Ketua Dekranasda DIY sekaligus Istri Gubernur DIY, GKR Hemas. (IDN Times/Herlambang Jati Kusumo)
Kenapanya saya masuk di Dewan Perwakilan Daerah itu pertama karena setiap kegiatan sosial saya itu selalu berbenturan dengan kepentingan politik. Saya pengin tahu anggaran negara itu seberapa besar, untuk kepentingan masyarakat, tidak hanya untuk perempuan dan anak, tapi kegiatan sosial yang lain.
Tapi biasa kalau tahun periode pertama itu kan, tahun pertama itu belajar, tahun kedua mulai memahami, tahun ketiga sudah mulai mengimplementasikan istilahnya kepentingan yang saya bawa dari Jogja.
Setelah itu, ternyata masih ada rantai yang belum bisa nyambung. Di situ berarti saya masih harus belajar menjadi politisi perempuan, karena di situ ternyata dengan jaringan, perempuan itu banyak sekali yang bisa kita ajak untuk memikirkan persoalan-persoalan sosial yang ada di bawah.
Jadi persoalan sosial itu tidak hanya perempuan dan anak, tapi persoalan sosial yang lain, pendidikan misalnya, kesehatan, Nah ini seberapa besar sih anggaran pendidikan, seberapa besar anggaran kesehatan, seberapa besar perempuan terlibat.
Pada 2014 saya sudah lebih ke politik praktis, berjuang untuk kepentingan perempuan duduk di lembaga legislatif. Jadi itulah rentetannya. Tapi yang saya sangat ingat sekali, di tahun pertama mau ke tahun kedua, bisa ikut membantu menyelesaikan UU Keistimewaan DIY.
Itu mulai tahun 2000 sampai dengan tahun 2012 baru itu bisa dilakukan, Undang-Undang Keistimewaan bisa dilaksanakan.
Harus punya komunikasi politik dengan seluruh kepentingan partai, untuk seluruh kepentingan pemeirntah daerah. Jadi saya kira di situ akhirnya saya harus berjuang dan didukung oleh 8 provinsi.
Delapan provinsi itu mengatakan bahwa Yogyakarta itu harus punya UU Keistimewaan karena Yogyakarta sebagai barometer Indonesia. Jadi ini yang menambah saya semangat, dari Aceh sampai Papua, 8 provinsi ini mendukung dan bekerja keras untuk kepentingan Undang-Undang Keistimewaan.
Ternyata banyak kepentingan politik yang lain untuk Yogyajarta. Saya mengatakan masih ada celah yang dimainkan secara politis, bahwa di situ ada calon gubernur harus mendapatkan izin dari suami. Ya kan berartikan istilahnya gubernur harus mendapatkan persetujan dari suami.
Jadi seolah-olah hanya laki-laki yang bisa. Ini saya berjuang di MK dan berhasil sehingga paling sedikit lengkaplah UU Keistimewaan itu, tidak boleh ada kepentingan politik, selain untuk kepentingan masyarakat Jogja.
Di tahun 2010 sampai 2012 itu penuh perjuangan untuk bisa mendapatkan UU Keistimewaan, ya dari sebetulnya diajukan dari tahun 2000, berarti 12 tahun, baru kami dapatkan. Cukup panjang, dua periode anggota legislatif dan presiden yang sudah berganti. Kemudian di periode kedua Presiden SBY itu juga tidak mudah.