Kopi dalam Tantangan Hulu ke Hilir dan Ancaman Perubahan Iklim

Konsumsi makin tinggi, akankah kopi lenyap dari muka bumi?

Intinya Sih...

  • Kepadatan kafe di Yogyakarta meningkat dengan 271 kafe di area seluas 18,5 km persegi.
  • Produksi kopi Indonesia mengalami penurunan, termasuk luas lahan perkebunan dan produktivitasnya.
  • Perubahan iklim menjadi ancaman serius bagi produksi kopi.

Yogyakarta, IDN Times - Mengibaratkan maraknya kedai kopi atau kafe di wilayah urban Yogyakarta dengan "bak cendawan di musim hujan” adalah penyederhanaan yang terlalu gampang. Ketika diperhatikan dengan lebih seksama, ramainya kafe di Kota Pelajar jauh melebihi ekspektasi.

Contohnya, di Jalan Raya Seturan, Sleman. Di sisi jalan sepanjang 1,5 kilometer ini terdapat kurang lebih 25 kafe, atau setiap 60 meter ada satu kafe, yang menyajikan beragam jenis minuman kopi. Berjalan lebih jauh ke Jalan Babarsari, kepadatannya menjadi 1 kafe per 57 meter. Bayangkan, seseorang bisa membeli segelas es kopi susu di satu kafe, lalu berjalan 75 langkah, dan menenggak secangkir espresso di kafe lain.

Seturan dan Babarsari merupakan kawasan yang dijejali kampus dan hunian mahasiswa. Sering dijuluki sebagai “SCBD” versi Jogja alias singkatan dari Seturan, Condongcatur, Babarsari, Depok. Di kawasan seluas kurang lebih 18,5 km persegi tersebut, kami mencatat kurang lebih 271 kafe dengan kepadatan 14,7 kafe per kilometer persegi.

Seperti yang kita tahu, kopi bukan suguhan untuk mahasiswa semata. Persebaran kafe di Yogyakarta juga menumpuk di kawasan wisata seperti di Prawirotaman, Malioboro dan Kotabaru di pusat kota. Di kawasan Jetis di selatan, hingga Kaliurang di utara.

Komunitas Kopi Nusantara pernah mencatat, di 2019, ada sebanyak 2.387 kafe di Yogyakarta. Penghitungan terakhir per Agustus 2022, jumlah kedai kopi menyusut menjadi 2.091 lantaran pandemik COVID-19. Kedua angka tersebut belum termasuk angkringan yang juga menyajikan kopi tubruk dan sachet di sudut-sudut kampung.

“Jumlahnya bisa mencapai 7 ribuan,” kata Wisnu Birowo, Ketua Komunitas Kopi Nusantara (16/11/2023).

Seiring dengan citra cerah industri kafe di Yogyakarta, jika digali lebih dalam, masa depan kopi bisa berubah suram dalam waktu dekat.

Produksi kopi menurun tapi konsumsi selalu meningkat

Kopi dalam Tantangan Hulu ke Hilir dan Ancaman Perubahan IklimSuasana kafe di pusat perbelanjaan di Yogyakarta (IDN Times/Yogie Fadila)

Sore itu pada pertengahan November 2023, IDN Times bertandang ke kawasan Prawirotaman. Masuk dari arah timur Jalan Gerilya sejauh 100 meter dan melewati tiga kafe, kamu akan menemukan Sellie Coffee. Kafe ini terkenal karena pernah dijadikan lokasi pengambilan gambar untuk film Ada Apa Dengan Cinta 2 (2016).

Setelah bicara panjang lebar soal maraknya kafe di Yogyakarta, Andri, Sekretaris Komunitas Kopi Nusantara, dengan serius mengemukakan kekhawatirannya. Tren konsumsi kopi terus meningkat, sementara pasokan kopi terus menurun.

“Kita sih mau agak gila-gilaan bikin campaign kurangi ngopinya. Maksudnya, kopinya agak diirit-irit. Direm-rem gitu. Misalnya, kopi hari ini cukup 2 gelas sehari.”

Lho, kok… Ada apa dengan kopi?

Badan Pusat Statistik (BPS), melalui publikasi Statistik Kopi Indonesia 2022 (edisi November 2023), mencatat penurunan produksi kopi sebesar 1,43 persen pada 2022 dibanding tahun sebelumnya.

Secara umum, perkebunan kopi di Indonesia dapat dibedakan menjadi dua kategori, yaitu Perkebunan Rakyat (PR) dan Perkebunan Besar (PB), yang terdiri dari Perkebunan Besar Negara (PBN) dan Perkebunan Besar Swasta (PBS).

