah, Direktur Politeknik AI Budi Mulia Dua (PLAI BMD), Ridho Rahmadi, menegaskan perlunya perguruan tinggi dalam meningkatkan kuantitas dan kualitas para talenta dan profesional di bidang AI, utamanya yang menguasai keamanan siber.

"Apalagi pada 2030, Indonesia diperkirakan membutuhkan 9 juta talenta digital yang artinya bisa sekian kali lipat jika diproyeksikan pada kebutuhan talenta AI dengan kepakaran lebih spesifik di dalam spektrum digitalisasi, seperti untuk menjaga keamanan siber," ujar doktor di bidang data science and machine learning Universitas Radboud, Belanda ini.

Menurut Ridho, penguatan keamanan dunia siber memerlukan talenta-talenta digital yang dibekali keterampilan teknis dan telah belajar langsung tentang cyber security dari dunia industri. Kualifikasi ini diterapkan di PLAI BMD yang berdiri pada April 2025 dan berbasis di Sleman, DI Yogyakarta, sebagai kampus AI pertama di Indonesia.

"PLAI BMD menawarkan tiga program studi unggulan, salah satunya adalah Rekayasa Keamanan Siber yang diperkuat pengajar profesional dan praktisi andal. Kurikulumnya terdiri dari 70 persen praktik dan 30 persen teori, serta bekerja sama dengan 13 mitra industri," kata Ridho.

"Jadi ketika lulus mahasiswa siap menghadapi ancaman dunia siber yang sesungguhnya," kata Ridho yang juga menyandang gelar master di bidang AI dari dua kampus Eropa, yakni Universitas Johannes Keppler Linz dan Universitas Teknik Ceko.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Paulus Risang
EditorPaulus Risang
Follow Us