Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
IDN Ecosystem
IDN Signature Events
For
You

Cerita Lebaran: Takbir di Jogja, Kadang Tak Cuma Semalam Menggema

Ilustrasi takbiran keliling disemarakkan dengan pawai obor. (ANTARA FOTO/Sakti Karuru)

Apa pengalaman malam takbiran yang paling berkesan untukmu? 

Saya lahir dan besar sebagai seorang nasrani, sehingga kenangan malam takbiran tak pernah hinggap dalam memori saya di masa kecil. Namun, Idul Fitri tetap kami rayakan dengan suka cita, karena itu juga menjadi momen kami bersilaturahmi dengan keluarga besar.

Sejak saya bayi, kedua orangtua saya sudah memboyong saya merantau ke Bandung, Jawa Barat. Bapak saya orang Jogja, sementara Ibu berasal dari Purworejo, Jawa Tengah. Selama kurang lebih 13 tahun tinggal di Bandung, setiap tahun kami mudik dengan kereta api.

Purworejo menjadi tujuan kami sekeluarga pulang kampung, alasannya tak lain karena keluarga besar Ibu beragama Islam. Setiap momen Lebaran, rumah orangtua ibu saya, yang saya panggil sebagai Yangkung (Eyang Kakung) dan Yangti (Eyang Putri), selalu riuh dengan suara anak-anak. Maklum, Yangkung dan Yangti memiliki 8 orang anak dan belasan cucu, yang hampir semuanya selalu mudik saat Lebaran. 

Kenangan yang paling menggugah saya saat itu, tentu saja tradisi sungkeman kepada Yangkung, Yangti, dan orangtua kami masing-masing. Soalnya, setelahnya kami akan menerima angpau Lebaran yang banyak jumlahnya dari orangtua serta paman bibi yang datang.

Kembali ke soal takbiran, tahun demi tahun mudik ke Purworejo, saya tidak memiliki ingatan mengikuti takbir keliling di sana. Entah karena memang bukan tradisinya atau saya yang gak ikut, saya tidak tahu. Namun, kali pertama saya mengikuti takbir keliling justru terjadi setelah saya dewasa, menikah, dan punya anak.

Saya memutuskan memeluk agama Islam sekitar 8 tahun lalu. Setahun berikutnya, saya menikah dengan perempuan asal Bantul yang kini menjadi ibu dari anak saya. Sejak itulah, pola mudik saya jelang Idul Fitri berubah.

Sejak H-1 Lebaran, keluarga kecil saya sudah bersiap-siap di rumah mertua saya di Bantul bagian selatan. Malamnya, kami mengikuti takbir keliling yang digelar oleh kelompok pemuda setempat. Kami berjalan kaki mengelilingi kampung. Anak-anak kecil membawa obor hingga lentera warna-warni yang membuat suasana semakin semarak. Saat melintasi tepi jalan besar, tak jarang kami berpapasan dengan warga dari kampung sebelah.

"Allahu akbar, Allahu akbar, Allahu akbar. La ilaha illallahu wallahu akbar. Allahu akbar wa lillahil hamdu," begitulah gema takbir bersahut-sahutan. Beberapa orang juga menyulut kembang api ke udara, menambah meriah suasana.

Pengalaman takbiran yang tak terlupakan

Nah, salah satu pengalaman takbiran Idul Fitri yang seru bagi saya terjadi sekitar 2 tahun lalu.

Saat itu, Muhammadiyah menetapkan 1 Syawal 1444 H atau Hari Raya Idul Fitri 2023 jatuh pada Jumat, 21 April. Keputusan tersebut sesuai dengan hisab awal bulan Ramadan, Syawal, dan Zulhijah 1444 H, yang dilakukan oleh Majelis Tarjih dan Jadid Pengurus Pusat (PP) Muhammadiyah. Sementara, putusan 1 Syawal 1444 H versi pemerintah berselang sehari setelahnya, atau pada Sabtu, 22 April 2023. 

Karena kami berada di lingkungan Muhammadiyah, maka takbiran tahun itu dilaksanakan pada Kamis malam, 20 April 2023. Saya menemani anak dan istri mengikuti takbir keliling.

Pagi harinya, 21 April, kami mengikuti salat id di salah satu lapangan di wilayah Pandak, Bantul, bersama ratusan jemaah lainnya. Seusai salat id, kami saling bermaaf-maafan dengan keluarga besar. Tak lupa, tentu saja menikmati opor dan ketupat Lebaran yang sudah terhidang.

Kami memutuskan untuk pulang sore harinya, karena masih ada acara yang menanti kami esok. Namun, saat itu saya sama sekali tidak menyangka jika sepanjang jalan kami akan kembali menjumpai rombongan takbir keliling. Suasananya tak kalah semarak dengan malam sebelumnya. Bahkan, tak cuma satu, ada beberapa rombongan takbir keliling yang turun ke jalan. 

Bagi saya, ini adalah pengalaman yang tak terduga sekaligus berkesan. Pasalnya, tahun-tahun berikutnya, termasuk tahun ini, Muhammadiyah dan pemerintah selalu kompak dalam menentukan 1 Syawal. 

Merenungi hal itu, menurut saya perbedaan semacam ini bukanlah hal yang perlu diperdebatkan, apalagi diributkan. Sebab, hanya Allah yang mengetahui kebenaran sejati. Kita, manusia, mempunyai cara pandang masing-masing dalam menangkap citra kebenaran dari-Nya.

Perbedaan ini justru menjadi hal yang mengesankan sekaligus indah. Lagipula, kapan lagi bisa takbiran dua kali, kan? 

Tabik.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Paulus Risang
EditorPaulus Risang
Follow Us