Selama tiga tahun terakhir, luas lahan perkebunan kopi milik perusahaan besar mengalami penurunan, seiring dengan alih fungsi lahan. Luas lahan perkebunan negara turun sebesar 3,79 persen pada tahun 2021 dan 12,99 persen pada tahun 2022. Demikian pula, luas lahan perusahaan swasta turun sebesar 10,14 persen pada tahun 2021 dan 5,56 persen pada tahun 2022.

Penurunan luas lahan juga terjadi pada perkebunan rakyat sebesar 0,91 persen atau 11.439 hektare pada tahun 2022 dibandingkan tahun sebelumnya, menurut data Direktorat Jenderal Perkebunan, Kementerian Pertanian. Areal kopi perkebunan rakyat di Indonesia mengalami penurunan dari 1,257 juta hektare pada tahun 2021 menjadi 1,246 juta hektare pada tahun 2022.

Pada 2021, total areal perkebunan kopi di seluruh Indonesia seluas 1.279.570 hektare turun menjadi 1.265.930 atau tergerus 1,06 persen di tahun berikutnya. Parahnya, dari 1,265 juta hektare tersebut hanya 953.536 hektare atau 75,3 persen yang berstatus Tanaman Menghasilkan (TM). Sisanya, 15,1 persen Tanaman Belum Menghasilkan (TBM) dan 9,5 persen Tanaman Tidak Menghasilkan/Tua/Rusak (TTM).

Menurut Andri, salah satu permasalahan kopi di Indonesia terletak di sisi hulu, ”Karena satu, tidak ada kepercayaan [dari Pemerintah]. Dua, tidak ada usaha apapun yang mendukung untuk peremajaan. Rejuvenasi perkembangan kopi di Indonesia sangat lambat dengan tingkat laju pertumbuhan konsumsi yang makin tinggi.

“Hanya dua itu persoalannya dan bagaimana cara menyelesaikannya? Ya gampang, tanam ulang. Tapi kan gak dilakukan. Bahkan solusinya sudah ada, tetapi tidak dilakukan,” kata dia.

Produktivitas perkebunan kopi Indonesia memang tergolong rendah, yakni 813 kg per hektare, jika dibanding negara produsen kopi lain seperti Vietnam (2.615 kg per ha) dan Brasil (1.702 kg per ha).

Lesunya produksi di sektor hulu ini dikhawatirkan tidak bisa mengimbangi pesatnya laju konsumsi kopi di sisi hilir. Berdasarkan data International Coffee Organization (ICO), konsumsi kopi di Indonesia mengalami pertumbuhan stabil dari tahun ke tahun. Dalam periode 2011-2021 saja, pertumbuhan rata-rata tahunan konsumsi kopi mencapai 4,19 persen. Sementara, di periode yang sama, laju pertumbuhan produksi kopi Indonesia hanya 1,85 persen.

Data terbaru 2022/2023, ICO melaporkan pertumbuhan produksi kopi Indonesia sebesar 2,4 persen dari tahun sebelumnya. Pertumbuhan konsumsinya? 18,2 persen!

Jika data historis ini belum cukup bikin deg-degan, simak estimasi Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian Sekretariat Jenderal - Kementerian Pertanian. Kementan memperkirakan pertumbuhan produksi kopi dari tahun 2022 hingga 2026 akan merosot, dengan penurunan rata-rata sekitar 0,12 persen per tahun.

Ancaman perubahan iklim kian nyata

Kopi dalam Tantangan Hulu ke Hilir dan Ancaman Perubahan IklimPekerja mengangkat biji kopi arabika Gayo yang dijemur (ANTARA FOTO/Khalis Surry)

Areal kebun yang berkurang dan tanaman yang sudah tidak produktif. Dua masalah klasik yang mengancam keberadaan cita rasa kopi lokal di cafe kesayanganmu. Akan tetapi, ada ancaman yang tak kalah mengerikan. Ancaman ini tak lain dan tak bukan ialah perubahan iklim.

Sebuah kajian dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN)* telah mengungkapkan bahwa salah satu dampak signifikan dari perubahan iklim di Indonesia adalah perpanjangan durasi musim hujan. Menurut laporan ini, musim hujan di Indonesia bagian selatan dapat berlangsung hingga 49 hari.

