Nuansa Mollo terasa kuat lewat kain tenun yang membalut figur Keluarga Kudus. Mollo bukan sekadar nama tempat. Dalam pemaknaan masyarakat setempat, Mollo berarti perempuan dari gunung yang dipercaya leluhur untuk menjaga batu, mata air, dan hutan.
Selama berbulan-bulan, para perempuan Mollo menenun di kaki Gunung Mutis, wilayah yang sejak 1999 menghadapi ancaman pertambangan.
Bagi perempuan Mollo, merusak alam sama halnya dengan mengusik keseimbangan mereka untuk mempertahankan ruang hidup dan sumber pengetahuan sekaligus identitas diri.
"Bagi saya, kain tenun ini menjadi lambang perlawanan," kata Maria.
Dalam imajinasinya, Maria melihat peristiwa kelahiran Yesus hari ini ditemani oleh mama-mama penenun dari Mollo. Tafsir ini sekaligus menjadi cermin bagi kondisi dunia saat ini, termasuk Indonesia yang tengah bergulat dengan alih fungsi hutan dan kerusakan lingkungan.
Kata Maria, hutan yang sedianya jadi tempat tinggal bagi jutaan spesies makhluk hidup, kini dibabat habis dan digantikan oleh tumbuhan satu jenis.
Hutan yang semestinya menjadi paru-paru dunia kini kian menyusut, digantikan mesin berat yang mengoyak perut bumi. Pesan ekologis ini bergema kuat di tengah perayaan Natal.
"Bumi yang kita tinggali hari ini, bukanlah tempat hidup yang sedang dalam kondisi baik-baik saja. Ribuan tahun yang lalu, Yesus juga lahir di tempat yang tidak baik-baik saja, Ia lahir di sebuah kandang, dan dalam bayang-bayang teror Herodes yang ingin membunuhnya. Jika bisa memilih, tak akan ada seorang perempuan pun mau memilih kandang sebagai tempat melahirkan," ujarnya.
Karya delegasi Indonesia tak hanya hadir sebagai instalasi statis. Patung-patung nativitas tersebut juga 'hidup' melalui pertunjukan teater boneka oleh Papermoon Puppet Theatre. Pentas digelar dua kali, salah satunya di KBRI Takhta Suci, disaksikan para duta besar, diplomat, perwakilan organisasi internasional, rohaniwan, dan umat paroki.