Kopi, sebagai tanaman yang tumbuh subur di wilayah Indonesia, tidak hanya memerlukan perhatian terhadap faktor-faktor seperti kondisi tempat tumbuh, pengawasan biji kopi hingga panen, dan pemberian pupuk sesuai ketentuan. Faktor cuaca, khususnya curah hujan, juga memainkan peran kunci dalam pertumbuhan tanaman kopi (Tantika, HN, 2018).

Misal kopi robusta, yang mendominasi produksi kopi Indonesia sebanyak 73 persen. Lingkungan tumbuh yang ideal untuk kopi robusta mencakup suhu udara rata-rata antara 23 hingga 26°C, dengan curah hujan mencapai 2.000 mm yang terdistribusi selama 9-10 bulan.

Kopi robusta dapat tumbuh optimal pada ketinggian 0 hingga 800 meter di atas permukaan laut. Di luar habitat alaminya, kopi robusta dapat berkembang baik pada daerah dengan suhu tahunan rata-rata 22-26°C. Faktor-faktor seperti suhu optimal, curah hujan 2.000-2.500 mm per tahun, dan musim kemarau 2-3 bulan menjadi penentu pertumbuhan yang baik (Djaenudin dkk, 2003).

Kondisi cuaca yang semakin tidak menentu, seperti hujan ekstrem yang terjadi di musim kemarau, menjadi pemicu ancaman serius bagi industri kopi. Hujan di luar musim dapat menyebabkan kegagalan berbunga pada sebagian tanaman kopi, mengakibatkan penurunan drastis dalam angka produksi.

“Selain hujan membuat hasil kurang bagus, pasti nanti kompleksitas rasanya kurang, cita rasanya tidak maksimal. Hujan itu merontokkan bunga kopi. Nah, bakal si kopi ini kan dari bunga, jadi kalau ada angin yang kencang, kemudian hujan yang lebat, itu otomatis nanti yang bakal menjadi buah ini kemudian akan berkurang,” kata Renggo Darsono, pemilik kafe Dongeng Kopi yang memperoleh biji kopinya dari petani lokal Indonesia.

Imbas anomali cuaca, seperti hujan terus-menerus di musim kemarau, dirasakan langsung oleh petani kopi di Temanggung seperti yang terungkap dalam laporan kolaborasi Greenpeace dan Iklimku.org**. Para petani yang tergabung di kolektif Lady Farmer Coffee mengatakan hujan yang terus-menerus menyebabkan gugurnya bunga dan munculnya hama, seperti karat daun. Salah seorang petani menyebut biji kopinya rusak akibat busuk buah kopi.

Produksi mereka turun drastis. Dalam kondisi normal tanaman kopi akan mulai berbunga pada akhir Februari atau awal Maret, saat hujan sudah mulai reda menuju ke kemarau. Waktu itu, petani Lady farmer Kopi bisa memanen hingga 11 ton kopi. Namun, memasuki tahun 2021 ketika terjadi perubahan cuaca, hasil produksi hanya mencapai 1,2 ton saja.

Kondisi ini diperkirakan akan berlanjut hingga beberapa waktu ke depan. Departemen Pertanian AS (USDA)*** mencatat produksi kopi dari Indonesia menurun pada tahun pemasaran 2023/2024. Tahun pemasaran kopi Indonesia dimulai pada April hingga Maret di tahun berikutnya, berbeda dengan Vietnam (Oktober–September) dan Brasil (Juli–Juni).

Hujan yang berlebihan selama masa kembang buah kopi menurunkan hasil panen dan menyebabkan kondisi yang kurang optimal untuk penyerbukan di daerah dataran rendah seperti Sumatra Selatan dan Jawa, di mana sekitar 75 persen kopi ditanam.

Hujan akan menurunkan produksi kopi robusta menjadi 504 ribu ton, dan kopi arabika turun menjadi 78 ribu ton. USDA juga memperkirakan ekspor kopi Indonesia akan merosot dari 462 ribu ton menjadi 300 ribu ton karena pasokan yang berkurang.

Efek perubahan iklim terhadap produksi kopi tidak hanya terjadi di Indonesia. Di Vietnam dan Ethiopia hasil panen berkurang karena kekeringan. Sementara hujan lebat merusak pertumbuhan bunga kopi di Kolombia.

Baca Juga: Ribuan Coffee Shop di DIY Belum Diimbangi Produksi Kopi

Hulu dan hilir harus saling support

Kopi dalam Tantangan Hulu ke Hilir dan Ancaman Perubahan IklimKafe turut memasarkan biji kopi langsung dari petani (IDN Times/Yogie Fadila)

Baik sektor hilir maupun hulu sama-sama menderita dengan kondisi saat ini, sehingga keduanya mesti mencari cara untuk saling support satu sama lain. Seperti yang dilakukan oleh Komunitas Kopi Nusantara yang mengaku memberi pendampingan dan membagi pengetahuan ke petani melalui training.

Hasil panen kebun kopi skala kecil, misalnya dengan luas kurang dari 3 hektare, bisa dibeli sebagai kopi microlot. Kopi microlot merujuk pada hasil panen terbatas yang dapat dilacak hingga ke wilayah tertentu, petani tunggal, atau bahkan area spesifik di dalam sebuah kebun kopi. Seringkali dikaitkan dengan istilah produksi "kecil", "spesial", atau "eksklusif".

“Bahkan kopinya pun udah gak lagi dikasih nama ‘Toraja dari Pango-Pango’. Tapi kopi Toraja Pango-Pango petaninya Pak Wisnu, jadi sebutnya ‘Toraja Pak Wisnu’, gak apa-apa, karena konteksnya lebih ke specialty tadi,” kata Wisnu.

Hasil panen microlot bervariasi dari satu kebun ke kebun lainnya, tetapi dalam banyak kasus, setiap microlot menghasilkan sekitar 40 karung seberat 60 kilogram setiap tahunnya. Jumlah ini tidak besar mengingat ukuran lahan yang kecil. Oleh karena itu, kopi microlot seringkali diincar oleh pembeli dengan harga yang tinggi.

Dengan cara tersebut, ciri khas dan cita rasa dari kebun kecil itu bisa lebih tersorot, sekaligus menyiasati rantai pasokan karena jumlah produksi yang kecil tidak bisa dibeli pabrik.

Cara lain, dengan diversifikasi produk seperti yang dilakukan Renggo yang meluncurkan merek Suluh Kopi untuk bermain di segmen kopi komersial, area yang tidak bisa dijangkaunya dengan nama Dongeng Kopi. “Kopi komersial itu kopi grade bawah. Saya beli, terus saya roasting, saya giling halus, saya jual. Ternyata [hasilnya] bagus, itu yang menghidupi saya selama pandemi,” ungkapnya.

Dengan perubahan cuaca yang semakin tidak terduga dan produksi kopi di masa depan tak menentu, para pelaku industri kopi di Indonesia harus menghadapi tantangan serius apabila tanaman ini lenyap dari muka bumi.

Kopi dalam Tantangan Hulu ke Hilir dan Ancaman Perubahan IklimPengurus Komunitas Kopi Nusantara, Andri (duduk) dan Wisnu (berdiri) saat ditemui di Sellie Coffee, Prawirotaman, Kota Yogyakarta 16 November 2023 (IDN Times/Yogie Fadila)

Sebuah studi mengatakan setidaknya 60 persen spesies kopi di dunia terancam punah, termasuk kopi arabika maupun robusta. Para ilmuwan memperkirakan kondisi yang optimal untuk pertumbuhan kopi akan makin sulit dicapai karena perubahan iklim dan banyaknya penyakit yang muncul secara alami karena suhu bumi makin naik.

Jika sudah punah, mau tak mau, penikmat kopi mungkin akan beralih ke kopi eksperimental. Proses ini menempatkan biji kopi dalam wadah kedap udara, lalu ditambahkan bakteri guna mempercepat fermentasi.

“Kopi hasil proses eksperimental tersebut biasanya akan keluar aromatik buah. Rasanya manis, kekentalan kurang, pahitnya tidak terlalu. Kopi ini sangat disukai sekarang sama publik,” ungkap Renggo yang tetap setia pada natural process karena lebih ramah lingkungan.

Jika skenario perubahan iklim terus bersambung, maka kampanye “dua gelas kopi sehari” usulan Andri mesti diubah menjadi “dua gelas kopi manis sehari”.

*) https://indonesia.go.id/kategori/editorial/7008/perubahan-iklim-indonesia-19-tahun-terakhir?lang=1

**) https://www.greenpeace.org/indonesia/cerita/57554/nestapa-perempuan-petani-kopi-banjarnegara-akibat-perubahan-cuaca/

***) https://fas.usda.gov/data/coffee-world-markets-and-trade

Artikel ini adalah bagian dari fellowship program For the People

Baca Juga: Kisah Pengusaha Warkop yang Diangkat Penyakitnya dengan Kopi (1)

Topik:

  • Yogie Fadila
  • Paulus Risang

Berita Terkini Lainnya